Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Enam Selongsong di Sudut Jamban

Tak ada jejak perlawanan dari enam orang tertuduh teroris dalam penyergapan di Ciputat. Polisi punya peluang menangkap mereka hidup-hidup.

13 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMAR mandi rumah kontrakan milik Jefri di Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, hanya berukuran 1,5 x 1,1 meter. Di ruangan sempit itu bertumpuk lima tubuh tak bernyawa bersimbah darah. Detasemen Khusus 88 Antiteror menembak mereka dalam penyergapan sebelas jam pada malam tahun baru, Selasa dua pekan lalu.

Detasemen menuduh mereka teroris pelaku penembakan polisi di Banten dan Jakarta sepanjang tahun lalu. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) melihat lokasi dua hari kemudian, menemukan banyak kejanggalan dalam perburuan itu. Komisi menduga anak-anak muda ini tak melawan ketika disergap. "Darah hanya ada di kamar mandi dan sudah ditutup bubuk kopi," kata seorang komisioner pekan lalu.

Dalam temuan Komisi, tak ada dinding rumah yang jebol dan tembok bocel bekas baku tembak yang sengit. Ceceran darah hanya ada di dinding kamar mandi dengan bekas satu-dua peluru. Dari luka tembak dan posisi peluru yang lurus dari atas ke bawah, Komisi menduga pelor dimuntahkan dari jarak dekat. "Penembaknya ada di kamar mandi," ujar komisioner itu.

Nur Kholis, ketua tim investigasi Komisi, belum mau merilis hasil penyelidikan penyergapan itu. "Kami masih harus mendengarkan keterangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan keluarga korban," katanya. Bukti dan keterangan yang sudah dikantongi Komisi baru dari tinjauan lokasi dan wawancara warga Kampung Sawah yang melihat penyergapan itu.

Lima orang tewas ini berasal dari pelbagai daerah di Jawa. Mereka tamu Ruhidayat, penyewa rumah petak di Gang Haji Hasan, Kampung Sawah, itu. Menurut ­Jefri, pemilik rumah, lima orang itu baru tiba Selasa pagi, sepuluh jam sebelum penyergapan. Tamu-tamu yang usianya tak lebih dari 30 tahun ini adalah Nurul Haq, Fauzi, Rizal Ali Makruf, Hendi Albar, dan Edo.

Ruhidayat tewas sebelum kematian teman-temannya itu. Ia ditembak pukul 19 di jalan depan kontrakan saat hendak membeli makanan. Ruhidayat, yang bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Ciledug, sudah tinggal delapan bulan di kontrakan bercat merah muda dengan ongkos sewa Rp 500 ribu sebulan itu. Maka ia akrab dengan penduduk sekitar. Ketika hendak membeli makanan itu, ia membonceng sepeda motor Miwan, penyewa kamar lain, yang akan membeli lampu.

Juru bicara polisi, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar, membenarkan kabar bahwa Nurul Haq dan teman-temannya ditemukan berkumpul di dalam kamar mandi. Ia menduga orang-orang ini bersembunyi di sana untuk menghindari semburan gas air mata yang ditembakkan polisi. "Mereka butuh air untuk membasuh muka," ujarnya.

Selain menyemburkan gas air mata, polisi menembakkan peluru tajam. Ini pula, kata Boy, yang membuat mereka terdesak dan berlindung di kamar mandi yang dua sisi dindingnya menghadap rerimbunan bambu yang bukan arah tembakan polisi itu. Pengepungan berlangsung lama, ucap Boy, karena Nurul Haq melawan dengan balas menembak dan meledakkan bom.

Seusai penyergapan, polisi memamerkan barang bukti yang diklaim ditemukan di rumah kontrakan itu. Ada delapan pistol, 74 butir peluru kaliber 9 mm, tiga granat pipa, bahan pembuat bom, buku, dan uang Rp 235 juta. Polisi menduga uang itu hasil merampok bank pada 24 Desember 2013.

Polisi merilis hanya menemukan enam selongsong peluru yang ditemukan di kamar mandi. Artinya, jika benar para terduga teroris ini punya pistol, mereka hanya menembak enam kali selama sebelas jam itu. Boy mengatakan, selain dengan pistol, lima orang itu melawan dengan melemparkan bom. "Sudah kami tawari menyerah, mereka terus melawan," ujarnya.

Komisi Hak Asasi tak menemukan bekas bom. Warga Kampung Sawah yang diwawancarai juga tak mendengar ledakan. Temuan-temuan ini membuat Kontras menuding polisi menyalahi prosedur penyer­gapan. "Indikasinya, polisi sudah lama mengintai rumah itu," kata Haris Azhar, Koordinator Kontras.

Polisi mengklaim penyergapan itu berdasarkan informasi yang diungkap Anton alias Septi di Banyumas, lima jam sebelumnya. Anton, kata Boy Rafli, membuka hubungan Nurul Haq dengan Abu Umar, terpidana sepuluh tahun penjara dalam kasus penyelundupan senjata dari Filipina untuk jaringan mereka di Poso, Sulawesi Tengah.

Setelah Abu Umar tertangkap, anak buahnya meluaskan jaringan dengan merek­rut anggota lain. Salah satunya William Maksum, anggota Jamaah Ansharut Tauhid, yang berikrar kembali menghidupkan Batalion Abu Bakar di Situ Gintung, Ciputat, pada Agustus 2012. Pengikut dalam ikrar ini, menurut polisi, tak lain Nurul Haq dan teman-temannya itu.

Simpul Nurul dengan Abu Umar ada di Abu Roban dan Qodrat, dua murid Abu Umar. Di tengah jalan, keduanya berselisih. Abu Roban membentuk Majelis Mujahidin Wilayah Barat untuk meluaskan jaringan. Mujahidin Wilayah Timur dipimpin Santoso, buron tersangka teroris Poso. Qodrat dan Roban tewas ditembak polisi dalam sebuah penyergapan di Batang, Jawa Tengah. "Penghubung Wilayah Barat dan Timur adalah Daeng Koro, yang masih buron," kata Boy.

Feri Kusuma, Kepala Monitoring Kontras, mengatakan, jika polisi ingin membongkar jaringan teroris, "Mengapa mereka tak ditangkap hidup-hidup?" Menurut dia, peluangnya sangat terbuka. Selain penembak sudah berhadapan di kamar mandi, warga Kampung Sawah bersaksi polisi telah mengintai tempat itu dua bulan sebelumnya.

Polisi-polisi itu, kata Feri, masuk ke sana dengan menyamar sebagai penjual siomay dan pemotong rumput. Seorang saksi mata yang diwawancarai Kontras mengatakan penembak Ruhidayat adalah penjual siomay ini. Anggota Detasemen dan polisi sudah berkumpul sejak Selasa pagi di lapangan sepak bola dan musala yang berjarak 200 meter dari kontrakan.

Danan Mulyana, pemilik warung Kembang Joyo di dekat rumah Jefri, mendengar letusan pistol tiga kali saat Ruhidayat dilumpuhkan. Boy mengklaim polisi terpaksa menembaknya karena dia melawan dengan balas menembak. Peluru Ruhidayat meleset dan mengenai lutut Daniel, polisi yang hendak menangkapnya. Ketika rombongan komisioner hak asasi bertandang ke Markas Kepolisian RI pekan lalu, Daniel ditampilkan dengan perban di kedua kakinya.

Kepada para komisioner, dokter yang merawatnya menyebutkan dua lutut Daniel terkena pantulan peluru dari tanah. Adapun Boy mengatakan hanya satu lutut Daniel yang terluka. Tak ada saksi mata dalam penembakan itu kecuali Miwan. Dia kini menghilang dan dikabarkan pulang ke Tegal, Jawa Tengah.

Komisi akan kesulitan membuat rekons­truksi ulang karena rumah kontrakan Jefri sudah direnovasi polisi. Tempo, yang bertandang ke sana Kamis pekan lalu, melihat puing bekas penyerbuan sudah dibersihkan. Kamar mandi juga sudah diperbaiki. Boy berdalih pembersihan itu untuk meringankan beban pemiliknya. Diwawancarai terpisah, Jefri mengatakan, "Sebenarnya saya ingin diberi uang pengganti saja karena bangunan ini akan dirobohkan."

Rusman Paraqbueq, Muhammad Muhyiddin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus