HARI baru pukul 9 pagi. Tiba-tiba sebuah mobil Suzuki Carry berhenti di depan toko emas Jasa Mekar milik Mustafa Kamil di Pasar Cirapuhan, Garut, Jawa Barat. Tujuh lelaki tidak dikenal turun dari mobil itu. Mereka bergegas masuk ke toko emas yang di dalamnya sudah ada tujuh ibuibu calon pembeli itu. "Jangan bergerak," gertak seorang perampok. Ia menodongkan pistolnya ke tubuh juragan emas itu. Mustafa pun lemas. Anggota perampok yang lain, sambil mengacungkan celuritnya, menggiring ibuibu tadi ke pojok toko. Dengan leluasa si pemegang pistol meraup emas yang ada di etalase, sekitar dua kilogram, lalu ia masukkan dalam baju kausnya. Belum puas. Ia menyikat uang tunai Rp 4 juta di laci meja Mustafa Kamil. Aksi rampok pada Senin pekan silam itu begitu cepat. Selasai menguras isi toko, si pemegang pistol melepaskan tiga tembakan ke udara. "Jangan ada yang mendekat," hardiknya. Pengunjung pasar yang sudah ramai itu bengong ketakutan. Dengan mobilnya, rombongan perampok tersebut kabur entah ke mana. Menurut seorang saksi mata, di tengah jalan mereka pindah kendaraan dari Suzuki ke truk yang sudah menunggu di situ. Dan polisi yang memburu mereka kehilangan jejak. "Kami terkecoh," ujar Kapolres Garut, Letnan Kolonel Toto S. Soewali, yang didampingi Kapolwil Priangan, Kolonel Bambang Hermawan. "Tapi kami sudah tahu pelakunya, hanya menunggu waktu menangkapnya," kata Toto. Aksi kejahatan berkelompok di wilayah Jawa Barat yang dikenal sebagai daerah penyangga Ibu Kota Negara akhir-akhir ini memang meningkat. Di Karawang, misalnya, selama dua bulan terakhir ini telah ditangkap 47 perampok yang menggunakan sembilan senjata api dan satu handy talky. Kejadian yang hangat adalah perampokan onderdil mobil dan alat tulis dari sebuah truk di daerah Indramayu. Kamis pekan lalu, pihak Polres Karawang mendapat info bahwa delapan perampok itu kabur bersama dua mobil Suzuki Carry menuju Jakarta. Tim buru sergab Polres Karawang segera mengepung jalur jalan yang diperkirakan dilewati dua mobil buruan itu. Tidak lama, petugas menemukan dua mobil yang dicurigai. Sewaktu disetop, mobil yang beriringan jalannya itu tancap gas. Terjadilah kejar-kejaran bagaikan adegan dalam film action. Sebuah mobil itu dengan mudah dipepet petugas. Dan lima orang di dalamnya diborgol. Sedangkan mobil yang satu lagi tekan gas, lari di antara kepadatan lalu lintas, hingga petugas repot. Di tengah keramaian, tiga penumpangnya turun hendak menyelamatkan diri. Tapi seorang bisa ditangkap, dan satu tewas digebuk massa. Sedangkan yang seorang lagi berhasil lolos. Lain pula perampokan yang meresah penduduk Ciamis, Jawa Barat, belum lama ini. Kawanan yang dipimpin Sakim itu beranggotakan 16 orang. Dengan kendaraan truk mereka datangi Desa Imbanegara. Satu kilometer sebelum sasaran, truk berhenti. Mereka meloncat. Kelompok yang sebagian bersenjata api itu kemudian mengepung rumah pengusaha batik Haji Otong. Mereka mendobrak pintu depan. Ketika itu seorang penjaga yang melawan mereka lukai. Dari rumah Pak Haji ini perampok menyikat uang tunai Rp 100 juta, video, dan mesin ketik. Ketika rombongan perampok itu kabur, seorang anak Haji Otong lari melaporkan pada Batalyon Zeni Tempur dan Poles Ciamis yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Saat itu petugas tak menemukan jejak perampok, kecuali satu truk diparkir di pinggir jalan. Ternyata, rombongan perampok itu bersembunyi di rumah seorang warga desa itu. Diduga, ia menjadi informannya. Polisi mencium tempat persembunyian mereka. Sebanyak 9 anggota perampok itu dapat diringkus, dan yang tujuh lolos, termasuk pimpinannya. Ketika itu polisi menyita dua senjata api, sebuah granat yang belum digunakan, celurit, golok, dan linggis. Surman, anggota perampok yang tertangkap, kini terbujur lemas di tahanan Polres Karawang. Sepanjang kaki kiri lelaki berusia 36 tahun itu dibalut gips. Wajahnya pucat. Tubuhnya kurus. Tapi reputasinya di dunia perampokan, kata polisi, cukup meyakinkan. Ia mengaku telah 19 kali merampok, dan pernah dua tahun lebih mendekam di penjara Subang. Kawan-kawannya itu berasal sekampung dengan dia. Jadi, bukan teman sewaktu ia di sel. Bapak satu anak ini mengaku melakukan perampokan karena tekanan ekonomi. "Saya buruh tani, mana cukup buat hidup," katanya kepada Ahmad Taufik dari TEMPO. Residivis ini tertangkap di rumahnya, di Subang. Ketika polisi menggerebek, ia hendak lari. Namun, timah panas yang dimuntahkan dari pistol polisi singgah di pangkal paha perampok yang sudah berkarier sejak 1979 itu. "Saya nggak mau merampok lagi," katanya. Rentetan kejahatan berkelompok di Jawa Barat mulai menonjol sejak tahun lalu. Keberhasilan Polda setempat mengungkap kasus perampokan, menurut Kepala Direktorat Reserse Kolonel Dasoeki, berawal dari pengungkapan perampokan di Kampung Hegarmanah, Karawang, Desember lampau. Ketika itu 14 anggota komplotan diringkus polisi. Mereka beranggotakan 22 orang, dengan sebutan kelompok Ade Wirya -- disesuaikan dengan nama pimpinannya. Kelompok ini selama tahun 1991 melakukan 18 perampokan di provinsi ini. Dari tangannya disita satu mobil, empat senjata api, dan beberapa senjata tajam. Sedangkan perampokan yang di rumah Supriyatna berakibat fatal bagi pemilik rumah. Karena melawan, Supriyatna didor oleh Ade Wirya. Komplotan ini hanya menggondol uang Rp 90.000 berikut emas 25 gram. Tertangkapnya anggota kelompok ini punya arti penting bagi polisi. Rentetan kasus yang selama ini meresahkan penduduk Jawa Barat itu akhirnya dikuak. "Sebab, ketika mereka melakukan aksi, banyak yang merangkap anggota kelompok lain," Kolonel Dasoeki menjelaskan. Dan peta kelompok kriminalitas itu, menurut Kapolda Jawa Barat, Mayor Jenderal Banurusman, ditemukan tersebar serta ada beberapa yang menonjol. Seperti kelompok Rojai di Karawang dan Bogor. Kelompok Ade Wirya main di Subang, Bekasi, Karawang, dan Purwakarta. Kelompok Tolas dan Supratman di jalur utara Karawang sampai Cirebon. Bos perampok itu sebagian besar buron, kecuali Rojai, yang tewas ditembak polisi dari Polda Metro Jaya belum lama ini. "Mereka memang sudah brutal," kata Banurusman. Dengan jumlah anggota sebanyak itu, mereka nekat dan tidak menghitung musim. Jadi, jangan heran, mereka bahkan beroperasi pagi hari di tempat ramai seperti di Garut tadi. Operasinya piawai. Beberapa kelompok menggunakan kendaraan roda empat dan handy talky. Dengan alat ini, mereka bisa bertukar informasi dan bergerak cepat. Khusus di Jawa Barat, sasaran perampokan umumnya dekat jalan besar hingga mereka bisa cepat kabur. "Sampai kini motif mereka yang utama adalah desakan ekonomi," kata Banurusman. Sepanjang tahun 1991, Polda Jawa Barat telah menangkap 109 perampok, 20 di antaranya ditembak dan luka-luka. "Kalau mereka melawan, ditembak," Banurusman menambahkan. Tapi prinsipnya polisi tidak ingin penjahat itu mati, supaya tidak merepotkan pelacakan. Untuk menangkal perampok berkelompok, jajaran Polda Jawa Barat kini menggalakkan operasi lintas desa dan pagar betis. Caranya yaitu menggunakan sistem bubu, seperti menjaring ikan. Jadi, di pospos tertentu ditingkatkan razia. Tekanannya bukan memeriksa STNK dan Surat Izin Mengemudi, tapi memeriksa mobil-mobil yang mencurigakan. Tindak kejahatan berkelompok juga menonjol di Jakarta. Sejak tertangkapnya gembong perampok paling licin Slamet Gundul alias Supriyadi Juni tahun lalu, tampaknya Slamet Gundul baru telah lahir. Kini, di Jakarta disinyalir oleh polisi ada sekitar 129 kelompok perampok kelas kakap dan teri. Sedangkan yang ditangani polisi baru 45 kelompok. Kelompok-kelompok itu, menurut sumber di Polda Metro Jaya, tersebar di pinggiran Jakarta. "Namun, wilayah operasinya bisa masuk ke pusat kota," katanya. Dan itu dimungkinkan karena mobilitasnya tinggi. Selain menggunakan mobil, mereka juga mempunyai alat komunikasi modern seperti Starco. Kemajuan lain di tengah kelompok kejahatan di Jakarta adalah cermatnya memilih sasaran. Mereka ada yang mencari sasaran khas, misalnya calon mangsanya baru saja mendapat ganti rugi tanah, khusus mencuri mesin obras atau orang asing. Perampokan yang menimpa staf kedutaan besar Jerman, Kuhneisen, misalnya, merupakan salah satu contoh bahwa perampok ada yang gemar menyatroni orang asing. Kejadiannya, Sabtu dua pekan lalu, sekitar pukul 02.30, dua perampok bertopeng bersenjatakan celurit dan golok mendatangi rumah di Jalan Pejaten Barat, Jakarta Selatan. Bagaikan kena sirep, seorang penjaga rumah asing itu tak melihat ketika dua orang bertopeng menuju kamar tuan rumah. Kuhneisen bersama istrinya pun terperanjat ketika ditodong celurit dan diminta menyerahkan uang dan barang berharga. Warga Jerman itu sempat disambar celurit ketika bergerak, sehingga darah mengucur dari pipi kirinya. Sebaliknya istrinya yang berkebangsaan India itu, ia tidak gentar dengan kalungan celurit. Ibu berputra dua ini mampu memberikan perlawanan dan menghindar dari pukulan penjahat. Bahkan dapat menangkis tangan perampok saat ia mau dibacok kepalanya. Akhirnya ia dapat berteriak-teriak minta pertolongan. Kedua orang bertopeng itu pun kemudian lari terbirit-berit. Dalam keterangannya kepada polisi, warga Jerman tersebut melaporkan kehilangan uang Rp 25.000. Harta lainnya tak sempat terambil perampok, karena enam penghuni rumah lainnya terbangun ketika mendengar jeritan permintaan tolong. Sebagian besar kasus perampokan yang menimpa orang asing, menurut sebuah sumber di Polda Metro Jaya, korbannya ditodong dengan senjata celurit. "Orang asing tampaknya ngeri kalau melihat senjata tajam yang bentuknya melengkung itu," kata sumber TEMPO sambil tersenyum. Faktor pendorong kejahatan yang paling menonjol di Jakarta terutama disebabkan faktor ekonomi. Sementara itu, berdasarkan KTP para penjahat tersebut, menurut Kaditserse Polda Metro Jaya Kolonel Wagiman, hampir 60% bukan penduduk Jakarta. Terbentuknya kelompok juga tidak terprogram. Mereka bertemu, merasa senasib, kemudian membentuknya. Kecuali modusnya yang terus berkembang, terakhir, menurut Wagiman, bila mereka akan menggarong ada anggota yang lebih dulu menyelidikinya ke sasaran. Mula-mula ia nongkrong di gedung mewah untuk mencari siapa sang bos. Lalu pelat mobilnya dicatat dan diikuti ke mana bos itu pulang. Setelah alamat diketahui, mereka mencari nomor teleponnya serta mencoba berhubungan dengan pembantunya. Jika semua mulus, barulah mereka muncul ke rumah itu untuk menggarong isinya. Agaknya, kini polisi sudah tidak segan menarik pelatuk pistolnya. Tahun lalu, di Polda Metro Jaya saja 64 penjahat roboh, 36 di antaranya tewas. Sedangkan di pihak polisi, lima anggota Polda Metro Jaya menjadi sasaran pelor keberingasan penjahat, satu di antaranya tewas (lihat Kenapa Polisi Menembak). Dan dari mana mereka memperoleh senjata api? Menurut Wakapolda Metro Jaya, Brigjen. Yusnan, senjata itu bisa didapat dari oknum petugas, sisa waktu Operasi Sapujagat, dari hasil curian, atau dirampas dari sarung pistol petugas yang berdinas. Kejahatan berkelompok yang menggunakan senjata api itu juga beraksi di wilayah Polda Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel). Cuma, cara bertindaknya kuno. Ini menurut Kepala Direktorat Serse Polda Sumbagsel, Kolonel M. Dayat. "Mereka mengandalkan fisik dan jumlah personel. Makin banyak anggota, makin berani mereka beraksi," katanya pada Aina Rumiyati Aziz dari TEMPO. Sepanjang tahun 1991 sudah 17 kelompok kriminalitas digaruk Polda Sumbagsel. Mereka beranggotakan 4 hingga 26 orang. Dalam aksinya tak jarang mereka melawan polisi, sehingga tahun lalu tiga polisi tewas ketika duel dengan penjahat. Terhadap mangsanya, mereka bahkan kejam. Satu contoh terjadi September lalu. Malam itu, tujuh perampok bertopeng "bertamu" ke rumah Haji Zubir di Desa Lengkayap, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Usai tuan rumah membuka pintu, langsung ia didor oleh tamu tidak diundang itu. Zubir ambruk. Tubuhnya diseret dan digorok. Perbuatan tersebut dilakukan di hadapan anak dan istri Zubir. Setelah itu, baru mereka kuras isi rumah. Seminggu kemudian polisi menciduk empat dari tujuh anggota komplotan itu di hutan Baturaja. Sebelumnya, polisi membuntuti seorang anggotanya, satu-satunya wanita, bernama Anis. "Peranan saya cuma juru masak dan matamata untuk menentukan sasaran," kata cewek berusia 20 tahun itu, enteng. Hingga kini tiga anggota komplotan itu masih buron. Empat lainnya sedang duduk di kursi pesakitan di Pengadilan Negeri Baturaja. Menurut sumber TEMPO, ketiga anggota yang lolos itu kini telah membentuk kelompok baru dengan 13 anggota. Terbentuknya kelompok baru sering disorot, apalagi otaknya penjahat kambuhan. Bahkan sorotan ke alamat resivis sulit dilepas dari terapi selama mereka di lembaga pemasyarakatan (LP). "Membina narapidana tidak mudah," kata Baharuddin Lopa, Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Meskipun mental mereka sudah kelihatan pulih, toh ada yang mengulangi tindak kejahatannya. "Sehingga membuat masyarakat sulit menerima mereka kembali," ujarnya lagi. Seharusnya, masyarakat jangan menyamaratakan para bekas narapidana itu. Jika ada 200 narapidana kembali ke masyarakat, misalnya, dan yang tiga kambuh, lainnya janganlah dikucilkan. "Kalau dikucilkan, tentu orang yang sudah tobat bisa jadi kambuh," ujar Baharuddin Lopa. Ada pula usulan dari Prof. Satjipto Rahadjo. Dalam seminar tentang penjahat kambuhan di Jakarta belum lama ini, ahli sosiologi hukum itu minta agar direnungkan soal belum adanya keterpaduan dan inkonsistensi dalam politik pemasyarakatan. Di satu pihak LP dikehendaki menjadi institusi terapi. Tugasnya membina narapidana supaya kembali dalam kehidupan masyarakat yang normal. Di lain pihak, kapan mereka boleh meninggalkan LP tak diukur hanya dari keberhasilan pembinaan, melainkan oleh berapa lamanya pidana dijatuhkan. "Kalau dilihat dari kaca mata keberhasilan pembinaan, bisa saja seorang narapidana terlalu lama atau cepat keluar dari LP," kata Satjipto. Toh Baharuddin Lopa kurang sepakat dengan usulan itu. Sebab, perilaku narapidana ada yang seperti bunglon. Ketika masih di penjara, mereka bisa berperilaku manis, dan setelah keluar ia ganas kembali. "Walaupun ada juga yang akhirnya betul-betul baik," ujarnya. Gatot Triyanto, Ivan Haris, Reza Rohadian, dan Happy S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini