Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Merdeka, tanpa Pemimpin

Setelah 56 tahun Indonesia merdeka, satu pertanyaan muncul: mengapa Indone-sia seperti kehabisan pemimpin? Percaturan politik nasional hanya memunculkan sejumlah nama seperti Abdurrahman Wahid, Megawati, Amien Rais, Akbar Tandjung, atau Susilo Bambang Yudhoyono, untuk menyebut beberapa contoh--selebihnya senyap. Berbagai organisasi sosial-politik yang mestinya bisa menjadi kancah penggodokan pemimpin terbukti mandul. Sementara itu, partai politik--institusi yang paling absah melahirkan pemimpin nasional karena dipilih langsung oleh rakyat--juga belum mampu meyakinkan hati publik. Akibatnya, banyak orang yang memimpikan intelektual, tokoh agama, atau bahkan militer untuk kembali memimpin bangsa ini. Kita butuh pemimpin kaliber besar. Namun, kerinduan kita yang berlebihan pada pemimpin yang kuat dan serba bisa itu mungkin hanya berakhir dengan meniadakan mereka sama sekali.

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Abdurrahman Wahid masih presiden resmi. Dia masih dianggap presiden, setidaknya oleh masyarakat Nahdlatul Ulama di sebagian kota Jawa Timur. Tapi, faktanya, Indonesia telah kehilangan seorang pemimpin nasional. Abdurrahman Wahid pernah dipandang sebagai seorang demokrat sejati. Dia juga seorang yang dua tahun lalu dengan dukungan luas sempat dipandang mampu memecahkan persoalan bangsa ini. Melalui drama tanpa darah, bersama Abdurrahman Wahid pergi pula salah satu harapan besar bahwa Indonesia segera bisa keluar dari krisisnya. Harapan itu terbukti kosong belaka. Tak hanya itu. Kontroversi tentang dekrit dan sidang istimewa, serta perseteruan presiden versus parlemen yang mendahului kejatuhannya, hampir-hampir telah membuat sirna kepercayaan orang terhadap demokrasi dan mempertebal rasa muak orang terhadap politik. Benarkah kita membutuhkan sistem demokratis? Atau kita semestinya menengok negeri tetangga, Malaysia dan Singapura misalnya? Perdana Menteri Mahathir Mohamad dan mantan perdana menteri Lee Kuan Yew telah mengantarkan kemakmuran bagi negerinya, meski dengan pemerintahan yang sering dikritik bertangan besi. Tidakkah kita membutuhkan pemimpin kuat yang sama? Dan tidakkah tiga tahun lalu kita telah keliru menyeret Soeharto turun, seorang pemimpin yang setara dengan Mahathir dan Yew, tapi lebih diktatorial karena dukungan militer yang masif? Pada akhir dasawarsa 1980-an, seorang sastrawan terkemuka Filipina, Sionel Jose, risau melihat pemerintahan Corazon Aquino yang rapuh meski naik berkat legitimasi dan harapan besar people's power. Dia mengatakan, "Kita ternyata membutuhkan seorang (Ferdinand) Marcos, seorang diktator, tapi yang bukan maling." Indonesia tak pelak lagi membutuhkan pemimpin yang kuat untuk bisa menyelesaikan krisisnya yang multidimensional. Namun, yang kita temui sekarang, bahkan dengan naiknya Presiden Megawati Sukarnoputri plus dukungan penuh Ketua MPR Amien Rais sekalipun, justru satu krisis baru lagi: krisis kepemimpinan nasional. Menghadapi kesulitan hidup sehari-hari, melambungnya harga-harga, serta hancurnya "hukum dan ketertiban", orang-orang di jalanan makin tak sabar. Jika mungkin, banyak orang mulai berpikir, jika saja tidak korup, Soeharto adalah pemimpin yang seharusnya bisa menjadi presiden seumur hidup. Di luar itu, orang mulai memimpikan mukjizat. Jajak pendapat yang dijaring TEMPO dari enam kota besar Indonesia mengungkapkan secara jelas betapa kini publik benar-benar merindukan seorang Ratu Adil. Para responden menjagokan Sri Sultan Hamengku Buwono X (Sultan Keraton Yogyakarta), Susilo Bambang Yudhoyono (militer), dan Nurcholish Madjid (cendekiawan muslim) di papan teratas figur presiden yang mereka harapkan (lihat Kepemimpinan dan Demokrasi Tahun Nol). Raja, panglima perang, dan cendekiawan. Sikap publik itu melukiskan kekecewaan terhadap kemampuan proses politik dalam menjamin munculnya seorang pemimpin nasional yang dikehendaki. Itu juga menggambarkan keinginan ideal mereka terhadap seorang pemimpin: berwibawa (raja dan cendekiawan), kuat (militer), netral dan suci alias tidak terlibat dalam kotornya politik yang profan. Publik menginginkan seorang Musa, yang dengan kekuatan tongkat gaibnya membelah Laut Merah dan menyelamatkan kaum Ibrani dari terkaman kekejaman Firaun. Bagaimanapun, Musa datang "dari atas". Raja memperoleh legitimasi kepemimpinan dari takhta feodalistis yang turun-temurun. Dan seorang jenderal memperoleh kewibawaan dari senjatanya, dari ancaman kekerasan yang mungkin ditimbulkannya. Walhasil, betapapun idealnya, impian itu lebih melukiskan keputusasaan ketimbang perenungan jangka panjang—sebuah sikap memilih jalan pintas, darurat, yang akan menyimpan masalah di kemudian hari. Jika bukan nabi, raja, atau jenderal, bagaimana dengan cendekiawan? Yang menarik di sini justru penolakan Nurcholish Madjid terhadap pencalonan dirinya sebagai presiden. "Saya tidak ingin menjadi presiden gratisan," katanya. Menurut Nurcholish, pemimpin nasional mestinya datang dari partai politik yang telah berkeringat, berkampanye untuk memupuk konstituen, serta mempertanggungjawabkan tabiatnya di depan pemilih. "Jika seorang politisi menyelewengkan kepercayaan publik padanya, partainya akan ditinggalkan massa pada pemilihan umum berikutnya," katanya. Kecuali dalam kisah kitab suci dan legenda, sebuah bangsa umumnya memang memperoleh pemimpin yang sepadan dengan kualitas bangsa itu sendiri. Pesan terpenting dari Nurcholish sebenarnya adalah bahwa Indonesia, yang hari-hari ini memperingati hari kemerdekaannya ke-56, harus mulai memikirkan rekrutmen kepemimpinan secara lebih sistemik dan alamiah. Jika pemimpin adalah sebuah pohon rindang, bangsa Indonesia mesti bersabar menyemai benihnya, memberi pupuk dan menyiangi gulma. Di masa lalu, bangsa ini cenderung menyepakati pemecahan darurat jangka pendek, dengan bayaran mahal dalam jangka panjang. Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, serta peralihan antara keduanya, semestinya menjadi pelajaran yang sangat berharga. Bangsa ini telah dan sedang membayar ongkos sangat mahal dengan memiliki Sukarno dan Soeharto, yang dulu dipuja-puja sebagai pemimpin karismatis dan kuat. Pada Orde Lama, setelah eksperimen demokrasi parlementer yang kisruh, Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada Juli 1959. Didukung oleh militer, Sukarno membubarkan parlemen dan mengumpulkan kekuasaan dalam hanya dirinya. Namun, langkah diktatorial itu didukung oleh massa rakyat yang kian tak sabar oleh "cekcok para politisi". Sebagian besar orang bahkan setuju, atau setidaknya diam saja, ketika Sukarno dinobatkan menjadi presiden seumur hidup. "Sistem yang mengandalkan kekuasaan pada orang per orang," kata Mohammad Hatta ketika membahas situasi kala itu, "tak ubahnya seperti rumah kertas yang cepat rontok, tak kan lebih lama dari umur sang diktator sendiri." Itu pula yang terjadi pada Sukarno. Obsesinya yang berlebihan terhadap persatuan telah menjerumuskan pemerintahannya ke dalam watak yang monolitik, sentralistis, dan otoriter. Kegemarannya pada segala yang besar dan "wah" telah mempurukkan lebih jauh ekonomi negeri. Dan kegagalannya dalam mengelola keseimbangan bara api di bawah kakinya, komunis di satu sisi serta militer di sisi lain, telah membuat kejatuhan Sukarno harus diwarnai darah puluhan ribu—mungkin ratusan ribu—orang. Sesungguhnya, sejak Dekrit Presiden 1959 itulah Indonesia telah kehilangan demokrasi dan kedaulatan rakyat—telah kehilangan lahan subur bagi tumbuhnya tunas-tunas pemimpin baru. Pada awal Orde Baru, lagi-lagi dengan impian darurat dan jalan pintas, bangsa ini memuja hadirnya sebuah "junta militer" di bawah Jenderal Soeharto, yang terbukti mampu menciptakan stabilitas dan memupuk kepercayaan internasional untuk membangun ekonomi dari remah-remah. Bahkan sampai awal 1990-an, mayoritas rakyat masih mengamini Soeharto sebagai juru selamat yang telah berjasa menganugerahkan kemakmuran ekonomi relatif. Namun, ini pun kemudian terbukti merupakan jebakan dalam jangka panjang. Krisis ekonomi pada 1997 dan jatuhnya Soeharto telah membuka kedok krisis yang jauh lebih luas, hampir di semua lapangan, hampir di semua tingkatan. Meski dengan gaya berbeda, Soeharto meneruskan watak monolitik dan sentralistik Sukarno. Soeharto memberangus lebih jauh apa yang diimpikan Hatta sebagai kedaulatan rakyat, bahwa "negara haruslah dibangun dari rangkaian komunitas terkecil, di atas prinsip desentralisasi sejauh mungkin" dan bahwa "komunitas rakyat otonom yang fundamental haruslah menjadi pusat kekuasaan dari struktur negara". Ada tiga partai politik selama Orde Baru, tapi Indonesia sebenarnya menganut sistem satu partai saja, dengan Golkar yang didukung militer sebagai "partai negara", seperti partai-partai komunis di Eropa Timur. Dengan Golkar dan militer, Soeharto menjadi penguasa tanpa oposisi dan tanpa kontrol. Bahkan sebuah mobil Formula 1 memerlukan rem. Ratusan triliun rupiah aset kosong yang kini dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan utang luar negeri yang menggunung adalah harga yang harus dibayar dari sebuah sistem tanpa check and balance. Demikian pula dengan korupsi dan kolusi yang menggila. Tak hanya itu. Represi, depolitisasi, dan watak diktatorial Orde Baru telah menyebabkan kerugian yang sesungguhnya tak ternilai. Salah satunya adalah dengan memberangus potensi sumber daya manusianya sendiri dan mempersempit peluang bagi negeri ini memunculkan kader-kader pemimpin. Sampai akhir dasawarsa 1990, orang bahkan tak bisa membayangkan seorang presiden Indonesia yang bukan Soeharto atau Sukarno. Kecuali nabi dan raja, pemimpin pada umumnya lahir dari ujian dalam organisasi dari satu tingkatan ke tingkatan lainnya. Tidak hanya dalam organisasi politik, tapi juga organisasi kemasyarakatan, bisnis, ketentaraan, dan kemahasiswaan. Watak Orde Baru yang sentralistis telah memupus kemungkinan seorang pemimpin muncul dari ujian demi ujian, dari tingkat lokal ke nasional. Kenapa orang harus bersulit-sulit meniti tangga dari bawah jika akhirnya hanya pemimpin dengan restu dan koneksi dari atas yang akhirnya diakui? Watak monolitik Orde Baru dan obsesinya yang besar pada depolitisasi telah memberangus keragaman dan kemungkinan munculnya pemimpin alternatif. Hampir semua organisasi diseragamkan dan ditunggalkan—organisasi buruh, organisasi profesi, organisasi pemuda maupun mahasiswa. Para pemimpinnya pun harus beroleh lisensi dan restu dari pemerintah. Dalam alam kapitalisme-semu Orde Baru, dunia bisnis dan kewirausahaan—sumber lain kepemimpinan—juga mandul. Sebaliknya hanya memberi peluang bagi pengusaha kroni dan para rent-seeker untuk tumbuh besar menjadi benalu bagi negara dan rakyatnya. Situasi dalam dunia birokrasi tak lebih menggembirakan. "Ketua Korpri terpilih karena jabatan, bukan karena terpilih. Jadi, tidak mungkin ada kaderisasi kepemimpinan di tubuh Korpri," kata Ryaas Rasyid, bekas Menteri Negara Otonomi Daerah. "Wajar saja bila Korpri tidak bisa menghasilkan pemimpin." Eksperimen "student government"—bagaimana seorang ketua dewan ma-hasiswa dipilih melalui perdebatan dan pemilihan demokratis—yang lazim ada di kampus-kampus awal Orde Baru menjadi praktek terlarang. Tokoh mahasiswa ditangkapi dan kampus dipaksa steril dari politik lewat program Normalisasi Kehidupan Kampus versi Daoed Joesoef. Mahasiswa, kata pemerintah, tak semestinya terlibat dalam politik praktis, dan harus kembali pada tugasnya untuk semata belajar. Kampus direduksi menjadi sekadar sarana mahasiswa menjadi pintar dan menjadi profesional. Tapi, pintar dan profesional untuk apa? Pada akhir kejatuhan Rezim Orde Baru, orang tertawa sinis ketika Budiman Sudjatmiko memproklamasikan Partai Rakyat Demokratik—partai oposisi satu-satunya dan yang paling lantang. Umur Budiman belum lagi 30 ketika dia dijebloskan ke penjara. Kebanyakan orang berpikir, dia masih terlalu muda untuk terlibat politik. Teman-teman sebayanya memilih mencari kerja atau dansa di diskotek ketimbang risiko masuk bui. Itu ironis. Dengan mengebiri mahasiswa-pemuda dan praktek politiknya, Orde Baru melupakan sama sekali sejarah munculnya para pemimpin pada awal kemerdekaan. Mohammad Hatta baru berusia 16 ketika menjadi bendahara Jong Sumatra cabang Padang. Beberapa tahun kemudian, ketika menjadi mahasiswa di Negeri Belanda, dia mengubah Perhimpunan Indonesia dari sebuah paguyuban sosial menjadi kendaraan politik terkemuka melawan penjajahan. Hatta belum berumur 30 ketika membacakan pledoinya yang legendaris: "Indonesia Merdeka". Pada usia 16 pula Semaun menjadi sekretaris Serikat Islam cabang Surabaya. Tan Malaka terpilih menjadi anggota parlemen partai sosialis Negeri Belanda tapi ditolak hanya karena umurnya masih terlalu muda. Bahkan Sukarno sendiri baru berumur 27 ketika membacakan pidato pembelaannya yang menggelegar: "Indonesia Menggugat". Dan pada awal kemerdekaan negeri ini pernah memiliki perdana menteri muda usia seperti Sutan Sjahrir atau Mohammad Natsir. Dengan sistemnya yang monolitik dan represif, Orde Baru telah mematikan banyak tunas pemimpinnya sendiri, sementara tunas yang terus tumbuh hanya menghasilkan para pemimpin medioker serta oportunistik. Bahkan organisasi militer—salah satu sumber kepemimpinan pula—tidak mampu menghasilkan seorang pemimpin besar. Dimanjakan oleh lisensi bisnis dan posisinya yang superior, banyak jenderal hanya puas dengan dirinya sendiri atau sejauh-jauhnya sekadar menjadi pangeran di sekitar Soeharto. Seperti Sukarno, Soeharto melupakan nasihat Tom Peters, tokoh manajemen terkemuka Amerika, bahwa tugas seorang pemimpin bukanlah memperbanyak pengikut, tapi sebaliknya menciptakan pemimpin lebih banyak lagi. Lagi-lagi Hatta punya pikiran mutiara dalam hal ini. Pada 1930-an dia mengecam gaya "one-man show" Sukarno dan menyatakan pentingnya "menciptakan ribuan, bahkan jutaan Sukarno" lewat pendidikan politik yang luas. Pohon yang kukuh tumbuh dengan akar yang menghunjam ke bumi. Sudah saatnya bangsa Indonesia dengan lebih penuh kesabaran menyediakan lahan, memberi pupuk, dan menyemai tunas. Seperti telah ditunjukkan oleh Nurcholish Madjid, demokrasi politik-ekonomi-sosial, desentralisasi, dan pengakuan pada keragaman kata-kata kunci dalam melahirkan pemimpin nasional baru. Tidak mudah dan melelahkan. Tapi alternatifnya, yakni memimpikan seorang kuat dan diktator, hanya akan memperpanjang musim kemarau tanpa pemimpin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus