Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kenapa polisi menembak

Wawancara tempo dengan kapolri letjen kunarto,52, tentang tindak kejahatan yang akhir-akhir ini makin meningkat. polisi tak segan menembak pelaku kejahatan. mereka berkelompok dan bertindak kejam.

29 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA terkesan sederhana. Tutur katanya kalem, tak meledak-ledak. Kepatuhannya tiap Senin dan Kamis adalah berpuasa. Itulah Kapolri Letnan Jenderal Kunarto, 52 tahun. Ayah dua anak ini meluangkan waktunya sekitar dua jam untuk wawancaranya dengan wartawan TEMPO di Mabes Polri, Kamis dua pekan lalu. Pak Narto, begitu panggilan akrabnya, didampingi beberapa stafnya. Berikut petikannya, setelah sebagian dimuat TEMPO di rubrik Nasional pekan lalu. Bagaimana polisi melihat kelompok kriminalitas yang terjadi sekarang? Kelompok kriminalitas itu yang ada di sini jangan disamakan dengan organized crime seperti di luar negeri. Kalau di luar negeri mereka adalah kelompok seperti mafia Alcapone, dengan pembagian kerja yang jelas, dan dapat mengatur keuangannya. Di sini, kelompok kriminalitas sama sekali tidak terorganisasi. Mereka sekadar kenal, lalu setelah ada kecocokan baru membentuk kelompok. Ini bukan organisasi, tapi mereka hanya berkonco biasa saja. Padahal, kelompok ini sudah lama menjurus pada pola yang khas. Mereka, misalnya, hanya khusus menjarah mesin obras. Sama saja. Kalau mereka hanya mengambil mesin obras, mungkin yang ada adalah penadah hasil curian itu. Tapi kalau sudah tidak ada yang menampungnya, ya, mereka pindah sasaran. Jadi, tak ada yang khas. Dan di antara kelompok itu juga tak ada yang saling berhubungan. Mereka memakai bendera sendirisendiri. Mereka menjadi anggota kelompok tanpa terkait dalam organisasi. Wong kalau pembagiannya tidak adil, mereka bahkan berantam antara sesamanya. Rasa kebersamaan mereka rapuh sekali. Kalau mereka merampok, misalnya, yang satu cuma nongkrong di atas sadel motor. Setelah ada polisi dia kabur dan tega meninggalkan temannya dikeroyok massa (tertawa). Bagaimana dengan kepiawaian operasi mereka? Bahwa untuk mencapai obyek dan target dengan perencanaan, ini memang sudah mereka lakukan. Malah, ada yang sudah menggunakan handy talky, starco, serta kendaraan. Mereka juga sudah mampu menyadap kegiatan polisi. Namun, kalau dilihat dari modus operandinya, ya, begitu-begitu saja. Kelompok kriminalitas sekarang ini tidakkah makin beringas? Ya. Mereka lebih nekat, tega mencederai, bahkan membunuh korbannya. Jika dilihat dari problema yang berkembang di masyarakat, ini bisa dipahami. Apalagi untuk mendapatkan duit sekarang ini makin susah, sedangkan lahan mereka sudah sempit. Polisi terus menjepit mereka, dan masyarakat tambah hati-hati. Bagaimana polisi mengantisipasi kegiatan mereka? Ada tiga cara. Pertama, kami menyebutnya faktor korelatif kriminologi (FKK), yaitu suatu keadaan mendukung terjadinya tindak kejahatan. FKK ini kami antisipasi dengan kegiatan Binmas (Pembinaan Masyarakat). Lalu, di atas FKK ini ada yang dinamakan police hezard (PH). Biasanya, diantisipasi dengan kegiatan uniform police yang kami sebut Samapta Bhayangkara dengan kegiatan Turjawali: mengatur, menjaga, mengawal, serta berpatroli. Kongretnya? Contohnya, begini. Ada segerombolan anak-anak muda main gitar di sebuah gang hingga larut malam. Jelas, acaranya itu akan mengganggu masyarakat di sekitarnya. Kegiatan itu sudah masuk kategori FKK. Suatu saat selagi mereka gitaran ingin merokok, tapi tak ada rokok, ingin minum tak ada minuman, dan ingin beli tak ada duitnya. Lalu, ke mana larinya? Sudah bisa diduga, akhirnya mereka menghadang orang berduit yang lewat. Nah, kalau ketika itu ada patroli polisi lewat, petugas itu bisa menegur atau menyuruh mereka masuk ke rumahnya sehingga kejahatan tidak akan terjadi. Jika masih terjadi? Kalau kegiatan itu sudah tak mempan, langkah selanjutnya akan meningkat ke arah ancaman faktual (AF). Untuk menegakkan hukum harus direpress dengan kegiatan reserse. Repress the crime namanya, ini sesuai dengan yang diamanatkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Jadi, dari mulai informasi, mencari orangnya, menyelidiki, dan menyidik. Rangkaiannya sampai pada menangkap, dan kalau perlu menembak si pelakunya. Apakah anggota Polri sudah siap? Antisipasi di bidang represif? O, kami makin mempertajam kemampuan anak-anak di bidang reserse. Caranya, ya, dengan membekali pengetahuan keberanian dan peralatan yang cukup. Tentu, semuanya ini masih kurang bila dibanding dengan keadaan yang berkembang di lapangan. Maka, Polri sekarang telah menjalin kerja sama dengan pemerintah Jerman guna meningkatkan kemampuan dalam bidang reserse. Kembali pada kelompok kriminalitas. Sebagian besar mereka itu adalah penjahat kambuhan, yaitu beranggotakan residivis. Karena selesai dari tahanan, mereka kesulitan mendapat pekerjaan sehingga menggarong lagi. Kenapa? Kegiatan mereka itu sebenarnya merupakan pengembangan dari cerita saya tadi. Kalau seseorang sudah sampai pada tahapan tertangkap dan diproses masuk penjara, nah, ini sebenarnya ceritanya lain lagi. Apa yang terjadi di sana, yaitu di Lembaga Pemsyarakatan? Dalam kaitan ini kami menyadari bahwa terhadap pelaku kambuhan itu sudah banyak yang ingin kami lakukan. Misalnya, meminta informasi pada Lembaga Pemasyarakatan kalau setiap mereka merelease orang-orang yang telah mereka tahan. Mbok, ya kami diberi tahu, siapa yang dikeluarkan, jenis kejahatan apa yang pernah dilakukan, dan ke mana arahnya setelah mereka dikeluarkan, agar kami waspada. Tapi koordinasi itu ternyata tak selamanya lancar. Padahal, kita sudah ingin antisipasi itu sejak dari hilirnya. Kendalanya? Kendala yang terbesar adalah ketidakmampuan masyarakat untuk menerima para residivis itu. Saya punya contoh menarik. Begini: ketika bertugas di Solo, saya pernah bergaul dengan seorang gali bernama Brahmanto. Dulunya cuma seorang gelandangan, tapi dalam kelompoknya dia ditakuti. Ia akhirnya merasa besar dan dengan gampang mendapatkan uang Rp 40 ribu hingga Rp 100 ribu per hari. Minumnya bir dan suka makan enak. Pokoknya, ia terus foya-foya. Suatu ketika ia tertangkap. Setelah lepas dari tahanan, secara psikologis ia ingin menikmati hidup seperti dulu lagi. Tapi, masyarakat tak mau menerima sehingga ia kembali kumpul dengan kawan-kawannya yang lama dan menggarong lagi. Pembinaan di Lembaga Pemsyarakatan untuk para residivis tampaknya memang tidak selalu berhasil. Memang, menangani para residivis itu tidak sederhana. Jadi, kita perlu koordinasi lebih baik. Dan sekarang? Antisipasi itu sudah dilaksanakan. Begitu residivis itu keluar dari penjara, kami mulai monitor dia bergerak ke mana, tapi tak bisa selalu intens. Jadi, begitu ada residivis yang baru keluar, Pak Wagiman ini sudah ahli betul (sambil menunjuk Kolonel Wagiman, Kadit Serse Polda Metro Jaya). Kalau ada kasus kejahatan yang asing baunya, wah ini pasti orang baru. Tinggal tanya, siapa yang baru keluar? Lalu kita cari. Dengan meningkatnya penembakan pada para pelaku kejahatan itu, apakah ini berarti polisi juga makin keras menindak mereka? Jika pelaku kejahatan itu bertangan kosong tentu tak akan kami tembak. Tapi, mereka ada yang bersenjata api. Kalau dia brutal, akan memakan korban banyak. Misalnya, kasus penembakan Rojai (gembong perampokan di Jakarta). Ketika mau ditangkap, eh, ia malah menembak duluan sehingga ada anggota polisi terluka. Akhirnya, dalam kontak itu kami tak memberi ampun lagi. Jangan sampai kita mati konyol. Dan Anda jangan risau, kami menembak itu karena sudah ada dasar hukumnya. Namun, dalam menembak penjahat, polisi seharusnya melumpuhkan saja, kan bukan untuk membunuh dia. Memang, kami diajari begitu. Tapi, yang kami tembak kan bukan benda mati, seperti yang dilakukan dalam latihan. Jadi, ya, salah sendiri kalau kena kepalanya. Wong niat kami bukan menembak kepalanya, kok (Pak Kunarto tertawa). Bagaimana perbandingan tingkat kerawanan kelompok kriminalitas antara Polda Metro Jaya dan di Polda lainnya? Polda Metro Jaya tidak bisa dibandingkan Polda lain di Indonesia. Karena urban problem di Jakarta ini luar biasa. Bagaimana mungkin polisi nanti masih dapat mengandalkan masyarakat menjadi kekuatan penangkal kejahatan? Kini sikap masyarakat kan sudah cenderung ke individualistis. Mungkin kecenderungan individualistis itu ada. Namun, menurut pikiran kami, di tengah masyarakat itu masih ada sifat dasar kegotongroyongan. Hanya, wujudnya saja yang lain. Misalnya, Siskamling di desa-desa konstribusinya dalam bentuk ronda. Dan di kota harus diterjemahkan dalam kondisi perkotaan. Karena, di kota justru waktu seseorang itu sudah diserap dalam kesibukan pekerjaannya sehingga kontribusinya bisa diwujudkan dalam bentuk uang atau makanan yang bisa digunakan orang lain. Atau bisa pula membeli secara patungan alarm system, seperti yang dilakukan di kompleks perumahan Pluit, Jakarta. Ini berarti, mereka masih bisa berpartisipasi dalam bentuk lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus