Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lurus terus lu belok kiri, mentok ada lapangan bulu tangkis
Nah, ikutin jalan lewat masjid dulu, baru lu belok lagi…
Tontonlah video berjudul Jalan Tak Ada Ujung karya Maulana Muhammad Pasha di Ok Video Militia, 3rd Jakarta International Video Festival di Galeri Nasional. Pasti Anda akan tersenyum geli. Selama 10 menit, kamera bergerak membawa mata kita hanya menyusuri lorong-lorong, gang kampung kecil.
Bersamaan dengan itu kita mendengar percakapan dua orang anak muda melalui telepon genggam. Yang satu terus-menerus bertanya, meminta petunjuk arah. Sementara yang lain memberi tahu ancar-ancar jalan rumahnya. Dari pembicaraan itu kita menangkap bahwa mereka berada di bilangan Cililitan, Jakarta Timur. Video memperlihatkan gang sempit berliku-liku panjang dan bersambungan. Yang bertanya (yang langkah kakinya seolah diwakili kamera itu) makin ”tersesat” dalam labirin gang. ”Busyet,” katanya. Sedangkan suara sang teman tampak jengkel. ”Parah lu. Bengkel motor belok kiri….”
Menggelikan membayangkan seseorang kesasar karena salah belok di lorong. Video ini sekaligus membukakan mata kita bahwa Jakarta dipenuhi gang ”tikus”. Bahwa sebagian besar warga Jakarta hidup berimpit-impit di lorong seperti itu. Datanglah ke festival video ini, Anda akan menemui banyak karya ”sableng” dengan ide kecil, remeh, sepele, yang sering luput dari pengamatan biasa, seperti Jalan Tak Ada Ujung itu.
Forum ini memang menjadi tempat berkumpul yang demokratis. Seratus lebih video dihidangkan, mulai dari karya seniman video dari Finlandia, Kosta Rika, Argentina, sampai buruh Majalengka. Dari yang benar-benar art sampai seperti karya usil. Sejumlah televisi dipajang, dilengkapi earphone, sehingga ruangan tidak berisik.
Segera yang tampak menonjol dari festival ini adalah semangatnya. Bahwa siapa saja bisa membuat video. Tak perlu mahasiswa film, tak perlu memiliki kamera yang canggih atau pengetahuan audio-visual yang mumpuni. Itulah zine, istilah untuk menyebut spirit buletin underground yang tak percaya pada isi media mapan, yang cocok untuk menyebutnya. Di sinilah ide unik apa saja bisa dieksekusi, dengan angle atau editing yang rada gila. Justru ini yang membedakannya dengan festival film pendek, dokumenter, klip musik, atau yang lainnya. Forum video yang digagas oleh Ruang Rupa ini seolah menjadi sebuah ranah tersendiri. Ranah lintas batas.
Dan anak-anak Ruang Rupa agaknya para ”pedagog” yang baik. Sebelum pameran, mereka melakukan workshop di 15 kota. Mereka menjadi mentor untuk membuka wawasan dan kesadaran mbeling banyak komunitas. Dari mahasiswa-mahasiswa di Malang, misalnya, muncul sebuah karya berjudul Jancok. Ini makian khas Jawa Timuran. Video berisi serangkaian wawancara dengan aneka rupa warga Malang, mulai dari satpam sampai tukang sate, tentang apakah mereka mengerti apa arti kata jancok. Ternyata, meski akrab dengan sumpah serapah ini, tak ada satu pun yang mengerti makna kata ini.
Atau dari Surabaya ada Ayu Moblong-Moblong karya Agus Kuching. Ini tampaknya hasil dari sebuat syut ”curi-curi”. Seorang tranvesti (sosok wanita yang dimainkan laki-laki) di sebuah pertunjukan ludruk tengah bersender sembari mengkidungkan lagu Ayu Moblong-Moblong (cantik bukan kepalang). Kamera menangkap, ”waria” yang seraya melantun itu tiba-tiba, karena gerah, mencopot bajunya, dan bertelanjang dada. Lucu.
Atau video-video para buruh pembuat genting di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Para buruh yang tiap hari bergulat dengan tanah liat dan panas matahari ini mulanya tak seorang pun akrab dengan perangkat multimedia. Ruang Rupa mengirim mentor ke sana dan melakukan workshop selama satu minggu. Lalu muncullah serentetan karya dari mereka. Salah satu yang menarik adalah Panda Mencuri Genteng. Ide dasar mereka adalah menempatkan kamera tersembunyi untuk menangkap maling genting lantaran genting mereka kerap hilang. ”Buruh-buruh itu seperti pembuat video profesional,” kata Indra Ameng, Managing Director Event.
Bila festival ini diberi tajuk Militia, agaknya karena Ruang Rupa mengharapkan dari ”murid” mereka di berbagai kota itu punya keberanian untuk merekam peristiwa sosial apa saja yang terjadi di lingkungan terdekat mereka. Bahkan menggunakan media rekam apa saja. Bila perlu cuma telepon genggam, oke, tak masalah. Indrayuni dan Tyas Setyaningrum, siswi SMU 112 Jakarta, misalnya dengan menggunakan handphone-nya yang mungil membuat karya Study Lazy Times. Menampilkan suasana kelas betapa guru dicuekin muridnya yang asyik teleponan atau sms-an.
Selain yang amatir di atas, festival ini diikuti para aktivis video dan perupa yang dikenal malang-melintang dalam kancah seni rupa nasional. Ada Eko Nugroho yang juga perupa dari Yogya itu. Semangatnya bengal dan tak ada kesan untuk menyajikan ”film bener”. Karya Eko Yesterday was Tomorrow menampilkan tayangan sebuah becak yang lajunya kencang. Namun yang disyut hanyalah jari-jemari penumpangnya yang tampak mencengkeram kuat. Atau karya fotografer Wimo Ambayang berjudul Jongos. Video ini menampilkan seseorang menyunggi sekerat besar bakery di atas kepalanya. Lalu ia keluar-masuk toko-toko di mall.
Festival ini juga menggarisbawahi bahwa jaringan internasional yang dimiliki Ruang Rupa makin luas. ”Kawan-kawan manca” hadir dari Belanda, Finlandia, Kamerun, sampai Meksiko. Tema yang disajikan beragam. Dari Belanda, misalnya, Martin Veldh menampilkan lokasi pacuan kuda. Tapi yang disyutnya adalah aksesori yang dikenakan para pengunjungnya, mulai dari sepatu, gelang tangan, sampai gelang kaki. Dari public space memang dapat digali apa saja. Banyak karya para tamu itu yang menunjukkan bagaimana televisi kini sangat mencuci otak masyarakat. Misalnya karya Liu Wei dari Cina tentang peringatan SARS di televisi Hong Kong yang bisa mengubah kehidupan rutin warga.
Ada beberapa instalasi video. Salah satunya Box With Holes karya Heine Rosdal Avdal—seniman asal Oslo yang bermukim di Brussels. Sebuah ruangan dibalut warna hitam. Penonton dipersilakan masuk selama 10 menit. Dalam kegelapan penonton bisa melihat ada sebuah cermin dan sebuah kotak dengan dua lubang. Di atasnya terdapat sebuah proyektor.
Bila kedua tangan kita masukkan, akan muncul siluet tangan kita di permukaan kotak. Namun, dengan tampilan distorsi, tangan kita menjadi memanjang, memendek, gembung, cekung. Yang mengagetkan, tiba-tiba ada tangan lain yang menjamah tangan kita. Tangan itu lalu memencet, meremas, mengusap-usap, menyelipkan bulatan kertas kecil di jemari dan telapak tangan kita. Interaksi antara tangan kita dan tangan tak terlihat itu membuat gambar yang muncul pada permukaan kotak makin variatif.
”Karya ini berbicara tentang keintiman. Kali ini baru menggunakan tangan, lain kali mungkin bagian tubuh lain seperti kaki,” kata Heine. Instalasi interaktif demikian mungkin yang harus diperbanyak dalam festival ini. Selain di Galeri Nasional, festival ini juga memajang karya di tempat umum seperti Stasiun Gambir, Stasiun Kota, Ratu Plaza, beberapa kafe di Cikini. Namun yang disajikan rata-rata video box, bukan instalasi partisipatif.
Jika interaksi model karya Heine Rosdal di atas diletakkan di tempat umum dan bukan di Galeri Nasional, pasti akan lebih mengasyikkan. Bayangkan di Gambir, ketika banyak orang dengan berbagai latar belakang menunggu kereta, melihat ada ruangan hitam. Tentu keingintahuan mereka timbul, dan tingkat keisengan mereka jauh lebih tinggi….
Seno Joko Suyono, Andi Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo