Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para Pengungsi di Hati Paus Fransiskus

Agenda pertama kunjungan Paus Fransiskus menemui kaum marginal. Mendorong pemimpin Gereja Katolik menerima pengungsi muslim.

8 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELIHAT wajah Paus Fransiskus di kompleks Nunsiatura Apostolik atau Kedutaan Besar Vatikan, James Suthaharan berdebar-debar. Dalam kunjungan Paus pada Selasa sore, 3 September 2024, itu, berbagai pengalaman pahit yang dialami James saat mengungsi dari Sri Lanka kembali muncul.

Bapa Suci—salah satu sebutan untuk paus—yang berada di kursi roda lalu mendatangi James dan menjabat tangannya. “Tuhan memberkatimu,” kata Fransiskus seperti diceritakan James kepada Tempo pada Kamis, 5 September 2024. James langsung menangis. Ia merasa tatapan dan salam dari Fransiskus menguatkan hatinya.

Hari itu James datang bersama istri dan kedua anaknya. Bukan hanya keluarga James, puluhan orang dari kelompok terpinggirkan, seperti pengungsi, anak jalanan, pemulung, dan orang lanjut usia, juga menunggu sejak pukul 10.30 di Kedutaan Besar Vatikan. Belasan orang di antaranya, termasuk James, berangkat naik bus dari kantor Sant’Egidio di kawasan Petojo, Jakarta Pusat.

Menemui Paus Fransiskus, mereka mengenakan pakaian terbaik. “Kami fasilitasi semuanya,” ujar Koordinator Komunitas Sant’Egidio Jakarta, Tarsisius Erlip Vitarsa, Kamis, 5 September 2024. James dan anak laki-lakinya mengenakan kemeja biru bercelana sarung putih, sementara istri dan anak perempuannya menggunakan pakaian sari, baju adat Sri Lanka. 

Baik James maupun Erlip gelisah. Mereka khawatir Fransiskus membatalkan pertemuannya dengan kelompok marginal karena perjalanannya jauh. Fransiskus dan rombongannya menempuh penerbangan sekitar 13 jam dari Roma sehari sebelumnya. Erlip memperkirakan Paus kelelahan dan langsung beristirahat.

Namun kecemasan mereka sirna. Menjelang pukul 12.30 WIB, pintu Nunsiatura terbuka. Bukan wajah kelelahan yang mereka saksikan, melainkan senyum hangat dari paus bernama asli Jorge Mario Bergoglio itu. James berharap, setelah diberkati Paus, ia menerima banyak mukjizat. “Penyakit dan setiap depresi hilang dari kami.”

James dan keluarganya minggat dari Sri Lanka akibat perang saudara di negara itu pada 2013. Pada 2021, Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Indonesia mencatat jumlah pengungsi asal Sri Lanka sebanyak 466 orang.

Bersama pengungsi lain, James berlayar menuju Australia mengarungi lautan untuk mencari kehidupan lebih baik. Namun kapal mereka rusak di perairan Sumatera. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut lantas menyelamatkan mereka. Sejak itu, ia dan keluarganya menjadi pengungsi di Medan, Sumatera Utara.

Karena menderita kanker tiroid, James dipindahkan ke Jakarta. Saban bulan ia rutin berobat di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Setahun lalu, James mengikuti misa khusus pengungsi yang digelar Komunitas Sant’Egidio di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sejak itu, dia dan keluarganya menjadi anggota Sant’Egidio, yang menaruh perhatian kepada kaum marginal.

Bukan hanya Komunitas Sant’Egidio yang membawa anggotanya ke Kedutaan Besar Vatikan. Sejumlah lembaga dan komunitas lain juga ikut menyambut Fransiskus. Misalnya pengungsi dan tunawisma yang ditampung oleh Jesuit Refugee Service, lembaga yang dikelola oleh Serikat Yesus, ordo asal Fransiskus. Ada juga anak yatim-piatu yang dibesarkan oleh para biarawati Dominikan.

Pengungsi yang datang pun bukan hanya dari Sri Lanka. Direktur Biro Pers Vatikan Matteo Bruni menyebutkan para pengungsi berasal dari berbagai negara. “Termasuk beberapa orang Rohingya dari Myanmar,” kata Bruni kepada wartawan rombongan Takhta Suci Vatikan, Selasa sore, 3 September 2024. 

Sejak terpilih sebagai paus pada Maret 2013, Fransiskus kerap menyuarakan kepedulian terhadap kaum marginal. Ia mengkritik negara-negara yang menolak pengungsi. Ia menyebutkan penolakan terhadap pengungsi merupakan dosa besar. Tak hanya mengkritik, kepala negara Vatikan itu juga menerima sejumlah pengungsi asal Timur Tengah.

Sekitar delapan bulan setelah menjadi paus atau pada November 2013, Fransiskus menerbitkan seruan Apostolik berjudul Evangelii Gaudium atau Sukacita Injil. Lewat seruan itu, Fransiskus mendorong para uskup, pastor, biarawan dan biarawati, serta umat Katolik memiliki kepedulian terhadap kaum marginal, seperti pengungsi.

“Kita, umat Kristiani, hendaknya menyambut dengan penuh kasih dan rasa hormat para imigran muslim yang masuk ke negara-negara kita seperti kita mengharapkan dan meminta untuk diterima dan dihargai di negara-negara dengan tradisi Islam,” tulis Fransiskus dalam seruannya.

Di dalam pesawat yang mengangkut rombongan Vatikan dari Roma, Paus Fransiskus mendapat pertanyaan dari wartawan tentang nasib imigran. “Imigran selalu berada di hati saya,” ucapnya. Setiba di Jakarta, agenda pertama Fransiskus adalah menemui kaum marginal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

•••

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENUJU Gereja Katedral Jakarta pada Rabu, 4 September 2024, Paus Fransiskus bertukar cerita dengan Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo di dalam mobil. Paus terkesan akan banyaknya ibu yang menggendong anak. “Tidak ada yang menggendong kucing atau anjing,” kata Fransiskus seperti diceritakan Suharyo kepada Tempo, Kamis, 5 September 2024. 

Kepada Suharyo, Fransiskus bercerita tentang keprihatinan dia terhadap masyarakat Eropa yang mulai meninggalkan budaya memiliki anak. Fenomena ini sempat membuat Fransiskus marah. Pastor asal Indonesia, Markus Solo Kewatu, yang menjadi penerjemah Paus di Indonesia, mendengar langsung cerita kemarahan Fransiskus.

Syahdan, Fransiskus pernah didatangi seorang ibu ketika sedang mengunjungi sebuah negara. Ibu itu menyodorkan kantong bayi dan meminta Paus memberkatinya. “Ketika dibuka, isinya adalah anjing. Maka Paus marah,” ujar Markus kepada Tempo, Jumat, 6 September 2024. 

Markus menuturkan, Fransiskus melihat dunia akan lebih bahagia bila keluarga memiliki anak-anak yang bakal tumbuh besar. Ia mengeluarkan dokumen Amoris Laetitia berisi anjuran agar orang Katolik memelihara keutuhan keluarga, termasuk memiliki dan mengasuh anak. 

Dalam setiap Perjalanan Apostolik atau perjalanan kerasulan, Fransiskus meminta dipertemukan dengan anak-anak dan pemuda. Markus bercerita, di tengah anak-anak dan pemuda, Paus acap lupa waktu. “Seperti ketika di Grha Pemuda, Paus sampai harus diingatkan pengawalnya,” tutur Markus. 

Di gedung Grha Pemuda Gereja Katedral, Jakarta, Fransiskus berdialog dengan 200 anak muda dari Scholas Occurrentes pada Rabu, 4 September 2024. Scholas Occurrentes adalah gerakan pendidikan global yang digagas Paus Fransiskus pada 2013. Organisasi yang tersebar di 70 negara itu membuka ruang dialog yang melibatkan anak muda dalam bidang pendidikan, seni, dan olahraga. 

Pertemuan Paus Fransisku dengan 200 anak muda dari Scholas Occurrentes, di Graha Pemuda, Jakarta, 4 September 2024. Tempo/Francisca Christy Rosana

Scholas Occurrentes bekerja sama dengan pelbagai lembaga, termasuk Gerakan 5P Global gagasan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri atau Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid. Gerakan 5P mempromosikan nilai perdamaian (peace), kesejahteraan (prosperity), kemanusiaan (people), bumi (planet), dan kolaborasi (partnership).

Kerja sama Gerakan 5P dengan Scholas Occurrentes bermula dari pertemuan Arsjad dengan Paus di Vatikan pada 2021. Dalam pertemuan itu, kata Arsjad, Fransiskus banyak bercerita tentang cara merawat bumi dan manusia. Gagasan itu juga termuat dalam ensiklik atau surat amanat Fransiskus, Laudato Si'. 

Arsjad berharap anak-anak muda yang mengikuti kerja sama itu, juga yang mengikuti kunjungan Paus, dapat belajar serta menyebarkan nilai kerukunan, persaudaraan, dan perdamaian sesuai dengan ajaran Fransiskus. “Kami ingin kaum muda memiliki dasar dialog lintas agama dan budaya yang kuat,” ujar Arsjad.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Francisca Christy Rosana dari Vatikan berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pengungsi di Hati Bergoglio"

Erwan Hermawan

Erwan Hermawan

Menjadi jurnalis di Tempo sejak 2013. Kini bertugas di Desk investigasi majalah Tempo dan meliput isu korupsi lingkungan, pangan, hingga tambang. Fellow beberapa program liputan, termasuk Rainforest Journalism Fund dari Pulitzer Center. Lulusan IPB University.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus