Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengiriman yang gagal di Soekarno-Hatta.
Tekanan dari pejabat Kementerian Kelautan ke otoritas Bea dan Cukai.
Diduga menerabas sejumlah tahapan.
PAKET barang ekspor yang masuk di area kargo Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Rabu, 17 Juni lalu, benar-benar merepotkan Finari Manan. Pesan dari perwakilan asosiasi pengusaha lobster bertalu-talu masuk ke telepon seluler Kepala Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta tersebut. Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Soekarno-Hatta Habrin Yake hingga anggota staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Andreau Misanta Pribadi, meneleponnya, menanyakan masalah yang sama.
Sore itu, kargo berisi benih lobster sebanyak 134.119 ekor sedianya terbang menuju Kota Ho Chi Minh, Vietnam. Pengirimnya tiga perusahaan, yakni PT Tania Asia Marina, PT Aquatic SSLautan Rejeki, dan PT Royal Samudera Nusantara. Namun, belakangan, pesawat sewaan batal mengangkutnya ketika lepas landas pada pukul 16.00. Finari dan timnya pun menjadi bulan-bulanan, dituding sebagai penyebab kegagalan ekspor tersebut. “Mereka ketinggalan pesawat. Sampai pukul 15.30, dokumen kelengkapan ekspor dari eksportir belum selesai di-submit ke sistem,” kata Finari, Selasa, 30 Juni lalu.
Sehari sebelum bertemu dengan Tempo, Finari kembali didatangi perwakilan pengusaha yang mempertanyakan gagalnya ekspor benur dari perairan Banyuwangi dan Sukabumi tersebut. “Saya tunjukkan saja sistem, karena data berbicara,” ucap Finari, ogah disalahkan.
Setelah empat tahun dilarang, ekspor benih lobster kini dilegalkan. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo membuka keran ekspor benur dengan menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020 yang berlaku mulai 5 Mei lalu. Kebijakan anyar ini membatalkan larangan penangkapan dan perdagangan benih lobster yang diterapkan menteri sebelumnya, Susi Pudjiastuti, lewat Peraturan Menteri Nomor 56 Tahun 2016.
Pembukaan keran ekspor ini langsung diikuti oleh sejumlah aturan petunjuk teknis setingkat keputusan direktorat jenderal sepekan kemudian. Pada saat yang sama, seleksi calon eksportir benih lobster digelar. Tiga perusahaan yang hendak mengekspor benur ke Vietnam pada 17 Juni lalu termasuk yang telah mengantongi lisensi dari Kementerian Kelautan. Hingga Jumat, 3 Juni lalu, Kementerian Kelautan telah menetapkan 30 perusahaan sebagai eksportir.
Seorang pejabat di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengungkapkan, pengiriman 17 Juni sebenarnya bukan ekspor benur perdana. Lima hari sebelumnya, Jumat, 12 Juni, ekspor telah dimulai oleh Tania Asia dan Aquatic SSLautan. Masalahnya, menurut sumber Tempo tersebut, otoritas kepabeanan mengecek ulang barang pengiriman kedua. Biasanya, urusan ini kelar di BKIPM. Pemeriksaan ulang tersebut dipicu oleh pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang sudah terendus sejak ekspor pertama.
Dua pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan mengungkapkan, dua pengiriman benur pada pertengahan Juni lalu membikin geger lingkup internal kementerian. Pejabat pertama menyebutnya sebagai skandal lantaran ada dugaan pengiriman pertama pada 12 Juni sama sekali tak dikenai PNBP. Pejabat kedua yang memberikan keterangan secara terpisah menegaskan bahwa ekspor benur tersebut tak melibatkan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT).
Dalam petunjuk teknis pelaksanaan ekspor, semestinya DJPT yang berwenang mengurus permohonan penetapan waktu pengeluaran benih lobster. Eksportir mengajukannya dengan melampirkan rekomendasi dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Penetapan waktu pengeluaran DJPT ini semestinya menjadi syarat untuk memulai tahap berikutnya di BKIPM. “Semuanya diterabas,” tuturnya.
Sejumlah pejabat eselon I Kementerian Kelautan enggan mengomentari persoalan ini. Begitu pula Andreau Misanta, ketua tim uji tuntas bentukan Menteri Edhy, yang dikabarkan menghubungi Finari ketika ekspor pertengahan Juni lalu terhambat. Dihubungi Tempo, Andreau beralasan tidak dapat diwawancarai karena sedang berada di luar kota. Dia meminta pertanyaan dikirim lewat pesan WhatsApp. Namun sejumlah pertanyaan konfirmasi tak ia balas hingga Sabtu, 4 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kotak berisi benih bening lobster yang diekspor PT ASSR dan PT TAM ke Vietnam melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta, 12 Juni lalu./ Istimewa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam jawaban tertulis kepada Tempo, Menteri Edhy Prabowo membenarkan ketika ditanyai soal bawahannya yang menghubungi Kepala Bea dan Cukai Soekarno-Hatta agar ekspor bisa segera dirilis. “Benar, karena berdasarkan proses, tindakan karantina ikan ekspor terhadap media pembawa berupa benih bening lobster sudah tuntas dengan diterbitkannya Health Certificate (KI-D1 (KI-D1) sebagai dokumen akhir,” ujar Edhy, Kamis, 2 Juli lalu.
Tempo mencoba meminta konfirmasi PT Aquatic SSLautan Rejeki dengan menghubungi nomor seluler yang tertera dalam akta pendirian perusahaan. Penelusuran Tempo mendapati nomor tersebut atas nama Mardin Wau, warga Lagundri, Nias Selatan, Sumatera Utara, yang tercatat dalam akta Aquatic. Namun, ketika nomor itu dihubungi, seseorang yang mengaku sebagai adik Mardin Wau menyatakan bahwa kakaknya sedang ke luar rumah. Pesan berisi pertanyaan konfirmasi pun tak dibalas. Upaya Tempo menghubungi nomor telepon kantor PT Tania Asia Marina juga tak membuahkan hasil.
Konfirmasi datang dari PT Royal Samudera Nusantara. Direktur Operasi Royal Samudera Ande Irfan Alafhi menyatakan bingung mengapa bisa terjadi gagal ekspor pada 17 Juni lalu. Dia mengklaim perusahaannya sudah melengkapi semua dokumen yang dibutuhkan untuk mengirimkan 8.025 ekor benur ke Vietnam. “Dokumen lengkap, PNBP bayar, masih ikutin aturan lama, bank garansi juga sudah kita buat. Cuma, enggak bisa berangkat,” kata Ande di kantornya, Jumat, 3 Juli lalu.
•••
PELAKSANAAN ekspor benih lobster yang berakhir kisruh pada pertengahan Juni lalu mengundang syak wasangka. Pasalnya, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 yang menjadi payung hukumnya menegaskan bahwa eksportir wajib memenuhi ketentuan kuota dan lokasi penangkapan benih lobster sesuai dengan kajian dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
Para eksportir juga kudu sukses membudidayakan lobster di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat atau pembudi daya setempat. Waktu pengeluaran benih Puerulus juga harus mengikuti ketersediaan stok yang direkomendasikan Komnas Pengkajian Sumber Daya Ikan dan ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
Melihat tahap persyaratan tersebut, pejabat kedua di Kementerian Kelautan ragu terhadap kemampuan eksportir merealisasi ekspor dalam setahun ke depan. “Tidak mungkin ekspor bisa dilakukan hanya sebulan dari keluarnya aturan,” ujarnya. Menurut dia, pelaksanaan ekspor ini sebenarnya menjadi gunjingan di lingkaran pejabat kementerian. “Namun semua tertekan. Apalagi sebelum kebijakan ekspor ini dibuka ada konsultasi dengan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sekretariat Kabinet.”
Ketua Komnas Pengkajian Sumber Daya Ikan Indra Jaya menyebutkan belum pernah sekali pun timnya dilibatkan oleh Kementerian Kelautan untuk mengkaji benih bening lobster. Saat ini posisi Komnas tengah demisioner dan menunggu penetapan lebih lanjut oleh kementerian. “Setelah ada SK-nya, estimasi benih bening lobster ini bisa menjadi prioritas untuk kami kerjakan,” tutur Indra kepada Tempo, Kamis, 2 Juli lalu.
Di sisi lain, perhitungan nilai PNBP dari ekspor benur hingga 30 Juni lalu belum terang. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menyebutkan rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015 tentang PNBP di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih dalam pembahasan bersama lintas kementerian dan lembaga. “Untuk implementasi benih lobster saat ini, KKP menggunakan tarif di PNBP KKP yang ada,” kata Askolani, yang juga menyatakan revisi akan diupayakan selesai dalam satu bulan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015, PNBP untuk per seribu ekor benur hanya Rp 250. Jika nilai tersebut yang digunakan dalam ekspor yang sudah berjalan pada 12 Juni dengan pengiriman total 97.500 benur, PNBP yang diperoleh hanya Rp 24.375. Bandingkan jika benur itu sudah menjadi induk. Nilai PNBP-nya bisa mencapai Rp 97,5 juta.
Menjawab pertanyaan Tempo soal pelaksanaan ekspor yang hanya berselang sebulan setelah peraturan terbit, Menteri Edhy menjelaskan, dalam petunjuk teknis, budi daya lobster bisa digolongkan dalam tiga segmen: dari benih hingga ukuran 5 gram, 5-50 gram, dan 50 gram sampai ukuran akhir. Dalam praktiknya, karena kebutuhan finansial atau pertimbangan waktu, pembudi daya bisa saja melakukan transaksi dari 80 gram ke 100 atau 140 gram sehingga muncul segmen keempat. “Salah satu, dua, atau keseluruhan (segmen itu) termasuk kriteria budi daya,” ucapnya. “Karena sudah melakukan pemberian pakan, penumbuhan, pengendalian kualitas air, dan lain-lain.”
Menurut Edhy, perumusan jenis dan tarif PNBP sedang dibahas bersama Kementerian Keuangan. Kementeriannya sudah mengajukan permohonan agar dalam pengenaan PNBP diberlakukan ketentuan khusus asas retroaktif yang berlaku sejak 1 Juni lalu dan telah dimasukkan ke rancangan peraturan pemerintah tentang jenis dan tarif PNBP yang berlaku di KKP. Dia memastikan Kementerian Kelautan berupaya meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap pengeluaran benih lobster. “Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa banyak sekali penyelundupan benih lobster ke luar negeri,” ujarnya.
AISHA SHAIDRA, KHAIRUL ANAM, AGOENG WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo