MA Liangbi -- alias Muhammad Yunus -- menitikkan air mata. la
terharu. Setelah masa pemberangusan 16 tahun, ia diizinkan
kembali memanggku jabatannya yang lama. Yunus adalah Imam Masjid
Xian, Cina bagian tengah.
Dengan Deng Xiaoping di belakang kendali, tampaknya penguasa
Cina ingin berbaikan dengan kaum beriman. Agaknya agama tak lagi
dianggap "ancaman subversif." Tambahan pula kelonggaran beragama
terasa membantu citra Cina di mata dunia.
Tahun lalu, 16 orang muslim Cina naik haji. Ma Liangbi salah
satu. Di Masjid Xian ia merangkap guide yang ramah, menuntun
para tamu menengok-nengok rumah ibadat yang tua itu.
Dikelilingi tembok, dengan paviliun dan taman terpelihara,
arsitektur masjid ini tak mengesankan gaya Timur Tengah. Ciri
Mandarin-nya lebih kuat. Menaranya berbentuk pagoda susun.
Imam Ma sendiri tak kentara sebagai pemuka agama. Hanya kopiah
putihnya menandakan Ma anggota kelompok minoritas Hui. Sejak
Islam masuk ke Cina lebih 1000 tahun lalu, kelompok Hui
bersentuhan dengan mazhab Sunni yang dianut 90% muslimin di
dunia. Ma mengepalai sekitar 30 ribu muslim ini. Bukan sedikit.
Ketika Revolusi Kebudayaan merajalela, 1966-1976, tak sedikit
azab yang ditanggung kaum beriman. Masjid, seperti juga
kelenteng, vihara, gereja dan katedral, menjadi sasaran
hancur-hancuran. Entah mengapa Masjid Xian tak mengalami
kerusakan berarti. Mungkin 'Pengawal Merah' khawatir akan amarah
kaum muslim, yang di daerah itu memang terkenal teguh .
Meski begitu sempat juga masjid itu ditutup setahun. Imam Ma
sendiri dipaksa - bekerja di sebuah pabrik. Sedang kelenteng dan
gereja lebih malang nasibnya: banyak yang digunakan sebagai
gudang.
Masjid Agung Beijing tidak terkecuali. Pada 1966, rumah ibadat
yang terletak di Jalan Lembu itu ditutup. Revolusi Kebudayaan
tak membutuhkan komat-kamit doa!
Maka ketika 'Kelompok Empat' diobrak-abrik, kaum beragama Cina
merasa doa mereka dikabulkan. Tak habis-habisnya mereka
membicarakan 'bala' yang menimpa Jiangqing, janda mendiang Mao
Zhedong yang bijak bestari itu.
Syahdan, Idul Adha tahun lalu terjadilah 'mujizat'. Masjid Agung
Beijing dibuka kembali. Tidak main-main. Peristiwa itu diawali
dengan penyembelihan seekor domba!
Inilah upacara korban pertama - Kiao Kai Zhai, menurut lafal
sana - setelah 15 tahun. Banyak orang meberkati domba yang akan
disembelih itu tampak berlinang air mata. Pemerintah bahkan
mengirimkan seorang juru potret untuk mengabadikan 'peristiwa
besar' itu.
Islam datang ke negeri Cina melalui jalur lalu lintas
perdagangan sutra. Menyeberangi Asia Tengah. Atau lewat Asia
Tenggara. Tetapi jumlah pemeluknya yang pasti dipertentangkan --
apalagi karena pemerintah komunis yang kemudian berkuasa tak ada
urusan untuk melakukan sensus rakyatnya berdasar aama. Dalam
buku misionaris Marshall Broomhall, Jslam in China, dicantumkan
hasil perhitungan Konsul Jenderal Prancis di Tiongkok 1878-ia
menyebut jumlah 20 juta. Broomhall sendiri melaporkan di tahun
1910: 5-10 juta.
Encyclopaedia Brittannica, menyebut angka 10 juta. Tapi The
Encyclopaedia of Mission -- menurut 'The Fourth Religion of
China' tulisan S.M. Livemer, Muslim World, 1934, memilih angka
30 juta. Badruddin Chini dalam tulisan Livemer tersebut,
menyebut lebih banyak: 39.918000.
Buku Islam in China dari M. Rafiq Khan, New Delhi, malah menukil
karangan wartawan Indonesia Asa Bafagih (almarhum) dalam majalah
Green Flag, Tokyo -- yang menyebut jumlah muslimin Tiongkok
sedikit lebih dari 50 juta, waktu komunis mulai berkuasa. Entah
dari mana sumbernya. J umlah penduduk Cina sendiri diperkirakan
lebih sedikit dari 600 juta.
Yang jelas, muslimin Cina tersebar terutama di daerah-daerah
Sinkiang, Szechwan, Kansu dan Tsinghai. Kemudian Yunnan, Shensi,
Chihli dan Honan. Di tempat-tempat lain jumlah mereka kecil,
tetapi ada kota-kota lain yang banyak berpenduduk muslim:
Beijing, Nanking, Tientsin, Tsinan, Kaifung, Xian, Chengtu,
Yunnanfu, Kweilin, Hankow dan Kanton.
Hanya saja riwayat eksistensi mereka di 'negeri naga dan burung
hong' itu, penuh lekuk liku. Hingga kini pun, misalnya muslim
Cina belum diizinkan berlibur pada hari Jumat. Apalagi berlibur
sekolah di bulan puasa. Maklum komunis.
Sembahyang jamaah pada hari Jumat disesuaikan dengan jam
istirahat kantor dan pabrik. Syukurlah itu sudah diizinkan di
sana.
Tanda-tanda toleransi lainnya, ya bolehlah. Sebuah tafsir Al
Quran dalam bahasa Cina segera dicetak musim panas tahun ini.
Tafsir pertama setelah Revolusi Kebudayaan.
Pada zaman dulu, masjid mendapat dananya dari menyewakan tanah
dan rumah milik yayasan atau lembaganya, yang biasanya berstatus
wakaf. Setelah pemerintahan 'demokrasi rakyat' berkuasa, hanya
negara yang boleh memiliki kekayaan. Masjid menerima 'subsidi'
secara tetap Sebagian dananya diambilkan dari pengeluaran untuk
"gedung-gedung bersejarah."
Seperti halnya Ma Liangbi, kebanyakan muslim Cina memakai nama
depan Ma. Artinya: kuda. Lho! mengapa bukan unta, kalau perlu?
Dalam aksara Cina, ma adalah 'karakter' pertama di dalam
menyalin nama Muhammad. Ma adalah bunyi fat-hah untuk huruf Arab
min.
Di Xian, Imam Ma Liangbi, makin berbesar hati. Jamaahnya
bertambah secara mantap. Sambil mensyukuri pertambahan penduduk
secara alami, ia juga berterima kasih kepada 'ekspansi
industrialisasi' yang menjamah daerah itu. Sebab
keluarga-keluarga pekerja baru berdatangan di Xian. Dan di
antara mereka ternyata tak sedikit kaum muslim.
Dari sekitar 10 saf peserta sembahyang jamaah yang datang secara
tetap ke masjid (dan 10 saf itu banyak sekali, untuk ukuran
sembahyang harian -- bukan Jumat -- di masjid-masjid kita),
lebih 6 saf terdiri dari orang tua. Inilah kelompok yang paling
banyak menanggung caci maki selama hampir 30 tahun terakhir.
Sebaliknya, mereka pula agaknya yang paling teguh, dan tahan
uji.
KELOMPOK tua ini kerap diremehkan. Padahal jangan lupa:
pertimbangan, terakhir Beijing memberikan kelonggaran beragama
bukan tak mungkin dipengaruhi keteguhan mereka.
Tadinya, dengan memberikan tekanan-tekanan drastis kepada kaum
beriman, Beijing mengharapkan rakyatnya 'alergi' terhadap agama.
Ternyata tidak. Ketika masjid-masjid ditutup, para muslimin dan
muslimat menjalankan salat sendiri-sendiri, di balik dinding dan
pintu terkunci.
Sesudah lama menyelidik, rezim Deng Xiaoping rupanya lebih
realistis ketimbang pendahulunya. Agama kebetulan belum pernah
menularkan pengaruh sosial dan kebudayaan di Cina dengan cara
seperti misalnya di Eropa dan Timur Tengah. Jadi, buat apa
khawatir?
Namun demikian, Ma Liangbi dan para Ma lainnya di sana tidak
lantas berjumpalitan lantaran senang. Mereka tetap berjaga-jaga.
Di antara anggota jamaah yang datang terbungkuk-bungkuk
bersembahyang subuh ke masjid itu, bukan mustahil menyelinap
seorang 'agen Beijing'. Maklum .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini