Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ekspor benih lobster dimulai hanya sebulan setelah terbitnya peraturan.
Eksportir terafiliasi pengurus partai dan bekas penyelundup.
Proses bermasalah sedari awal.
ANDE Irfan Alafhi menunjukkan foto seekor bayi lobster yang tergeletak. Benih bening yang biasa disebut benur itu disejajarkan dengan sebuah macis kayu. “Ukurannya sudah segitu,” kata Ande, Direktur Operasi PT Royal Samudera Nusantara, di kantornya, Kamis, 2 Juli lalu.
Kantor Royal terlihat seadanya di deretan Ruko Golden Boulevard, Tangerang Selatan, Banten. Plang kantor menggunakan spanduk berukuran 3 meter persegi yang dipakukan pada atas atap teras. Penanda bahwa rumah toko tiga lantai itu adalah perusahaan perikanan hanya berupa dua stiker bertulisan “Instalasi Karantina Ikan PT Royal Samudra Nusantara” di kaca pintu.
Bayi lobster di telepon seluler Ande tadi semestinya sudah tiba di Vietnam pada 17 Juni lalu. Royal telah membungkusnya bersama 7.981 bayi udang karang yang siap diterbangkan pada hari itu. Namun rencana ekspor tersebut gagal.
Kabar dari kantor Bea dan Cukai Bandar Udara Soekarno-Hatta menyebutkan kargo Royal datang terlambat hingga akhirnya ketinggalan pesawat carteran. “Ya sudah, kami tanam lagi benihnya ke keramba,” ucap Ande.
Tidak banyak yang tahu bahwa kegagalan pengiriman benur pada 17 Juni itu merupakan transaksi kedua sejak Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo membuka keran ekspor benih lobster, awal Mei lalu. Tidak banyak yang tahu pula siapa sebenarnya pemilik Royal Samudera Nusantara, juga 29 perusahaan lain yang per 3 Juli lalu telah ditetapkan sebagai eksportir.
Di media sosial, gaduhnya lebih dulu meledak. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, melempar pertanyaan ketika pada akhir Mei lalu tersiar kabar bahwa kementerian yang dulu dipimpinnya itu telah menetapkan sembilan perusahaan eksportir benur. Sejak 2016, Susi membatasi penangkapan lobster dan melarang perdagangan benur yang dianggapnya sebagai wujud kedaulatan atas keberagaman sumber daya hayati Indonesia.
Hingga Rabu, 1 Juli lalu, Susi terus bersuara menentang kebijakan menteri penggantinya dengan mengungkap 26 perusahaan pemegang lisensi. Jumlah eksportir memang terus bertambah, bukan lagi 26 perusahaan, melainkan 30 perusahaan. Mereka terdiri dari atas 25 perseroan terbatas (PT), 3 persekutuan komanditer (CV), dan 2 usaha dagang (UD). “Ini semua permainan dewa,” tutur seorang pejabat Kementerian Kelautan, mengkonfirmasi sejumlah nama yang dibacakan Tempo dari isi akta perusahaan-perusahaan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA kesamaan gejala di antara akta 25 perusahaan eksportir benih bening lobster yang ditelusuri Tempo. Perusahaan baru didirikan dalam dua-tiga bulan terakhir. Kalaupun ada segelintir yang didirikan sebelumnya, manajemen korporasi yang berbeda itu belakangan seolah-olah kompak mengubah maksud dan tujuan pendirian perusahaan sebulan terakhir. Sejumlah perusahaan dulu kontraktor. Sekarang semuanya menjadi penangkap, pembudi daya, dan pelaku perdagangan perikanan, wabilkhusus krustasea laut.
Namun titik terang soal aktor di belakang perusahaan ada dalam daftar pengurus dan pemegang saham. Di PT Royal Samudera Nusantara, misalnya, tercantum nama Ahmad Bahtiar Sebayang sebagai komisaris utama. Bahtiar tak lain adalah Wakil Ketua Umum Tunas Indonesia Raya, underbouw Partai Gerakan Indonesia Raya. Dalam partai asal Menteri Edhy Prabowo ini, Bahtiar juga menjadi Kepala Departemen Koordinasi dan Pembinaan Organisasi Sayap.
Ande sempat menelepon Bahtiar, mengabarkan kedatangan Tempo ke kantor Royal pada Kamis siang itu. Lewat ponsel Ande, Bahtiar meminta Tempo menanyakan soal Royal ke direksi saja. Termasuk kepemilikan sahamnya di perusahaan tersebut.
Seorang staf menyalakan lampu aquarium penampung lobster hidup di kantor PT Royal Samudera Nusantara, Tangerang Selatan, 3 Juli lalu. Tempo/Khairul Anam
Di lokasi yang sama, seorang pria yang bernama Ariyanto membenarkan informasi bahwa Bahtiar salah satu pemilik Royal Samudera. Bahtiar, kata dia, hanya salah satu pemodal. Pendiri dan pemilik lain adalah anggota direksi. “Termasuk saya, punya saham juga,” ujarnya. Nama Ariyanto tidak tercatat dalam akta perusahaan.
Menurut Ariyanto, Royal mengajukan diri sebagai eksportir seperti perusahaan lain, tidak ada karpet merah kendati salah satu pemiliknya terafiliasi dengan partai yang sama dengan Menteri Edhy. “Bahtiar itu siapa di Gerindra? Dia bukan petinggi,” ucapnya.
Tiga eksportir lain juga terafiliasi dengan Gerindra. PT Bima Sakti Mutiara, misalnya, hampir semua sahamnya dimiliki PT Arsari Pratama. Komisaris Bima Sakti adalah Hashim Sujono Djojohadikusumo, adik Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum Gerindra. Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, putri Hashim, duduk sebagai direktur utama.
Saraswati mengakui Arsari Group baru kali ini menekuni usaha lobster, setelah selama 34 tahun berbisnis mutiara. Ingin berfokus menggarap sektor budi daya lobster, kata dia, perusahaan mengajukan permohonan izin sebagai eksportir pada Mei lalu. “Jumlah benih lobster yang ada di Indonesia itu melampaui kapasitas kebutuhan budi daya. Kalau sudah ditangkap benihnya terus enggak diekspor, sayang juga, sih,” tutur Saraswati ketika dimintai konfirmasi, Sabtu, 4 Juli lalu.
Dia tak ambil pusing soal anggapan konflik kepentingan dalam penetapan Bima Sakti sebagai eksportir. “Tuhan tahu mana yang bener. Kalau dapat izin terus berkarya membawa nama Indonesia, what is the problem?”
Setelah Bima Sakti, ada PT Agro Industri Nasional (Agrinas). Saham perusahaan ini dikantongi oleh Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan yang berada di bawah pembinaan Kementerian Pertahanan. Namun direksi dan komisarisnya didominasi kader Gerindra.
Rauf Purnama, anggota dewan pakar tim kampanye Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada pemilihan presiden 2019 dan calon legislator Gerinda pada Pemilihan Umum 2019, menjabat Direktur Utama Agrinas. Dirgayuza Setiawan, pengurus Tunas Indonesia Raya, menjadi direktur operasi. Simon Aloysius Mantiri, anggota Dewan Pembina Gerindra, menjadi direktur keuangan.
Di jajaran komisaris Agrinas terdapat nama Sugiono, Wakil Ketua Umum Gerindra yang kini duduk di kursi Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat. Masih di barisan komisaris, bercokol Wakil Sekretaris Jenderal Gerindra Sudaryono. Di puncak, Sakti Wahyu Trenggono, Wakil Menteri Pertahanan, menjabat komisaris utama. “Saya ex officio dari Kementerian Pertahanan,” ujar Trenggono saat dihubungi pada Kamis, 2 Juli lalu.
Seorang pejabat di Kementerian Pertahanan memastikan yang mengurus perusahaan ini adalah Dirgayuza. Pria 31 tahun ini satu dari tiga “Kesatria Jedi” Prabowo Subianto—begitu Prabowo menyebutnya pada 2013.
Ketika dihubungi pada hari yang sama, Dirgayuza menolak berkomentar. Dia meminta pertanyaan dikirimkan ke sekretaris perusahaan. Jawaban tertulis datang pada Jumat malam, 3 Juli lalu, dari Ressa, sekretaris Agrinas.
Surat elektronik atas nama corporate communication tersebut menjelaskan, kader Gerindra di Agrinas punya rekam jejak profesional dengan usaha ketahanan pangan, air, dan energi. “Kami menjunjung prinsip transparansi,” bunyi penjelasan tersebut. “Agrinas menghimpun talenta anak bangsa terbaik, dan bertekad membuka lapangan pekerjaan yang berkualitas.” Adapun ihwal izin ekspor benih lobster, perseroan mengklaim telah mengikuti tahap dan prosedur yang ketat dan baku.
Nama-nama dari lingkaran Gerindra kian lengkap dengan ditetapkannya PT Maradeka Karya Semesta sebagai salah satu eksportir. Pemiliknya Iwan Darmawan Aras, Wakil Ketua Komisi Infrastruktur DPR dari Fraksi Partai Gerindra. Di Maradeka, Iwan berkongsi dengan Eka Sastra, legislator Partai Golkar pada periode 2014-2019. “Eka itu adik sepupu saya,” kata Iwan, Sabtu, 4 Juli lalu.
Menurut Iwan, ekspor benih lobster merupakan bisnis baru Maradeka. “Kami sudah lama berbisnis ekspor-impor, tapi ini obyek baru. Kenapa tidak?” ucapnya. Seperti yang lain, Iwan menegaskan izin itu tak berkaitan dengan statusnya sebagai politikus Gerindra. “Sepanjang tidak berhubungan dengan uang negara, kami pikir masih bolehlah ambil bagian. Sepanjang memenuhi syarat.”
Sebenarnya, eksportir ini tak hanya terafiliasi dengan kader-kader Gerindra. Pemegang izin ekspor benur lain bertalian dengan politikus asal Nusa Tenggara Barat, salah satu provinsi sentra benih lobster. Politikus Partai Keadilan Sejahtera, Lalu Suryade, yang kini bersiap maju dalam pemilihan Bupati Lombok Tengah, adalah pemilik PT Alam Laut Agung. Suryade sempat menjawab sapaan Tempo lewat WhatsApp pada Kamis, 2 Juli lalu. Namun dia tidak merespons, baik pesan maupun panggilan, ketika mulai ditanyai soal keberadaannya di Alam Laut Agung.
Fahri Hamzah, bekas politikus PKS yang kini menjabat Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, tercatat membandari modal PT Nusa Tenggara Budidaya yang bermarkas di Gedung Cyber, Kuningan Barat, Jakarta Selatan. Di perusahaan yang baru didirikan April lalu ini, Fahri berkongsi dengan pengusaha Aziz Mochdar. “Hampir 20 tahun saya di pemerintahan (DPR) enggak boleh berbisnis. Sekarang saya berbisnis dan memilih kampung halaman, dong,” kata Fahri ketika dihubungi pada Sabtu, 4 Juli lalu.
Disinggung soal tudingan bahwa ekspor benih lobster hanya akan melegalkan kegiatan penyelundup, Fahri tak ambil pusing. “Justru kalau ekspor terbuka, penyelundup hilang,” ujarnya. “Sekarang nelayannya resmi dan kebijakan ini disambut pesta rakyat.”
Betul kata Fahri Hamzah. Para bekas penyelundup kini resmi berbisnis. Salah satunya Buntaran, pegawai negeri sipil yang dipecat Kementerian Kelautan dan Perikanan era Menteri Susi Pudjiastuti pada 2017 setelah divonis 10 bulan penjara dalam perkara penyelundupan benih dan pencucian uang. Pada Pemilu 2019, dia menjadi calon anggota DPR dari Gerindra untuk daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat 2, tapi gagal. “Saya enggak tahu jumlahnya berapa. Tapi itu semua duit nelayan yang jual benih. Duit keluar-masuk, bukan duit saya,” tutur Buntaran ketika Tempo menyinggung temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang dulu mendapati tabungannya berisi Rp 195 miliar.
Buntaran mengaku mengelola usaha budi daya dan jual-beli benih untuk dua perusahaan yang baru-baru ini ditetapkan sebagai eksportir oleh Kementerian Kelautan, yakni PT Alam Laut Agung dan UD Bali Sukses Mandiri. Namun dia menyatakan tidak tahu keberadaan Lalu Suryade di Alam Laut. Sedangkan di UD Bali Sukses Mandiri, Buntaran menyatakan bermitra dengan pembudi daya lobster di Lombok Timur, NTB.
Menurut Buntaran, Bali Sukses Mandiri juga menyerahkan pengelolaan pembudidayaan benih kepada Bahraen Hartoni, bekas penyelundup benur lain yang pernah ditangkap pada 2017. Bahraen kini menjadi Manajer Operasional PT Aquatik SSLautan Rejeki, satu dari sembilan perusahaan yang mendapat penetapan sebagai eksportir gelombang pertama. “Saya minta tanggung jawab Bahraen karena dia yang bikin kandangnya,” ucap Buntaran.
Bahraen tidak merespons ketika dihubungi Tempo untuk meminta klarifikasi perannya di Aquatik dan kerja sama dengan Buntaran di Lombok Timur. Namun Kantor Berita Antara pernah mengutip keterangan Bahraen sebagai Manajer Operasional Aquatic SSLautan. Dia menyebutkan ada 15 mitra perseroan yang tersebar di seluruh perairan NTB, dari Lombok, Sumbawa, hingga Dompu. “Untuk kuota ekspor, perusahaan kami mengajukan 25 juta ekor,” kata Bahraen di Sekotong, Lombok Barat, seperti dikutip Antara, Rabu, 24 Juni lalu.
Menteri Edhy Prabowo menjamin penetapan eksportir benih lobster, termasuk yang berkaitan dengan politikus, telah melalui prosedur yang baku, tanpa keistimewaan. “Semua proses kan ada panitianya. Saya minta siapa saja wajib dilayani,” ujarnya lewat sambungan telepon pada Jumat malam, 3 Juli lalu. “Semua yang diberi izin itu yang sudah menyiapkan budi dayanya.”
Dia pun tak mempersoalkan keberadaan bekas terpidana penyelundupan yang kini berjejaring dengan eksportir-eksportir benur. “Cuma karena aturan itu (era Menteri Susi) saja mereka dianggap penjahat. Daripada menyelundup, bukankah lebih baik mereka didata, kemudian terkontrol?” kata Edhy. “Jadi saya enggak peduli siapa dia. Siapa pun boleh.”
Sumber Tempo di Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan pendaftaran calon eksportir dimulai serentak tak berselang lama setelah kebijakan pembukaan keran ekspor benur terbit awal Mei lalu. Seleksi dilakukan tim uji tuntas bentukan Menteri Edhy Prabowo. Proposal usaha dan kelengkapan administrasi perusahaan dipaparkan secara virtual kepada tim yang diketuai anggota staf khusus Menteri Kelautan, Andreau Misanta.
Menurut dia, sekarang ada lebih dari seratus perusahaan yang sudah memasukkan berkas calon eksportir. “Coba dicek, apakah benar perusahaan-perusahaan yang ditetapkan sebagai eksportir punya budi daya, menjalin kemitraan dengan nelayan,” tuturnya. “Semua bermasalah sejak awal, bahkan ketika kuota penangkapan ditetapkan tanpa survei lapangan.”
Andreau sempat merespons permintaan klarifikasi dari Tempo. “Tolong pertanyaannya dikirim dulu, pasti langsung saya jawab,” kata Andreau pada 3 Juli lalu. Namun hingga Sabtu petang, 4 Juli, dia tak lagi menjawab pertanyaan Tempo tentang posisinya sebagai ketua tim uji tuntas dan proses seleksi yang ditengarai bermasalah.
•••
SEJAK terakhir kali berkomunikasi via WhatsApp pada 1 Juni lalu, Abdullah belum lagi mendapat kabar dari manajemen PT Lombok Lautan Bersama. Juru bicara Kelompok Usaha Budidaya (KUB) Andalan Indonesia itu tidak tahu lagi bagaimana kelanjutan rencana kerja sama dengan salah satu perusahaan yang ditetapkan sebagai eksportir benih lobster tersebut.
Semestinya, kata Abdullah, KUB Andalan Indonesia, yang beranggotakan pembudi daya lobster di Telong Elong, Lombok Timur, bakal menjadi perawat benih-benih lobster yang akan diekspor oleh Lombok Lautan. “Katanya mereka mau meninjau ke lokasi,” ucap Abdullah, Selasa, 30 Juni lalu.
Terdapat 6.000 lebih keramba jaring apung berisi lobster budi daya di perairan Telong Elong. Wilayah ini menjadi rebutan sejumlah perusahaan eksportir benih. Seingat Abdullah, sudah ada delapan perusahaan yang ingin bermitra dengan mereka.
Perkara budi daya ini memang menjadi syarat perusahaan bisa mengekspor benih. Pasal 5 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/Permen-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah Republik Indonesia menyebutkan eksportir harus membudidayakan lobster dulu sebelum mengirimkan benur tangkapan nelayan mitra ke luar negeri. Keberhasilan budi daya dibuktikan dengan panen secara berkelanjutan dan pelepasliaran lobster sebanyak 2 persen dari hasil budi daya di area penangkapan benur.
Dari sinilah kejanggalan proses ekspor benih bermula. Menurut Abdullah, dibutuhkan waktu hingga delapan bulan buat memanen lobster yang dibesarkan dari benih. Itu sebabnya dia bertanya-tanya ketika ada kabar ekspor benih telah dimulai pertengahan Juni lalu, hanya sebulan setelah peraturan menteri tersebut terbit. “Itu enggak sinkron,” tuturnya.
Kecurigaan Abdullah persis dengan pengakuan seorang petinggi Kementerian Kelautan. Semestinya, dengan syarat budi daya itu, ekspor perdana baru bisa dilakukan paling tidak setahun ke depan. Itu dengan catatan lobster yang dilepasliarkan adalah hasil pembesaran benih yang baru ditangkap sejak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 terbit. “Namun semuanya diterabas. Memang di sini semua tertekan agar ekspor segera terealisasi,” ujarnya.
Selain syarat budi daya yang dilonggarkan di sana-sini, kata pejabat Kementerian tadi, ada masalah pada kuota penangkapan sebanyak 139,47 juta ekor yang telah ditetapkan dalam keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap pada 15 Mei lalu. Akurasi kuota tersebut, dia menjelaskan, layak dipertanyakan. Sebab, pertama, tim Kementerian Kelautan tidak pernah turun ke lapangan untuk menghitung kembali potensi lobster. Kedua, sesuai dengan ketentuan, penetapan kuota semestinya dilandasi kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan.
Satu-satunya rujukan yang dipakai adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2017 tentang estimasi potensi, jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan. “Dari kajian terakhir itu, tim Kementerian Kelautan otak-atik menghitung potensi benih yang bisa ditangkap. Itulah ketemu hasilnya 139 juta ekor,” ucapnya.
Toh, menurut dia, saat ini muncul ketidakpuasan atas penetapan kuota yang hanya ratusan juta ekor. “Soalnya yang merancang ekspor ini sudah membayangkan angkanya miliaran ekor,” katanya. Jika ekspor sampai miliaran ekor, dengan harga Rp 50-70 ribu per ekor di pasar ekspor, bayangan cuan berlipat ganda. “Jadi jangan heran bila sebentar lagi kuota penangkapan benih direvisi lagi dengan angka jauh lebih besar.”
Ihwal kuota penangkapan ini, Menteri Edhy dalam jawaban tertulisnya mengatakan kajian Komnas Pengkajian Sumber Daya Ikan telah tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2017. Selain itu, dia menambahkan, kajian menyatakan Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian dapat menghitung sendiri jumlah benih bening lobster yang bisa dihasilkan oleh lobster betina dewasa. Dia mengklaim metode penghitungan oleh tim Kementerian Kelautan ini di bawah standar hitungan stok ikan. “Maka terdapat kemungkinan jumlah lobster dan benih lobster yang ada saat ini jauh melebihi angka yang telah ditetapkan,” tuturnya.
KHAIRUL ANAM, AISHA SHAIDRA, AGOENG WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo