Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bang Ali, Legenda Jakarta

Lepas dari ketidakpuasan para korban penggusuran, Ali Sadikin sukses menyulap kampung besar Jakarta menjadi kota metropolitan. Ali juga tergolong sedikit pemimpin yang piawai membangkitkan rasa solidaritas masyarakat.

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALI Sadikin sungguh penuh warna. Dia rajin menjelajahi jalanan dan gang-gang kumuh di seantero Jakarta. Seorang diri, siang malam, terpapar hujan dan terik matahari, Ali mendatangi pedagang di pinggir jalan, pengemis, dan penghuni gubuk-gubuk liar. ”Selama itu, saya merasakan kehinaan jutaan orang yang terpaksa mandi, cuci mulut, dan cuci pakaian di sungai-sungai terbuka,” tutur Bang Ali, sebutan akrabnya, dalam buku biografinya. Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta, memang termasuk sedikit pejabat yang berupaya menyerap suara rakyat. Enam bulan pertama setelah dilantik Presiden Sukarno, 28 April 1966, Ali secara intensif keluyuran ke semua penjuru kota. Bagi Ali, yang kini sedang menjalani pengobatan di Guangzhou, Cina, acara ngeluyur itulah guru utamanya dalam memahami Jakarta—kota yang kala itu sedang dalam masa peralihan dari pemerintahan Sukarno ke Soeharto. Pasar yang becek, jalanan berlubang setinggi dengkul, timbunan sampah, dan kampung-kampung kumuh menyambut Ali. Sistem angkutan kota yang runyam, gedung sekolah bobrok, dan fasilitas mandi-cuci-kakus tanpa air tersebar di mana-mana. Begitu buruknya situasi Jakarta sehingga para diplomat asing menyebut kota ini sebagai sarang wabah disentri. Dan Sukarno memberikan tugas khusus kepada Ali, yang pada 1963-1966 menjabat Menteri Perhubungan Laut sekaligus Menteri Koordinator Urusan-Urusan Maritim. Sebagai gubernur, ia harus menyulap kampung besar Jakarta menjadi kota kebanggaan nasional. ”Orangnya keras. Dalam bahasa Belandanya malah ada yang berkata dia koppige vent, koppig,” kata Sukarno. Ternyata, orang koppig inilah yang cocok mengelola keruwetan Jakarta. Suasana Jakarta yang sangat tidak nyaman waktu itu memang mutlak membutuhkan orang yang keras. Saling curiga antarlapisan masyarakat belum surut menyusul tragedi Gerakan 30 September 1965. Birokrasi seolah lumpuh di segala lini. Sementara itu, negara sedang berada di jurang kebangkrutan. Inflasi menggila sampai 600 persen, harga membubung tak terkendali, dan penganggur membanjir. Pemerintah DKI hanya punya Rp 66 juta untuk mengelola kota yang saat itu berpenduduk 4,6 juta jiwa itu. Walhasil, kekacauan dan tindak kriminal menye-bar ke berbagai sudut kota. Namun, Ali Sadikin, kini 74 tahun dan dikenal sebagai salah satu penanda tangan Petisi 50, jauh dari putus asa. Letnan jenderal (purnawirawan) marinir ini menggebrak, berteriak, dan membentak aparat pajak agar mengetatkan pendapatan pajak. Ali juga menuntut kerja keras dari jajaran birokrat yang melayani kepentingan publik. Caci-maki kerap berhamburan dari mulutnya di tengah gebrakan pendisiplinan 30 ribu pegawai kota praja. Untunglah Bang Ali tak cuma mahir berteriak. Menurut penuturan Eddy Trisnadi, anak kedua pasangan Ali dan Nani Sadikin, ayahnya adalah sosok pekerja keras yang berdisiplin tinggi. Pekerjaan sebagai gubernur betul-betul menyita waktu dan tenaga ”Babap”, panggilan anak-anak untuk Ali, sehingga urusan keluarga sepenuhnya menjadi tanggung jawab Nani. Babap juga tidak memanfaatkan jabatan dan tak ada fasilitas istimewa apa pun untuk keluarga. ”Paling-paling kami kebagian karcis nonton bioskop gratis,” kata Eddy, yang kini bekerja di Yayasan Rumah Sakit Mata Aini, Jakarta. Sebagai pemimpin, Ali, asal Sumedang, Jawa Barat, terjun langsung membenahi kota yang centang-perenang. Dia turut serta dalam operasi penggerebekan pencopet di terminal bus. ”Saya suruh mereka (pencopet—Red.) berbaris. Tampar beberapa muka, lalu kami bertemu di Balai Kota,” kata Ali. Tindakan konkret semacam inilah yang secara signifikan menurunkan tingkat kriminalitas kota. Simpati untuk Ali pun meluas. Tapi simpati saja belum cukup. Apalagi pengetatan pajak dan efisiensi birokrasi tak juga sanggup mencukupi kebutuhan kota. Akhirnya, sang Gubernur melirik sumber keuangan alternatif yang sangat subur, yakni perjudian—langkah yang belakangan memicu kontroversi yang berkepanjangan. Sebetulnya, Undang-Undang No. 11/1957 memungkinkan pemda memungut pajak atas izin perjudian yang diberikan kepada pengusaha Cina—pemerintah menganggap judi sebagai bagian dari budaya Cina. Namun, tak ada pejabat yang berani mengambil risiko mengizinkan perjudian, yang berhukum haram bagi kaum muslim. Kali ini, Bang Ali tak gentar menantang arus. ”Untuk keperluan rakyat Jakarta, saya berani,” katanya. Maka, izin perjudian pun diberikan kepada pengusaha bernama Apyang dan Yo Putshong. Judi Lotto (lotere totalisator), petak sembilan, dan hwa-hwe, yang tadinya sembunyi-sembunyi, mulai dilakukan terang-terangan dan diramaikan warga non-Cina. Protes dan keberatan meluncur deras, ter-utama dari kaum muslim, sehingga Ali diberi julukan Gubernur Maksiat, Gubernur Judi, dan Gubernur Hwa-Hwe. Tapi tak seorang pun menyangkal bahwa limpahan uang perjudian ini memang berdampak positif. Gedung sekolah dibangun, rumah sakit didirikan, puskesmas diperbanyak, dan jalan-jalan diperbaiki. Selanjutnya, Ali makin gencar membangun. Proyek Mohamad Husni Thamrin digelar untuk membenahi permukiman kumuh. Ali juga merenovasi Taman Monumen Nasional (Monas) serta membangun Taman Ismail Marzuki, Gedung Arsip Nasional, Gelanggang Remaja Kuningan, Pasar Seni Ancol, Sekolah Atlet Ragunan, Planet Senen, sampai lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak. Segenap pembangunan ini mendatangkan hasil. Roda ekonomi berputar cepat sehingga di akhir masa jabatan Ali, tahun 1977, Jakarta punya kas senilai Rp 17 miliar. Artinya, Bang Ali sukses membuat anggaran awal yang Rp 66 juta berlipat lebih dari 250 kali. Kesuksesan Bang Ali pun lebih dari sekadar uang. Menurut Ciputra, pengusaha yang berkiprah pada 1970-an, gubernur yang berpostur tinggi tegap ini sukses membuat Jakarta sebagai kota yang modern. Fokus perhatian Ali bukan sekadar membangun gedung-gedung tinggi, tapi juga menyediakan sarana pendidikan, kebudayaan, dan kesenian. ”Bang Ali orang yang menghargai masa lalu dan punya pandangan jauh ke depan,” kata Ciputra. Jakarta pun berkembang menjadi kota metropolitan dan bukan lagi sarang wabah disentri. Kalangan elite dan rakyat luas pun menaruh hormat. Masyarakat menyambut hangat sebutan khas Betawi ”Bang Ali” sebagai ungkapan respek yang diusulkan wartawan Rosihan Anwar. Bang Ali pun tak cuma sukses membangun dalam arti fisik. Tokoh ini, seperti yang pernah ditulis sastrawan Mochtar Lubis, berhasil menegakkan kepemimpinan yang bermoral. Kearifan, keterlibatan dengan persoalan rakyat, keterbukaan, dan kepintaran membangkitkan solidaritas tampak nyata pada figur Ali. Ketulusan dan kecintaan terhadap rakyat dan Kota Jakarta membuat Bang Ali beroleh Hadiah Ramon Magsaysay pada 1971. Namun, tak semua kisah mengenai Ali bernuansa puja-puji. Ridwan Saidi, tokoh masyarakat Betawi, mengakui bahwa Ali memang jago menggeber jurus-jurus membangun Jakarta. Ali sukses membangkitkan solidaritas, semangat, dan motivasi rakyat untuk bersama-sama menuju yang terbaik. ”Soal kreativitas, Bang Ali kagak ada matinye,” katanya. Hanya, Ridwan segan menyebut Ali sebagai gubernur terbaik. Alasannya, menurut Ridwan yang Ketua Masyumi Baru ini, Ali pun memiliki kelemahan untuk bisa disebut sebagai pemimpin bijaksana. ”Cacat” yang dimiliki Ali, menurut Ridwan, adalah kecenderungan mengabaikan etika dan rasa kemanusiaan kala membangun. Laksana buldoser, Ali tak segan menggusur tanah dan rumah rakyat untuk kepentingan pembangunan. Kasus yang paling terkenal adalah penggusuran kuburan Tanahkusir, yang menyinggung perasaan kaum muslim. Akibatnya, sosok Ali dan pemerintah DKI dinilai tidak peka terhadap penderitaan rakyat kecil. Sebetulnya, Bang Ali pun peka terhadap penilaian itu. Dia cukup risau akan adanya anggapan telah membangun dengan mengabaikan rasa kemanusiaan. Namun, seperti yang diungkapkan dalam pidato pertanggungjawaban gubernur, Ali mendasarkan tindakannya pada keinginan untuk mewujudkan kebaikan bagi mayoritas masyarakat Jakarta. Betapapun baik sebuah tindakan, memuaskan seluruh masyarakat adalah hal yang mustahil. Bang Ali mengakui, ”Setiap kali saya memerintahkan penertiban atau penggusuran, hati nurani saya merintih.” Tapi Bang Ali tak surut langkah. Dia tetap membangun dan menggusur. Rakyat pun angkat topi. Seperti yang pernah ditulis koran The Indonesian Letter, hanya sedikit yang meragukan keikhlasannya memperbaiki keadaan Ibu Kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus