Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Angka kematian karena corona mencapai lebih dari 13 ribu orang hingga Jumat, 3 Juli lalu.
Kementerian Kesehatan berkeras mengelola data.
Persoalan data ikut membuat Istana gerah.
DI hadapan Presiden Joko Widodo, Wiku Bakti Bawono Adisasmito memaparkan informasi mengenai perkembangan penanganan Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 di Istana Merdeka pada Rabu, 24 Juni lalu. Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 ini menyampaikan hasil kerja selama tiga bulan. “Posisi Indonesia dibanding negara lain tidak lebih buruk, bahkan kita relatif netral,” ujar Wiku dalam video yang diunggah di akun YouTube Sekretariat Presiden.
Tak sampai sepuluh menit memaparkan materinya, Wiku mempersilakan anggota Tim Pakar, Dewi Nur Aisyah, menyampaikan pengintegrasian data corona. Dewi lalu menunjukkan sistem bernama Bersatu Lawan Covid yang menghimpun berbagai data penanganan wabah corona, seperti jumlah pasien positif dan ketersediaan logistik. Bersatu Lawan Covid atau BLC menghimpun data dari Kementerian Kesehatan, yang di antaranya dari Rumah Sakit Online, sistem pelaporan data rumah sakit di bawah Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, laboratorium jejaring Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, serta Public Health Emergency Operating Centre, yang dinaungi Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo menyimak penjelasan Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito di Istana Merdeka, Jakarta, 24 Juni 2020./ANTARA/Sigid Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika Dewi menunjukkan sistem tersebut, layar monitor di belakangnya menampilkan deretan angka yang menunjukkan jumlah orang dalam pemantauan, orang tanpa gejala, pasien dalam pengawasan, dan pasien yang sembuh. Terselip dalam ukuran kecil jumlah pasien meninggal sebanyak 11.477 orang. Hari itu, juru bicara pemerintah untuk penanganan corona, Achmad Yurianto, melaporkan angka kematian sebanyak 2.500 orang.
Data Rumah Sakit Online yang tercantum di sistem Bersatu Lawan Covid yang diperoleh Tempo menunjukkan perbedaan angka itu juga terjadi pada 17 Juni. Saat itu, jumlah pasien meninggal tercatat 10.735 orang. Sedangkan angka yang diumumkan 2.276. Pada Jumat, 3 Juli lalu, jumlah orang meninggal akibat Covid-19 mencapai 13.885, lebih dari empat kali lipat angka kematian yang diumumkan, sebanyak 3.036. Pada data yang sama, jumlah kasus positif pun jauh lebih banyak. Pada 17 Juni, tercatat 46.809 kasus positif, lebih tinggi ketimbang yang diumumkan Achmad Yurianto, sebanyak 41.431 orang.
Mengacu pada data Bersatu Lawan Covid per 3 Juli, tingkat kematian akibat corona di Indonesia mencapai 51,5 orang per 1 juta penduduk. Angka itu jauh lebih tinggi ketimbang yang dilaporkan di situs Gugus Tugas Covid-19, yaitu 11 orang per 1 juta penduduk. Dengan tingkat kematian 51,5 orang itu, Indonesia lebih tinggi ketimbang India dan Cina, yang masing-masing sebesar 3 dan 14 per 1 juta penduduk. Walau bukan yang tertinggi di Asia, Indonesia menjadi negara dengan tingkat kematian tertinggi di Asia Tenggara.
Angka kematian yang lebih tinggi itu mengikuti definisi menurut instruksi dari Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization. Pada 11 April lalu, WHO mendefinisikan angka kematian akibat Covid-19 adalah pasien yang terkonfirmasi positif terpapar corona berdasarkan hasil tes laboratorium dan mereka yang meninggal akibat gejala klinis yang mirip dengan kasus corona. Di Indonesia, kriteria terakhir itu meliputi orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan.
Keraguan terhadap validitas data yang disampaikan pemerintah berulang kali disampaikan banyak pihak di dalam dan luar negeri. Dua sumber Tempo, keduanya pejabat di dalam negeri dan lembaga internasional, mengatakan WHO sempat mempertanyakan keakuratan data corona. Keraguan itu juga tecermin dari daftar negara aman—dan bisa masuk ke Eropa—yang dirilis Uni Eropa pada Selasa, 30 Juni lalu. Indonesia tak masuk daftar tersebut. Negara tetangga, Thailand, masuk daftar itu.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan corona, Achmad Yurianto, mengatakan informasi yang disampaikannya setiap hari merupakan data surveillance dari Public Health Emergency Operating Centre Kementerian Kesehatan dan laboratorium jejaring Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Data itu kemudian dikirimkan ke Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan untuk diverifikasi.
Ihwal tak masuknya data orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan yang meninggal, Yurianto menyebutkan WHO tak meminta data tersebut. “Untuk apa saya laporkan sesuatu yang tidak dibutuhkan?” ujar Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan itu.
Menurut Yurianto, data kematian dari Rumah Sakit Online—yang kemudian juga masuk sistem Bersatu Lawan Covid—tak dibutuhkan masyarakat dan justru akan menimbulkan kepanikan. “Yang dibutuhkan masyarakat itu informasi bagaimana memakai masker yang benar, cuci tangan, dan menjaga jarak,” katanya.
• • •
KARUT-marut data penanganan Covid-19 sebetulnya terjadi sejak kasus corona muncul pada awal Maret lalu. Ketidaksinkronan data itu terjadi lantaran Kementerian Kesehatan belum memiliki sistem data yang terintegrasi. Sejumlah pengurus laboratorium di daerah yang dihubungi Tempo pun mengaku kewalahan karena dibebani pekerjaan tambahan, yakni meng-input data.
Ketua tim laboratorium pemeriksaan kasus Covid-19 Provinsi Bali, Ni Nyoman Sri Budayanti, mengatakan, pada awal pagebluk, laboratoriumnya di Rumah Sakit Sanglah kewalahan karena mesti memasukkan data ke Kementerian Kesehatan dan fasilitas kesehatan. Sistem yang dimiliki Kementerian Kesehatan untuk input data laboratorium kala itu, yakni aplikasi All Record, belum terintegrasi dengan rumah sakit. Sri mengaku harus mengirimkan data hasil uji spesimen ke fasilitas kesehatan dengan cara manual di Microsoft Excel.
Lantaran keterbatasan tenaga, Sri pun akhirnya memilih memprioritaskan pengisian data untuk fasilitas kesehatan karena membutuhkan hasil cepat. “Kami enggak sanggup karena jumlah sampel banyak, bahkan sampai ratusan setiap hari,” ujarnya.
Petugas kesehatan memeriksa suhu warga yang menjalani rapid test COVID-19 masal di balai Desa Werdi Bhuana, Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, Mei 2020./TEMPO/Johannes P. Christo
Koordinator pelaksana pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) di laboratorium Rumah Sakit Universitas Mataram, Mohammad Rizki, mengatakan fasilitas kesehatan sering mengirim sampel ke laboratorium tanpa memberikan informasi lengkap tentang data pasien. Ada rumah sakit yang hanya mengirim sampel disertai selembar kertas berisi nama pasien tanpa detail data pribadi seperti alamat dan nomor induk kependudukan. Hal itu, kata dia, menambah beban kerja lantaran laboratorium harus mengkonfirmasi ulang ke rumah sakit untuk menghindari kemungkinan duplikasi data.
Rizki mencontohkan, suatu hari, satu fasilitas kesehatan mengirim sampel atas nama Haji Ali. Beberapa hari kemudian, datang lagi sampel dengan nama Ali. Karena perbedaan data itu, laboratorium meng-input-nya sebagai dua orang. Padahal kenyataannya itu adalah orang yang sama. “Satu orang itu bisa menjalani lebih dari satu kali tes. Jadi mesti kami pastikan lagi ke faskes,” ujarnya.
Menurut Rizki, saat itu laboratoriumnya mesti membuat laporan untuk empat instansi berbeda, yakni Kementerian Kesehatan, fasilitas kesehatan, serta ke kabupaten dan provinsi, yang pelaporannya masih manual melalui kertas yang di-print. Proses input data dan cek silang karena tak ada integrasi inilah yang memakan waktu sehingga keluarnya hasil lab jadi tersendat. Apalagi, dia mengakui, pada saat itu sumber daya manusia di laboratoriumnya terbatas.
Buntut dari persoalan itu, di awal wabah, terjadi kasus pasien dalam pengawasan atau orang dalam pemantauan meninggal sebelum hasil laboratorium keluar. Pada April lalu, misalnya, di Yogyakarta seorang pria berstatus pasien dalam pengawasan meninggal sebelum hasil laboratorium keluar. “Laporan kasusnya masih diproses di laboratorium,” kata juru bicara penanganan Covid-19 Yogyakarta, Berty Murtiningsih, saat itu.
Tak adanya integrasi dan tersendatnya hasil laboratorium membuat pelacakan terhadap mereka yang berkontak dengan pasien positif berjalan lamban. Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan yang juga anggota Gugus Tugas Penanganan Bidang Surveillance Penelusuran dan Pencegahan Covid-19 Kota Bogor, Johan Musari, mengakui hal itu. Menurut Johan, timnya kesulitan karena mereka yang terpapar sudah berkontak dengan banyak orang.
Gugus Tugas Covid-19 Bogor mendapat data dari laboratorium. Data itu kemudian disampaikan ke fasilitas kesehatan agar dilakukan tindakan semestinya kepada si pasien. Kepala Dinas Kesehatan sekaligus juru bicara Tim Gugus Tugas Covid-19 Kota Bogor, Sri Nowo Retno, membenarkan hal tersebut. Namun, menurut dia, data yang ada tak sebegitu amburadul. “Hanya kurang optimal karena dilakukan secara manual,” ujarnya.
• • •
MELIHAT berbagai persoalan data itu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, yang dipimpin Doni Monardo, meluncurkan sistem data terintegrasi yang dinamai Bersatu Lawan Covid pada 27 April lalu. Dirancang sejak pertengahan Maret lalu, sistem ini memuat berbagai macam informasi penanganan corona, misalnya jumlah pasien dan logistik seperti alat perlindungan diri serta ketersediaan reagen di laboratorium dan fasilitas kesehatan. “Ini merupakan navigasi untuk mempercepat penanganan corona,” ujar Wiku Adisasmito, Ketua Tim Pakar Gugus Tugas.
Menurut dua anggota staf di Gugus Tugas, pada masa awal pandemi, lembaga itu tak kunjung memperoleh data detail tentang kondisi wabah corona. Padahal data itu diperlukan untuk memantau kondisi pandemi dan menentukan kebijakan pemerintah. Dua sumber tersebut mengatakan kondisi itu sempat membuat Gugus Tugas “bekerja dalam kondisi buta”. Barulah pada 14 April, Kementerian Kesehatan memberikan data jumlah pasien positif ke Gugus Tugas.
Padahal, sehari sebelumnya, 13 April, Presiden Joko Widodo juga telah menginstruksikan semua data corona terintegrasi ke dalam Gugus Tugas. “Terkait data informasi, saya minta data-data informasi ini betul-betul terintegrasi dari semua kementerian masuk ke Gugus Tugas,” kata Jokowi.
Sistem Bersatu Lawan Covid ini membuat data di rumah sakit dan laboratorium jadi terintegrasi. Pemerintah kabupaten dan provinsi juga bisa membuka data dari sistem tersebut. Untuk mensosialisasi sistem itu, Doni pun menggelar rapat online bersama semua kepala dinas daerah, laboratorium, dan rumah sakit pada awal Mei lalu. Koordinator pelaksana pemeriksaan PCR di Laboratorium Rumah Sakit Universitas Mataram, Mohammad Rizki, mengatakan rapat itu memperkenalkan cara kerja Bersatu Lawan Covid. “Saya berharap banyak pada sistem ini karena akan mengurangi beban laboratorium,” ujar Rizki.
Sejak sistem Bersatu Lawan Covid berjalan pada Mei lalu, Rizki mengatakan sistem ini membantu memangkas jalur pelaporan banyak pintu. Waktu tunggu hasil laboratorium juga bisa lebih cepat karena rumah sakit dapat langsung mengecek ke sistem. Rizki tak perlu lagi mengirimkan data pasien ke fasilitas kesehatan. “Hanya tinggal mengisi tanggal masuk dan hasil lab,” katanya. Sebab, pengisian data pasien dialihkan ke fasilitas kesehatan sebelum dikirim ke laboratorium.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (tengah) didampingi Menko PMK Muhadjir Effendy (kiri) dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo (kanan) memberikan keterangan pers di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 7 Juni 2020./ANTARA/Bayu Pratama S
Untuk membantu pengisian data ke Bersatu Lawan Covid, Gugus Tugas menugasi personel Tentara Nasional Indonesia ke fasilitas kesehatan dan laboratorium. Ketua tim laboratorium Covid-19 Universitas Gadjah Mada, Titik Nuryastuti, mengaku amat terbantu dengan keberadaan TNI. Menurut dia, tentara ikut melengkapi data pasien yang luput dimasukkan oleh rumah sakit.
Namun, setelah beberapa pekan sistem ini berjalan, Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat edaran yang berisi perintah agar pelaporan data hasil laboratorium dilakukan di sistem milik Kementerian Kesehatan, New All Record. Sistem ini dikembangkan sehingga sudah terintegrasi antara fasilitas kesehatan dan laboratorium. Surat tertanggal 9 Juni itu diteken Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo.
Menurut sumber di pemerintahan, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto sempat mengontak Ketua Gugus Tugas Doni Monardo tak lama setelah sistem Bersatu Lawan Covid berjalan. Terawan kala itu meminta sistem pelaporan kembali di bawah Kementerian Kesehatan. Doni tak menjawab permintaan wawancara yang dikirim Tempo. Terawan pun tak menjawab permintaan wawancara. Juru bicara pemerintah untuk penanganan corona, Achmad Yurianto, mengatakan persoalan data kesehatan merupakan tanggung jawab Kementerian Kesehatan. “Secara hukum begitu,” ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa Gugus Tugas adalah lembaga ad hoc yang sewaktu-waktu bisa dibubarkan jika tugasnya selesai. “Kalau bubar, siapa yang bertanggung jawab soal data? Data harus tetap tersimpan karena dokumen negara,” katanya.
Sejumlah laboratorium pun sempat kebingungan terkait dengan perbedaan kebijakan itu. Dalam percakapan di grup WhatsApp yang berisi personel Gugus Tugas dan laboratorium, terlihat penolakan dari berbagai laboratorium terhadap kebijakan Kementerian Kesehatan. “Semua satu pintu lewat BLC, meringankan,” seorang anggota grup menulis.
Titik Nuryastuti mengatakan sistem Bersatu Lawan Covid dan New All Record hampir sama. Tapi situs web New All Record sering down. “Ketika admin kami sudah siap input, tiba-tiba webnya susah diakses, jadi bikin bete. Terus besok-besok lagi akhirnya belum jadi input,” ujar ketua tim laboratorium Covid-19 Universitas Gadjah Mada itu.
Kekisruhan data penanganan corona sampai ke Istana. Menurut seorang petinggi Istana, Presiden Jokowi sudah berulang kali meminta Kementerian Kesehatan, juga lembaga lain, memperbaiki data. Namun perbaikan itu berjalan lamban. Bukan hanya soal data, kata sumber tersebut, Presiden Jokowi juga melihat penanganan corona oleh Kementerian Kesehatan dan lembaga lain tidak maksimal. Puncaknya, pada 18 Juni lalu, Presiden menyentil Kementerian Kesehatan dalam rapat kabinet. Jokowi saat itu mempersoalkan rendahnya penyerapan anggaran di Kementerian Kesehatan, senilai Rp 75 triliun. “Anggaran baru terpakai 1,53 persen,” ujar Jokowi dalam video yang diunggah Sekretariat Presiden ke YouTube pada 28 Juni lalu.
Sentilan kedua dilontarkan Jokowi kepada Kementerian Kesehatan pada 29 Juni lalu. Saat membuka rapat terbatas penanganan Covid-19, Jokowi meminta pemberian bantuan yang terkait dengan penanganan corona dan insentif bagi tenaga kesehatan dipercepat. Dia meminta Kementerian Kesehatan menyederhanakan prosedur agar insentif lekas cair. Jokowi pun meminta penanganan corona terintegrasi antara kementerian dan lembaga.
DEVY ERNIS, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), MADE ARGAWA (BALI), M.A. MURTADHO (BOGOR), AHMAD RAFIQ (SOLO)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo