Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Banyak Bicara, Banyak Bekerja!

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Banyak Bicara, Banyak Bekerja!
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Imam B. Prasodjo*) *) Direktur Center for Research on Inter-Group Relations and Conflict Resolution, FISIP-UI DALAM sebuah artikel di harian Fikiran Ra’jat, pada 1933, seorang anak muda bernama Sukarno dengan lantang menulis, "Sekali lagi: Bukan ‘Djangan Banjak Bitjara, Bekerdjalah!’ tetapi ‘Banjak Bitjara, Banjak Bekerdja!" Artikel itu adalah reaksi spontan Sukarno pada usia 33 tahun atas kritik kelompok yang mengaku kaum "nasionalis konstruktif" yang menuduhnya terlalu banyak omong, terlalu banyak gembar-gembor di atas podium, dan terlalu sering berteriak di dalam surat kabar, tapi kurang konstruktif bertindak nyata mendirikan ini dan itu. Secara tegas Sukarno menolak pendapat itu. Ia mengatakan, banyak bicara adalah penting, asalkan pembicaraan itu bermanfaat untuk mendirikan semangat, keinsafan, harapan, dan membentuk ideologi atau gedung kejiwaan guna tercapainya massa-aksi politik untuk membebaskan rakyat dari penindasan stelsel-stelsel imperialisme penjajah. Dengan tajam Sukarno berkata bahwa mendirikan warung, koperasi, rumah anak yatim-piatu, atau badan-badan ekonomi dan sosial tentu baik saja. Tapi, menurut dia, tetap diperlukan orang-orang yang "banyak bicara", membanting tulang, menggugah kesadaran, menumbuhkan keinsafan politik rakyat, menyusun organisasi dengan manajemen sempurna, yang berguna untuk membangkitkan gerakan pembebasan dan kemerdekaan. Bagi Sukarno, semboyan yang tepat untuk bangsa adalah "banyak bicara, banyak bekerja!" Derita anak Nusantara yang berabad-abad hidup dalam ketertindasan penjajah ternyata ada hikmahnya, yaitu terbentuknya modal sosial dasar--solidaritas kebangsaan. "Banyak bicara"-nya para pendiri bangsa (the founding fathers) berperan penting dalam membangun visi kebangsaan. Sejarah mencatat, di awal kemerdekaan, banyak ucapan pemimpin negeri mampu memberi visi, inspirasi, semangat, dan arah nyata dalam menggalang kecintaan akan kebersamaan. Rekaman perjalanan bangsa tergambar jelas dalam pikiran pemimpin seperti Sukarno, M. Hatta, H.O.S. Tjokroaminoto, H. Agus Salim, M. Natsir, dan Sutan Sjahrir. Indonesia menjadi mungkin berdiri karena memiliki kualitas pemimpin unggulan. Kini, zaman pun berganti. Setelah 56 tahun merdeka, kita tersaruk-saruk mencari pemimpin berkualitas. Terlalu banyak pemimpin yang diam seperti tanpa visi, atau banyak bicara tapi tanpa makna. Dampak otoritarianisme panjang, sejak 1959, disambung pada 1966 sampai 1998, jelas telah memandulkan tumbuhnya pemimpin-pemimpin autentik (genuine leaders) yang dekat dengan hati rakyatnya. Pemimpin yang muncul umumnya pemimpin "akar jenggot", yang menggantung pada status atau atasan, dan bukan pemimpin "akar tunggang", yang tegak berdiri di atas akar yang merambat ke dalam tanah. Inilah harga yang harus dibayar sebuah bangsa, yang dalam perjalanannya terbajak oleh otoritarianisme yang mengikis habis proses seleksi kepemimpinan demokratis secara bottom-up.
***
Kini, ancaman yang tengah kita hadapi sebagai bangsa jelas tak mungkin dapat diselesaikan oleh pemimpin "asal jadi" yang muncul secara "untung-untungan" (historical accident). Krisis multidimensi yang terjadi, menuntut pemimpin yang terseleksi secara rasional, bukan hasil proses kompromi elite politik, apalagi hasil "politik dagang sapi". Tantangan yang dihadapi sungguh riil. Gejala fragmentasi sosial yang meluas akibat konflik antar-etnis, agama, politik, ataupun antarkomunitas telah secara nyata mengancam hancurnya kepercayaan sosial. Beban sosial ini menjadi bertambah berat karena terjadinya bencana alam yang bertubi-tubi akibat pembangunan yang merusak lingkungan. Kita pun menyaksikan perpindahan penduduk besar-besaran secara terpaksa, yang semakin mendatangkan keraguan akan kemampuan negara, merobek-robek tatanan sosial, dan semakin menghancurkan modal sosial. Bilamana modal sosial sebuah negara hancur karena bertubi-tubinya konflik sosial dan bencana alam yang tak tertangani, jalan keluar dari krisis menuju pemulihan menjadi tidak menentu. Upaya membangkitkan kembali aktivitas ekonomi menjadi sulit dilakukan karena fragmentasi sosial-politik yang semakin dalam. Jalan terbaik menuju pemulihan hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan terpadu multidimensional dengan menata ulang arah perjalanan bangsa yang baru mengalami trauma kolektif. Sasaran utama harus terfokus pada pemulihan modal sosial, yakni dibangunnya kembali kepercayaan sosial, sehingga warga negara dapat berinteraksi secara wajar, hidup dalam kedamaian, saling percaya, dan bebas dari rasa takut di negeri sendiri. Untuk inilah kita memerlukan hadirnya para pemimpin yang mampu membangun kembali roh hidup bersama (trust building), yaitu roh semangat kebangsaan dalam konteks baru, dalam konteks tatanan masyarakat yang kini tumbuh secara dinamis. Para pemimpin itu adalah pemimpin yang dapat memprogram "software sosial baru", software yang dapat kuat menopang dinamika perubahan sosial yang kini tengah berlangsung. Upaya kolektif harus dilakukan untuk penanggulangan masalah bersama. Crash programs harus dicanangkan. Pembangunan sosial harus dirancang dengan berorientasi bukan pada penguatan masyarakat "pyramid", melainkan masyarakat jaringan (networking society) yang kuat. Dengan demikian, pola kepemimpinan yang harus dibentuk adalah pola kepemimpinan kolektif yang terdesentralisasi dalam komunitas-komunitas, yang satu sama lainnya terekat dalam koordinasi sistem jaringan. Di tiap-tiap komunitas, digalang "unit-unit reaksi cepat" untuk mengatasi berbagai masalah yang ada. Organisasi "juru damai" (peace committees), kelompok-kelompok mediasi, wadah penanggulangan bencana, dan lain-lain segera ditumbuhkan. Di kalangan orang tua murid, pemuda, seniman, wartawan, dan lain-lain harus segera dibentuk dan diaktifkan asosiasi untuk mempercepat terciptanya komunitas responsif di lingkungan masing-masing. Peran utama pemerintah, dalam banyak segi, tak lebih sebagai fasilitator atau mitra sejajar bagi asosiasi masyarakat yang tumbuh dari bawah.
***
Bila tantangan kepemimpinan masa kini adalah membangun kembali modal sosial yang hancur dan mengembalikan tumbuhnya solidaritas kebangsaan, apa yang harus segera dilaksanakan? Langkah awal yang menjadi keharusan adalah membuktikan kepada rakyat bahwa dirinya memiliki kemampuan dan kepedulian untuk mengorganisasi pertolongan cepat bagi rakyat yang mengalami musibah. Di masa sulit, penyaluran bantuan darurat secara cepat dan efektif tidak saja berguna secara fungsional, tapi juga menjadi tolok ukur utama adanya kepedulian di antara sesama anak bangsa. Pemimpin yang autentik akan terlihat dalam kecepatannya bereaksi menggerakkan bantuan kemanusiaan, menumbuhkan kepedulian, dan menciptakan harapan kepada mereka yang mengalami trauma dan penderitaan. Aspek simbolis dari bantuan darurat menempati fungsi sangat penting dalam pembangunan kembali solidaritas emosional. Namun, tindakan kemanusiaan harus dirancang agar tidak diskriminatif atau partisan atas dasar kesamaan etnis, agama, rasial, ataupun latar belakang budaya. Bila langkah ini dilakukan, kepercayaan antarkelompok akan tumbuh kembali dan keterikatan sosial akan terbangun. Kegagalan dalam memberikan bantuan cepat kepada penduduk yang terkena musibah, yang kini jumlahnya begitu banyak, akan berakibat amat merusak, yakni hilangnya kepercayaan. Banyak contoh telah terjadi bagaimana reaksi negatif masyarakat Bengkulu saat terjadi gempa, atau pengungsi asal Timor Timur, Aceh, Ambon, Sambas, dan lain-lain, yang hingga kini nasibnya masih terkatung-katung karena kelambanan dalam penanganan. Kualitas kepemimpinan di saat krisis akan terlihat di sini. Namun, betapapun pentingnya, penanggulangan cepat ini hanyalah tindakan sementara yang harus dilanjutkan dengan program pemulihan komunitas yang berkelanjutan (sustainable community recovery program). Di saat terjadi perpindahan besar-besaran penduduk secara paksa akibat pertikaian sosial, pemimpin yang tumbuh dari rakyat akan tertuntut untuk melakukan penyelesaian masalah secara tuntas. Ada panggilan dalam dirinya untuk membangun kembali masa depan mereka yang menderita, agar mereka dapat hidup kembali dalam situasi layak. Keteladanan memang menjadi sangat penting. Pemimpin harus terjun langsung dalam melaksanakan pembangunan komunitas yang dilaksanakan secara partisipatif. Masyarakat setempat dan mereka yang terusir diberi ruang selebar-lebarnya untuk terlibat langsung dalam merencanakan, memutuskan, dan mengimplementasi program pembangunan komunitas baru yang akan dibangun. Pembangunan yang partisipatif juga perlu dirancang sebagai wadah interaksi antarkelompok yang bertikai untuk menggalang kembali perdamaian dan rasa saling percaya. Karena itu, pembangunan harus dilakukan dengan menghindarkan kembalinya segmentasi masyarakat. Ia haruslah berorientasi pada keanekaragaman dan toleransi. Di daerah konflik, pembangunan partisipatif adalah bagian dari penyembuhan luka psikologis dari konflik. Berbagai LSM, baik lokal, nasional, maupun internasional, dan pemerintah daerah haruslah mengambil peran sebagai fasilitator, bukannya sebagai penentu kebijakan dan proses pembangunan.
***
Namun, tantangan yang kita hadapi jauh lebih rumit. Baik reaksi cepat terhadap krisis maupun pembangunan partisipatif akan gagal bila suasana aman dan perlindungan tak dapat dipenuhi. Keamanan bagi semua pihak dan perlindungan bagi yang lemah memungkinkan pemberdayaan masyarakat yang terluka dengan memberikan suasana yang bebas dari ketakutan untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Peran serta aparat keamanan seperti polisi dan TNI dalam aksi kemanusiaan, sambil mencanangkan program perlindungan dan perdamaian, akan sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi moral aparat itu sendiri, yang tahun-tahun belakangan ini telah menjadi sasaran ketidakpercayaan dan kesalahpahaman. Tantangan pemimpin di masa krisis multidimensi jelas tak ringan. Situasi darurat kompleks membutuhkan kualitas kepemimpinan yang mampu menyadarkan semua lapisan masyarakat untuk melakukan aksi penyelamatan bersama. Masyarakat saat ini membutuhkan seorang pemimpin yang secara efektif mampu mengarahkan mereka. Melihat rumitnya masalah yang dihadapi, adanya kepemimpinan kolektif menjadi vital. Kita perlu banyak orang yang dapat "banyak bicara, banyak bekerja" untuk menggalang kebersamaan, menumbuhkan keinsafan, merealisasikan gagasan-gagasan untuk penyelamatan bangsa. Barangkali dengan cara ini Indonesia masih bisa dilanjutkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus