Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dugaan benturan kepentingan tersingkap dalam laporan pajak.
Temuan penyimpangan manajer investasi yang menyeret pejabat OJK.
Giliran nama Erry Firmansyah menggema dari kejaksaan.
SATU per satu fakta mulai terbuka dalam kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Yang teranyar datang dari Hexana Tri Sasongko, Direktur Utama Jiwasraya, ketika bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, 1 Juli lalu. “Atas aspirasi pemegang saham, Jiwasraya menugasi Kroll melakukan analisis dan investigasi,” kata Hexana dalam sidang yang dipimpin hakim Rosmina.
Kroll Associates Inc merupakan lembaga konsultan risiko dan investigasi korporasi asal Amerika Serikat yang dikenal lihai melacak manipulasi perdagangan saham (insider trading). Jiwasraya menyewa detektif bisnis swasta itu untuk menyelidiki dugaan penggelapan dana investasi perseroan oleh manajemen lama. Laporan Kroll melengkapi audit yang sebelumnya dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan terhadap perusahaan asuransi jiwa tertua di Indonesia tersebut.
Laporan Kroll mengendus benang merah konflik kepentingan yang bermuara ke Harry Prasetyo, mantan Direktur Keuangan dan Investasi Jiwasraya yang kini berstatus terdakwa dalam kasus ini. Dua unit mobil yang tercantum dalam surat pemberitahuan pajak (SPT) tahunan Harry pada 2011 menjadi hulunya.
Yang pertama Mercedes-Benz E-Class senilai Rp 950 juta. Tercantum dalam laporan pajak penghasilan Harry kendaraan buatan 2009 itu atas nama Joko Hartono Tirto. Joko tak lain adalah Direktur Utama PT Maxima Integra Investama, perusahaan pengelola portofolio saham dengan komisaris Heru Hidayat. Joko dan Heru juga berstatus terdakwa dalam perakaran dugaan korupsi Jiwasraya.
Satu lainnya, Toyota Harrier buatan 2009 senilai Rp 550 juta yang diklaim milik Harry ternyata atas nama PT Inti Agri Resources Tbk. Emiten berkode IIKP ini dimiliki PT Maxima Agro Industri, anak usaha Maxima Integra, dengan kepemilikan 6,3 persen. Pemegang saham lain IIKP adalah PT Asabri (Persero) sebesar 11,58 persen dan publik 82,12 persen. Heru Hidayat duduk di kursi Komisaris Utama IIKP.
Ditemui di sela persidangan, baik Heru maupun Joko tak memberikan penjelasan gamblang, cenderung mengelak. Tapi kuasa hukum Joko, Soesilo Aribowo, mengatakan mobil Mercedes-Benz E-Class atas nama kliennya yang tercantum dalam SPT Harry adalah hasil jual-beli. “Hasil transaksi biasa itu. Kalau ilegal, kenapa dimasukkan SPT,” ujar Soesilo, Jumat, 3 Juli lalu.
Jaksa penuntut umum Bima Suprayoga memastikan kedua unit mobil tersebut telah disita bersama sederet kendaraan mewah lain. Dua di antaranya Toyota Alphard dengan nomor polisi B-1018-DT atas nama Hendrisman Rahim dan Mercedes-Benz B-70-KRO atas nama PT Hanson International, perusahaan milik pengusaha Benny Tjokrosaputro. Hendrisman, bekas Direktur Utama Jiwasraya, juga menjadi terdakwa dalam kasus ini bersama Benny.
Jaksa mendakwa Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro, dan Joko Hartono Tirto membuat kesepakatan dengan Hendrisman Rahim, Harry Prasetyo, dan Syahmirwan—eks Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya—dalam pengelolaan investasi Jiwasraya yang tidak transparan dan akuntabel. Dana kelola perseroan, yang dikumpulkan dari nasabah, diduga ditempatkan ke sejumlah portofolio saham dan reksa dana saham tanpa analisis obyektif dan profesional.
Mereka diduga mengendalikan 13 manajer investasi dengan membentuk produk reksa dana khusus untuk Jiwasraya. Jaminan aset (underlying) dari 21 produk reksa dana yang dikelola manajer investasi itu masih terafiliasi dengan Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro. Kejaksaan telah menetapkan ke-13 manajer investasi itu sebagai tersangka korporasi dalam kasus dugaan korupsi yang ditaksir merugikan keuangan negara hingga Rp 16,8 triliun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASALAH di 13 manajer investasi ini yang belakangan mengarahkan penyidik Kejaksaan Agung ke dugaan keterlibatan pejabat Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia. Kamis, 25 Juni lalu, Kejaksaan Agung menetapkan Fakhri Hilmi, Deputi Komisioner Pasar Modal II OJK, sebagai tersangka baru kasus megaskandal Jiwasraya. Sejak itu, nama Erry Firmansyah, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia periode 2002-2009, ikut menggema di Gedung Bundar—kantor Jaksa Agung Muda Pidana Khusus.
Erry Firmansyah/Dok.TEMPO/Arif Fadillah
Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah menyebutkan Erry bersama Joko Hartono Tirto beberapa kali bertemu dengan Fakhri Hilmi, yang pada 2014-2017 masih menjabat Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A OJK. Persamuhan ditengarai berawal dari temuan Direktorat Transaksi Efek dan Direktorat Pengelolaan Investasi OJK mengenai penyimpangan transaksi saham Inti Agri Resources (IIKP).
Saham IIKP yang dikelola 13 manajer investasi sebagai portofolio Jiwasraya diduga “digoreng” sehingga nilainya naik signifikan. Dengan begitu, kinerja investasi Jiwasraya tampak moncer, tak mencerminkan kondisi sebenarnya. Borok di pengelolaan dana investasi ini tak bisa lagi tertutupi setelah Jiwasraya limbung, gagal membayar polis jatuh tempo puluhan triliunan rupiah sejak akhir 2018.
Febrie mensinyalir pertemuan-pertemuan yang digelar Erry, Joko, dan Fakhri bertujuan membendung pengenaan sanksi atau bahkan pembekuan usaha oleh OJK terhadap perusahaan pengelola investasi. Erry, kata Febrie, pernah duduk sebagai Komisaris Independen PT Pool Advista Indonesia Tbk pada 2017. Hingga kini, Evi Firmansyah, adik Erry, tercatat sebagai direktur utama perusahaan yang sama. POOL—kode emiten Pool Advista—merupakan induk PT Pool Advista Aset Manajemen, satu dari 13 manajer investasi yang bermasalah.
Nama Erry berkaitan pula dengan PT Pinnacle Persada Investama, manajer investasi lain yang juga menjadi tersangka korporasi. Kursi komisaris utama di perusahaan ini diduduki adik Erry, Rinaldi Firmansyah. Sedangkan anaknya, Indra Firmansyah, menjabat Director & Head of Investment. Kongsi ada pula di PT Prima Cakrawala Abadi Tbk, yang sebagian sahamnya juga dikantongi terdakwa Heru Hidayat. Laporan tahunan Prima Cakrawala Abadi 2017 mencatat Rinaldi Firmansyah sebagai komisaris utama. Emiten dengan bisnis pengolahan rajungan ini salah satu yang sahamnya sempat dikoleksi Jiwasraya dan Asabri.
Pada masa-masa awal penyidikan Jiwasraya, Direktur Utama Prima Cakrawala Abadi (PCAR) Raditya Wardhana mengatakan transaksi saham perusahaan di pasar modal di luar kendali manajemen. Ia menyatakan tidak mengetahui alasan Jiwasraya dan Asabri mengoleksi saham PCAR dalam jumlah besar. “Saya tidak memahami kedua perusahaan memiliki saham di kami. Semua terjadi di market. Kami berfokus mengurus operasional,” tutur Raditya kepada media di Gedung Bursa Efek Indonesia, 15 Januari 2020.
Sepanjang pekan lalu, Tempo berupaya meminta penjelasan kepada Erry Firmansyah. Namun hingga Sabtu, 4 Juli, Erry tak merespons pesan dan panggilan telepon Tempo.
Fakhri Hilmi/TEMPO/Muhammad Hidayat
Heru Hidayat dan Joko Hartono Tirto menyerahkan soal ini kepada kuasa hukum, Soesilo Aribowo. Menurut Soesilo, Joko menyatakan tidak bertemu dengan Fakhri Hilmi, melainkan dengan seorang pejabat OJK lain. “Ada masalah dengan pasar sehingga perlu konsultasi.” Adapun Fakhri Hilmi menyatakan kepada media akan berfokus menjalani proses kasus ini. “Allah punya maksud tertentu untuk saya,” ujarnya, singkat.
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo memastikan lembaganya mendukung penegakan hukum oleh Kejaksaan Agung dengan tetap menjunjung asas praduga tidak bersalah. “OJK telah dan selalu mendukung dalam bentuk penyediaan data dan informasi serta asistensi yang diperlukan Kejaksaan Agung,” ucapnya.
RETNO SULISTYOWATI, AJI NUGROHO, ANDITA RAHMA, VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo