Niat Departemen Dalam Negeri menjadikan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) sebagai kawah candradimuka, tempat menggodok calon pemimpin sipil, belum juga kesampaian. Sepanjang sejarah berdirinya—didirikan di Malang tahun 1950—sangat sedikit pemimpin kaliber nasional yang dilahirkan akademi ini. Di tingkat daerah pun, pemimpin yang lahir dari rahim akademi pemerintahan ini bisa dihitung dengan jari.
Bandingkan dengan akademi serupa yang didirikan oleh kalangan militer. Tak terhitung pemimpin nasional yang lahir dari akademi militer, baik darat, laut, udara, maupun kepolisian.
Adakah yang salah dengan proses rekrutmen APDN? Tidak juga. Proses rekrutmen di akademi pemerintahan ini tidak jauh berbeda dengan akademi militer. Bakal siswa yang akan digembleng adalah orang pilihan. Mereka umumnya adalah siswa-siswi sekolah menengah umum (dahulu SMA) berprestasi.
Itu saja belum cukup. Sebelum mengenakan seragam cokelat—seragam APDN—calon siswa harus lulus serangkaian tes, mirip dengan tes masuk akmil, me-liputi tes inteligensia, kesehatan, kekuatan fisik, sampai ideologi. Gagal dalam salah satu tes itu bisa dipastikan gagal jadi siswa.
Jadi, apa yang salah? Pembantu Ketua III Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Drs. Indrarto, menyebut bahwa sistem pemerintahan Orde Baru, yang selama 32 tahun berkuasa, tidak cukup kondusif mengakomodasi para lulusan APDN untuk sampai ke posisi elite. Dominasi kalangan militer ketika itu terlalu kuat. Posisi strategis di pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, hampir semuanya diisi oleh orang militer. Lulusan APDN hanya diberi jatah kursi lurah, paling tinggi camat. Sebagian besar hanya jadi staf biasa di pemerintah daerah, mulai dari kelurahan sampai gubernuran.
Mantan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara, Ryaas Rasyid, mengamini apa yang dikatakan Indrarto. Me-nurut alumni APDN tahun 1972 ini, tidak berkembangnya biro-krat sipil, termasuk lulusan APDN, karena sistem pemerintahan Orde Baru yang sentralistik. Semua birokrasi pemerintahan diatur oleh pusat. "Dan dalam pengaturan itu militer yang lebih dikedepankan," katanya.
Alasan itu mungkin saja benar. Namun, visi dan misi didirikannya APDN bisa juga menjadi faktor kurang berkembangnya jiwa kepemimpinan alumninya. Akademi ini didirikan dengan tujuan menyiapkan kader-kader pemimpin pamong praja—aparat pusat yang ditempatkan di daerah. Mereka menjadi inti pemerintahan dalam negeri. Mereka dididik untuk memiliki visi yang sama mengenai bagaimana pemerintahan dikelola. Pendek kata, siswa APDN disiapkan untuk menjadi kepanjangan tangan pusat di daerah. Segala kebijakan pusat harus mereka terapkan di daerah.
Karena memikul beban harus seirama dan tidak boleh berbeda dengan pusat dalam gaya pemerintahan—ciri khas Orde Baru—jiwa kepemimpinan mereka tidak berkembang. Sebab, nyaris tidak ada ruang gerak untuk melakukan improvisasi.
Satu lagi yang menjadi masalah adalah pola penyebaran para pamong praja yang kurang perhitungan. Lulusan akademi pemerintahan ini disebar ke sembarang daerah, tanpa memperhitungkan perbedaan asal-usul sang pamong dengan da-erah penempatannya. Maksudnya baik, agar menjadi lem perekat kesatuan dan persatuan. Tetapi, kata Indriarto, dalam pelaksanaannya pamong praja menghadapi kendala kultur. Kasus seperti ini banyak terjadi. "Mereka tidak bisa diterima oleh warga masyarakat," katanya kepada Upiek Supriatun dari TEMPO.
APDN lupa, tiap daerah memiliki cara atau gaya mengelola pemerintahan yang berbeda. Jika dipaksa untuk diseragamkan, yang muncul adalah sikap penentangan. Apalagi jika orang yang ditempatkan bukan putra daerah. Akibatnya, alih-alih mengembangkan sikap kepemimpinan, mengatasi problem penentangan ini saja sudah makan banyak energi.
Kini, iklim pemerintahan tampaknya lebih bersahabat dengan APDN. Dominasi militer sudah terkikis. Pamong praja bukan lagi kepanjangan tangan pemerintah pusat. Otonomi daerah menyebabkan pola pemerintahan daerah tidak perlu lagi seragam dengan pusat. APDN pun kini sudah menyebar di berbagai daerah. Setidaknya, 20 daerah tingkat satu kini sudah memiliki APDN. Itu artinya, birokrat sipil di daerah bisa dipasok dari APDN yang ada di daerah itu sendiri.
Kalimantan Timur contohnya. Menurut ketua asosiasi pemerintahan kabupaten seIndonesia (Apkasi), Syaukani H.R., banyak posisi penting di Kal-Tim mulai diduduki oleh lulusan APDN.
Dengan kondisi seperti ini, APDN semestinya bisa lebih produktif mencetak kader pemimpin, baik di tingkat lokal maupun pusat. Sehingga, kaderisasi kepemimpinan birokrat sipil bisa terjaga kesinambungannya. Jangan lagi ada ejekan birokrasi sipil sebagai institusi yang buruk dalam kaderisasi pemimpin, seperti pernah diucapkan Benny Moerdani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini