Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kejar Tayang RUU Cipta Kerja, Pukulan Keras bagi Buruh dan Sambutan Mogok Kerja

Pemerintah kejar tayang menyelesaikan Omnibus Law Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja

1 Oktober 2020 | 22.57 WIB

Logo Te.co Blank
Perbesar
Logo Te.co Blank

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah kejar tayang menyelesaikan Omnibus Law Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja. RUU ini digadang-gadang dapat menarik minat investor asing menanamkan modal di Tanah Air. Investasi asing, menjadi andalan pemerintah mengatrol pertumbuhan ekonomi di masa pandemi, setelah konsumsi atau daya beli masyarakat melemah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Badan Legislasi DPR dikabarkan selesai membahas draf RUU Cipta Kerja, termasuk klaster ketenagakerjaan. Klaster ketenagakerjaan dalam aturan ini lah mendapat kritik keras para buruh karena dituding merugikan para pekerja. Anggota Panja RUU Cipta Kerja dari Gerindra, Obon Tabroni mengatakan adanya peluang RUU disahkan pada rapat paripurna awal bulan ini.

"Tanggal 8 kemungkinan akan dilakukan rapat paripurna," kata Obon dalam diskusi virtual, Senin, 28 September 2020. Padahal empat hari sebelumnya, kluster ketenagakerjaan belum dibahas pemerintah dan DPR. Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Elen Setiadi mengatakan pemerintah menampung usulan dari semua pihak yang berkepentingan.

“Masih kami dalami lagi. Namun kami juga pernah melakukan diskusi di nasional yang diikuti oleh beberapa ketua umum serikat pekerja dan serikat buruh, ada Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dan Kadin (Kamar Dagang dan Industri) juga di situ," kata Elen, Kamis, 24 September 2020 lalu. Sembari menyusun RUU, pemerintah telah menyiapkan peraturan pelaksanaannya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto ingin RUU Cipta Kerja segera dapat disahkan. Dia berharap regulasi anyar tersebut selesai dalam masa sidang tahun ini. DPR mengklaim pembahasan RUU ini telah dilakukan secara transparan dan melibatkan masyarakat, buruh hingga investor. Ketua DPR Puan Maharani berjanji Omnibus Law tidak hanya menguntungkan pengusaha. “Jangan ada satu pihak dirugikan, namun ada pihak yang lebih diuntungkan," kata Puan.

Mulusnya proses legislasi Omnibus Law sejalan dengan kerasnya penolakan dari kaum buruh. Puluhan pimpinan Konfederasi dan Federasi Serikat Pekerja sepakat mogok nasional sebagai sikap penolakan RUU Cipta Kerja. Lima juta buruh di ribuan perusahaan disiapkan mengikuti aksi ini. Mogok nasional akan digelar selama tiga hari, mulai 6 Oktober 2020 dan berakhir pada saat sidang paripurna yang membahas RUU Cipta Kerja tanggal 8 Oktober 2020.

Buruh mencap RUU Cipta Kerja hanya menguntungkan pengusaha. Pasalnya pengusaha bebas mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing di semua jenis pekerjaan, tanpa batasan waktu. Selain itu Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dihilangkan dan nilai pesangon dikurangi.

Serikat pekerja telah bernego dengan pemerintah terkait perlindungan minimal kaum buruh yang sudah diatur di UU Ketenagakerjaan agar tidak dikurangi.  "Tetapi faktanya omnibus law mengurangi hak-hak buruh yang ada di dalam undang-undang eksisting,” kata Said Iqbal Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Penghapusan UMK dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja dituding akan menurunkan pendapatan kaum buruh. Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memprediksi tingkat kesejahteraan 12,4 juta pekerja di Jawa akan turun. Pasalnya pada 2019, upah dari 12,4 juta buruh ini telah berada diatas UMK.

Tak hanya itu, peneliti IDEAS Askar Muhammad Askar menyebut penghapusan UMK ini menekan tingkat upah 39,4 juta pekerja Jawa secara keseluruhan. "Khususnya pekerja tidak tetap dengan sistem pengupahan mingguan, harian, borongan dan per satuan hasil,” kata Askar.

Askar menilai jika UMK hilang maka akan tersisa patokan Upah Minimum Provinsi (UMP). Selama ini kenaikan UMP hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi daerah tanpa memperhitungkan angka inflasi. Berdasarkan data di lapangan, Askar menyebut UMP jauh lebih rendah dari UMK. "Maka kehilangan UMK yang merupakan jaring pengaman upah di tingkat lokal, akan menjadi pukulan keras bagi pekerja,” kata dia.

Di luar konteks ramai pro-kontra, RUU Cipta Kerja dinilai jauh dari panggang menyelesaikan masalah perekonomian nasional. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai RUU Cipta Kerja tidak menyentuh akar masalah daya saing Indonesia yang melempem. "Tidak ada manfaatnya Ciptaker buat daya saing. Masalah utama daya saing adalah korupsi, dan omnibus law sama sekali tidak membahas penanganan korupsi," kata Bhima.

HENDARTYO HANGGI | FAJAR PEBRIANTO | BUDIARTI UTAMI PUTRI | ANTARA

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus