Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ignas Kleden, sosiolog, Ketua Badan Pengurus
Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)
TERPILIHNYA dua presiden terakhir di Indonesia—Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo—dalam pemilihan langsung oleh rakyat ternyata menimbulkan pengelompokan politik yang unik di luar partai politik. Presiden YuÂdhoyono dikelilingi para pengagumnya yang mengelompok dalam berbagai fan club, sementara Presiden Jokowi didukung jaringan luas para relawan. Kita tahu, fan club lebih mirip pengelompokan sosial biasa seperti kelompok arisan atau penggemar motor gede, meskipun selama pemilu para penggemar ini memperlihatkan pengaruh yang efektif dalam mempengaruhi pembentukan pendapat umum. Apa yang mendorong terbentuknya kelompok penggemar ini terutama adalah keterpesonaan terhadap citra Yudhoyono yang santun, tokoh militer yang simpatik dalam tutur kata dan tenang dalam penampilan, meskipun citra ini tidak mencapai tingkat karismatis seperti yang ada pada Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia.
Di pihak lain, relawan Jokowi juga suatu pengelompokan sosial, yang menjelang pemilihan presiden mengkristal dalam watak politik yang semakin kuat. Bahwa relawan pada dasarnya suatu pengelompokan sosial biasa tampak dari cukup banyak anggotanya yang dalam semua pemilu selama reformasi memilih menjadi golput dan tidak berpartisipasi dalam salah satu pemilu pun sebelum 2014. Tidak mengherankan bahwa jumlah orang yang mengambil bagian dalam Pemilihan Presiden 2014 meningkat secara signifikan. Menurut sebuah perkiraan, jumlah partisipan aktif dalam pemilihan presiden mencapai 190 juta orang, dan dari antaranya 67 juta orang merupakan pemilih pemula.
Benarkah banyak kaum muda ingin mendukung pencalonan Jokowi sebagai presiden ketujuh di Indonesia? Dugaan ini rupanya hanya separuh benar, karena tidak sedikit aktivis relawan melibatkan diri dalam kampanye, bukan terutama untuk memenangkan Jokowi, melainkan buat menghadang calon presiden yang tidak mereka pilih. Ada keprihatinan dan rasa cemas yang menyebar luas tentang dua perkara. Pertama, apakah demokrasi—dengan berbagai kelemahan dalam implementasinya—tetap dapat dipertahankan sebagai sistem politik yang menghormati manusia, martabat dan hak-hak asasinya, dan menjamin kemerdekaan tiap warga di bawah naungan hukum? Kedua, apakah prospek perubahan bisa diperkuat atau Indonesia terperangkap lagi dalam status quo dengan oligarki yang memasung kemerdekaan rakyat dalam ekonomi dan politik, di bawah kekuasaan beberapa orang yang mempunyai modal dan menguasai sumber daya ekonomi?
Jelas ada perbedaan yang cukup nyata di antara fan club dan kelompok relawan. Para anggota fan club digerakkan oleh keterpesonaan dan simpati, tapi dengan komitmen yang serba cair. Sebaliknya, para relawan bergerak dan berjejaring karena menganut suatu komitmen yang sama. Para fan mengambil bagian dalam kemegahan tokoh pujaan, sementara para relawan bekerja dengan penuh pengorbanan untuk sebuah harapan dan keyakinan. Ini juga sebabnya mengapa ramainya kelompok penggemar tak banyak membawa perubahan nilai, sementara perilaku para relawan memperlihatkan pergeseran nilai yang nyata, meskipun belum jelas benar seberapa dalam pengaruh pergeseran ini, dan berapa lama pengaruhnya dapat bertahan.
Dua dasawarsa sejak Reformasi 1998, politik Indonesia boleh dikata digerakkan oleh pragmatisme yang buruk. Politik bukanlah sesuatu yang lebih besar dari kepentingan pribadi dan kelompok, bukan suatu panggilan atau Beruf sebagaimana dikatakan oleh sosiolog Max Weber, melainkan merosot menjadi perwujudan egoisme pribadi dan egoisme kolektif. Negosiasi politik untuk mencapai konsensus berganti rupa menjadi transaksi dagang untuk mendapat keuntungan, dalam rumus: uang = kekuasaan, dan kekuasaan = uang. Posisi-posisi eksekutif dan legislatif pada segala tingkatnya mempunyai harga sendiri bagi yang berminat.
Pragmatisme seperti inilah yang ditandingi oleh kelompok relawan yang membawa serta suatu voluntarisme baru. Terlihat perubahan penting dalam anggapan tentang apa yang dianggap bernilai dalam kebudayaan dan penting bagi politik. Kekayaan dan kemewahan gaya hidup tidak lagi sepenuhnya menjadi impian, karena idola baru dalam kalangan relawan bukan lagi glamor yang berkilau, tapi kesederhanaan dan sikap bersahaja. Semboyan-semboyan dengan triumphalism yang gembung tidak lagi menarik hati, karena orang bergeser minatnya kepada sikap down to earth. Kepintaran dan kecanggihan mulai diragukan karena yang dicari adalah kejujuran yang lugu. Retorika yang berbusa-busa mulai ditinggalkan, dan yang menjadi perhatian baru adalah apa yang diwujudkan dalam tindakan nyata. Dari kebiasaan memandang ke atas, orang belajar untuk lebih banyak melihat ke bawah. Think big and grow rich masih jadi judul perilaku kapitalis, tapi generasi para relawan memperkenalkan tanda kenal baru plain living, high thinking. Patronase dengan pola patron-klien mulai dianggap kuno, dan penghargaan diberikan kepada persamaan dan emansipasi. Pemerintah dihadapkan pada tuntutan baru untuk tidak meminta kepercayaan rakyat, tapi menumbuhkan kepercayaan publik dan mengelolanya dengan baik.
Ekonomi sebagai kekuatan pasar tetap diperhitungkan, tetapi sama pentingnya melihat ekonomi sebagai refleksi kekuatan rakyat yang harus digalakkan. Mengimpor beras dan gula dari luar dengan harga yang lebih murah merupakan kiat dagang untuk mencari untung, tapi melalaikan kepentingan membangun kekuatan ekonomi nasional. Mengejar pasar luar negeri sambil menutup mata terhadap kekuatan pasar domestik yang didukung oleh 250 juta penduduk jelas tindakan yang tidak bisa dibenarkan oleh common sense mana pun. Demikian pun kebudayaan yang semenjak Orde Baru diperlakukan sebagai sektor pinggiran yang hanya berisi "halangan-halangan mental" dalam pembangunan kini mendapat perhatian sebagai focal point untuk berbagai sektor lain. Kegiatan-kegiatan industri kreatif yang dimanfaatkan secara baik oleh para relawan rupanya meyakinkan Presiden Jokowi tentang pentingnya kebudayaan.
Di atas segala-galanya, perubahan mendasar yang diperlihatkan para relawan adalah sikap non-pragmatis. Kegiatan mereka tidak lahir dari pengerahan massa, tapi muncul dari spontanitas. Mereka juga tidak digerakkan oleh uang atau iming-iming balas jasa lainnya. Sebaliknya, mereka sendiri mengeluarkan dana pribadi untuk membiayai apa yang mereka lakukan. Mereka tidak bertanya apa yang dilakukan oleh calon presiden untuk mereka, tapi apa yang dapat mereka lakukan untuk membantu pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.
Dalam suasana ini, politik uang menjadi tidak relevan dan segala faktor yang memungkinkan pengotakan politik entah agama, etnis, entah kedaerahan ditembus secara lintas-kelas, lintas-profesi, lintas-usia, dan lintas-sektor. Datanglah ke salah satu pos relawan, di sana Anda berjumpa dengan aktivis, akademikus, sopir, seniman, pedagang kecil, para jagoan IT, atau para pengusaha dan bankir.
Disengaja atau kebetulan, para relawan telah menggabungkan dua pergerakan sekaligus, yaitu gerakan politik memenangkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dan social movement untuk menciptakan suasana politik dan kebudayaan yang lebih lega. Sebagai gerakan politik, tujuannya telah tercapai dan tugasnya sudah selesai. Sebagai gerakan sosial, pekerjaannya baru dimulai dan sejarah akan mencatat apakah cita-cita suatu masyarakat baru dapat terwujud setelah pragmatisme politik dan semua turunannya dapat digeser oleh voluntarisme baru dalam politik dan kebudayaan. Voluntarisme itu akan membuktikan apakah kebekuan politik dan sempitnya ruang gerak kebudayaan yang selama ini terkungkung dalam egoisme perorangan dan kelompok dapat diterobos oleh suatu kebersamaan baru, yang menghimpun energi-energi terbaik, yang dapat membentuk masa depan yang terbuka bagi setiap warga, yaitu semua orang yang menjunjung langit di atas bumi negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo