DALAM tidurnya, Karsorejo, 50, bermimpi. Ia seperti melihat satu dari dua ekor sapinya dicincang orang, sampai daging dan darahnya berceceran di tanah. Kakek dua cucu yang tinggal di Desa Tepus, Yogyakarta, itu segera terjaga. Firasatnya benar. Pagi itu, si Gambir, sapi kesayangannya, kelihatan sudah tergeletak kaku dalam kandangnya. Padahal, sore harinya binatang itu masih segar bugar dan rakus sekali melahap dedaunan yang disediakan. Karso Sedih sekali. Sewaktu ia mulai berpikir untuk menguburkan si Gambir, muncul tetangganya, Parmorejo, 33. Tak lama kemudian muncul pula Kismorejo, 35, dan Tidarno, 30. Ketiganya dengan bersemangat sekali menawar bangkai si Gambir. Karso kemudian setuju menjualnya dengan harga Rp 75 ribu. Padahal, kalau sapi itu masih bernyawa, paling tidak bisa laku Rp 0,5 juta. "Tak apalah," kata Karso menghibur diri. Sampai di situ Karso masih menganggap kematian sapinya wajar saja. Tapi, beberapa hari kemudian, ia mendengar bahwa bangkai si Gambir hari itu juga dijual lagi kepada seorang pedagang sapi seharga Rp 200 ribu. Ada lagi, informasi: di malam hari sebelum kematian binatang itu, seseorang menyelinap masuk ke kandangnya. Karso jadi penasaran, lalu memeriksa kandang sapi. Wahai. Di sana ia menemukan bungkusan daun pisang yang mulai mengering - berisi racun tikus. Karso menghubungi polisi. Ketiga tetangganya, Parmorejo, Kismorejo, dan Tidarno, lalu ditangkap. Dan diadili. Dua pekan lalu mereka divonis 3 sampai 5 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Wonosari. Karso merasa tidak punya urusan dengan vonis itu. Sebab, katanya, "Dihukum atau tidak, mereka tak akan bisa menghidupkan lagi sapi saya. Sialan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini