Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAYAR monitor radar pemantau langit Jakarta Approach Bandar Udara Soekarno-Hatta seperti dirungkup kunang-kunang pada Rabu siang, 9 Mei 2012. Puluhan noktah putih kelap-kelip di layar gelap menunjukkan empat puluhan pesawat bergerak pada landasan pacu atau di langit Jakarta.
I Nyoman Oka Wirana, pemandu lalu lintas udara Terminal Timur, harus memantengi satu-satu noktah putih yang dikelilingi pelbagai angka kode maskapai, ketinggian, kecepatan, dan simbol panah tanda pesawat lepas landas atau akan mendarat. Mulutnya tak henti berbicara melalui mikrofon, bercakap dengan pilot-pilot yang mengabarkan posisi pesawat mereka.
Seharusnya bertindak menjadi supervisor, Nyoman berperan sekaligus menjadi operator dan asisten. Ahmad, yang seharusnya mendampingi dia, mengambil alih tugas pemandu Terminal Barat yang kosong. Nyoman harus jeli mengamati 14 kotak bertanda TE—kode Terminal East pada layar—yang berbaur dengan 26 kotak lain berdesakan dan berkelap-kelip. Di monitor itu ada sedikitnya 40 pesawat terpantau.
Rekaman yang mendokumentasikan aktivitas Nyoman hari itu menunjukkan keriuhan percakapan. Kerap terdengar bunyi "nging" panjang karena ada tabrakan suara antarpilot. Nyoman mesti mengulang permintaan pilot dengan mata tak lepas dari layar. Di sela itu, panggilan dari pesawat RA-36801 masuk tepat pukul 14.24.37. "Tower RA-36801 good afternoon, establish radial 200 degrees VOR teen thousand feet." Ini suara Alexandr Yablontsev.
Pilot 57 tahun ini bersiap menerbangkan Sukhoi Superjet 100 yang mengangkut 43 penumpang dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Mereka adalah petinggi maskapai Kartika Airlines dan Sky Aviation, pramugari, pejabat Kementerian Perhubungan, serta wartawan. Hari itu, Yablontsev sedang mendemonstrasikan keunggulan pesawat sipil pertama yang dibuat perusahaan Rusia pada 2009 ini. Kartika dan Sky sedang menegosiasikan pembelian jet seharga Rp 350 miliar per unit ini.
Penerbangan sore itu yang kedua. Empat jam sebelumnya, Yablontsev, didampingi kopilot Alexandr Kochetkov, sukses mengelilingi langit Bogor. Penerbangan sore itu akan menempuh 200 derajat dari Halim—mengarah ke langit Pelabuhan Ratu. Jalur ini biasa dipakai buat uji coba pesawat komersial atau latihan siswa penerbang.
Mendengar pemberitahuan Yablontsev, Nyoman menjawab, "Radar contact maintain ten thousand proceed area." Di monitornya, Sukhoi terlihat beringsut di garis Halim. Dua menit kemudian, kopilot Kochetkov mengontak. Ia mengabarkan akan menurunkan ketinggian ke 6.000 kaki. "OK, copied," jawab Nyoman, tak lazim untuk pemandu udara yang biasanya mengulang permintaan pilot. Ia beralih ke pesawat lain yang akan mendarat.
Di monitor, wilayah selatan—bagian bawah pada layar radar—relatif bersih dari pesawat yang hilir-mudik. Sukhoi terlihat berkedip sendirian. Maka, ketika Kochetkov meminta berputar ke kanan, NyoÂman kembali menyetujui pada saat Sukhoi memasuki kotak merah bertulisan ATAN, tanda area latihan Pangkalan Udara Atang Sendjaja, Bogor. Padahal belok ke kanan inilah yang akhirnya menamatkan riwayat Sukhoi tipe RRJ-95B yang sedang dipromosikan di banyak negara itu.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi menganalisis percakapan menara Cengkareng dan pilot Sukhoi, juga kotak hitam di kokpit, serta rekaman data mesin pesawat saat Sukhoi menubruk tebing Gunung Salak, yang menewaskan semua penumpangnya. Pada Selasa pekan lalu, Komite mengumumkan hasil investigasi selama tujuh bulan itu. "Kecelakaan Sukhoi akibat kesalahan manusia," kata Ketua Komite Tatang Kurniadi dalam konferensi pers.
Ada tiga faktor penyebab: pilot dan kopilot tak menyadari ada Gunung Salak saat terbang, radar menara Cengkareng tak dilengkapi batas minimal ketinggian pesawat, dan pilot mengobrol di ruang kokpit membicarakan topik di luar penerbangan.
Komite tak mengungkai detail yang terjadi di ruang kontrol Bandara Cengkareng pada saat tragedi itu. Para investigator menitikberatkan penyigian pada situasi terakhir ruang kokpit. Menurut ketua tim investigator, Mardjono Siswosuwarno, Yablontsev punya 38 detik menaikkan pesawat untuk menghindari pucuk Gunung Salak yang menjulang 7.254 kaki di depannya.
Kesempatan genting itu tak dipakai Yablontsev karena ia terdengar sibuk mengobrol dengan seorang penumpang. Pilot tempur yang terlibat membangun Sukhoi Superjet itu sedang mempromosikan kecanggihan ruang kokpit. Ia, misalnya, menerangkan kapasitas bahan bakar dan keunggulan Sukhoi mendeteksi bahaya di sekeliling.
Namun awan tebal kumulonimbus yang merungkup pesawat menghalangi radar menampilkan kondisi langit. Saat alarm tabrakan berbunyi, Yablontsev mengira ada problem di database karena peta kontur Bogor belum dimasukkan ke komputer pesawat. "Tak terlihat adanya bahaya," ujarnya, seperti terekam dalam kotak hitam. "Ya, ini daerah datar," tamu tak teridentifikasi itu menimpali.
Kelalaian Yablontsev mengabaikan alarm, menurut Komite, menjadi faktor utama penyebab tragedi. Sebab, saat itu Sukhoi terbang memakai instrument flight rules, bukan visual yang harus dikomunikasikan dengan pemandu udara. "Karena itu, pilot bertanggung jawab pada penerbangannya," kata Mardjono.
Guru besar metalurgi Institut Teknologi Bandung ini menambahkan, pemandu tak menginformasikan ada Gunung Salak saat menyetujui permintaan turun Kochetkov ke 6.000 kaki—lebih rendah daripada puncak Salak—karena Sukhoi menuju area latihan Atang Sendjaja yang dianggap "bebas hambatan". "Pilot juga tak terdengar meminta arahan pemandu," ujarnya.
Padahal, dalam rekaman radar jelas terlihat, pada saat berputar ke kanan, Sukhoi sudah di luar wilayah ATAN. Tanda segitiga Gunung Salak dengan angka ketinggian juga tertera jelas di monitor. Pergerakan Sukhoi mendekat ke arah gunung juga amat kentara. "Pemandu lebih berkonsentrasi mengatur pesawat komersial di wilayah utara, yang lebih banyak," Tatang Kurniadi memberi alasan.
Rekaman radar yang menunjukkan ketinggian Salak juga mematahkan kesimpulan Komite yang menyebutkan radar Cengkareng tak dilengkapi ketinggian minimum wilayah Bogor. Seorang pilot senior, instruktur penerbang, dan dosen pemandu pesawat yang diminta melihat rekaman radar di waktu berbeda itu kompak mengatakan pemandu lalai mengawasi Sukhoi. "Aturannya beda tinggi pesawat dengan distraksi itu 2.000 kaki," kata Hanna Simatupang, dosen penerbangan di Universitas Kristen Indonesia.
Hanna dan dua sumber itu geleng-geleng kepala melihat monitor radar yang rumek oleh begitu banyak pesawat dan hanya dipantau oleh Nyoman seorang diri. "Bisa gila lihat monitor kayak gini," kata dosen pemandu pesawat itu. Dalam laporannya, Komite mencatat absennya asisten Nyoman, itu melanggar Advisory Circular Nomor 69-01 tentang standar prosedur kerja pemandu.
Menurut aturan yang dibuat Kementerian Perhubungan itu, di terminal kontrol bandara harus ada empat orang: satu pemandu, satu asisten, satu operator data penerbangan, dan satu pengawas. Supervisor ini yang mengkoordinasi kerja pemandu di Terminal Barat dan Timur. Sebab, selain dengan pilot, pemandu berkomunikasi dengan tower yang mengatur pesawat pada ketinggian di atas 15 ribu kaki yang akan mendarat.
PT Angkasa Pura II, yang membawahkan Soekarno-Hatta, menyangkal temuan ini. Sekretaris Perusahaan Trisno Haryadi mengatakan, ketika Sukhoi terbang, di ruang kontrol ada seperangkat pemandu yang mengatur lalu lintas pesawat di langit Jakarta. "Mana ada pemandu bekerja sendiri?" katanya.
Trisno tak menyangkal temuan Komite yang menyebutkan radar Bandara Cengkareng tak dilengkapi batas ketinggian minimum dan alarm bahaya jika pesawat mendekati gunung. Ia mengakui informasi batas minimum belum ada. Tapi, kata dia, itu bisa diganti oleh minimum sector altitude. "MSA sedang dalam tahap penyelesaian," ujarnya.
Menurut Trisno, radar Cengkareng sebenarnya sudah dilengkapi peringatan bahaya yang memberi tahu pemandu jika ada pesawat akan mendarat bukan pada tempatnya atau berpotensi menabrak gunung. Saat kecelakaan Sukhoi, alarm itu tak berbunyi sehingga Nyoman tak sadar jet seberat 45 ton itu sedang melaju 290 knot atau 593 kilometer menuju tebing. "Tak menyala karena rute Gunung Salak belum dipubÂlikasikan di Aeronautical Information PubÂlication," katanya.
Membaca laporan Komite setebal 33 halaman itu, Hanna menilai hasil investigasi Komite merupakan hasil kompromi yang menguntungkan banyak pihak. Rusia, yang tak ingin bisnis Sukhoi terganggu, bisa bernapas lega karena laporan menyatakan kondisi pesawat baik dan alat navigasi di kokpit tak ada yang cacat. Kementerian Perhubungan dan Angkasa Pura juga lolos karena kelalaian air traffic controller tak dipersoalkan. "Paling aman menimpakan kesalahan pada pilot yang sudah meninggal," ujarnya.
Karena itu, Duta Besar Rusia untuk Indonesia (saat itu), Alexander Ivanov, sebelum konferensi pers mengatakan mesin Sukhoi tak bermasalah. "Sukhoi adalah pesawat kelas menengah terbaik di dunia," katanya. Kartika Airlines dan Sky Aviation juga tetap membeli pesawat itu. Kartika bahkan akan mengoperasikan Superjet mulai bulan depan.
Tapi, kata Tatang, investigasi ini tak mencari siapa yang salah. Maka tak ada penyebutan nama dalam laporan itu. Menurut pensiunan marsekal Angkatan Udara ini, investigasi ditujukan untuk mencegah kejadian serupa di masa datang. Karena itu, Komite menekankan temuan dan rekomendasi.
Saran untuk Angkasa Pura adalah menambah jumlah pemandu dan menyegarkan pengetahuan melalui pelatihan. Dari 346 orang pemandu udara, saat ini hanya 201 orang yang mengawasi 1.098 penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta setiap hari. "Tanpa ada Sukhoi pun kami sudah melakukan rekomendasi," ujar Trisno.
Tapi seorang investigator Komite mengatakan temuan kekacauan Bandara Cengkareng bukannya tak ada. "Buanyak," katanya. "Tapi, kalau dipublikasikan semua dalam laporan ini, yang malu adalah Republik Indonesia."
Seperti hari itu. Nyoman baru sadar Sukhoi berhenti berkedip dan tanda kotak berubah jadi bintang bertumpuk di simbol Gunung Salak, 19 menit setelah tabrakan. Ia memanggil Yablontsev.
"RA-36801 Jakarta…. RA-36801 Jakarta…. RA-36801 Jakarta."
Sunyi….
Bagja Hidayat, Anggrita Desyani (Jakarta), Ayu Cipta (Tangerang)
Alexandr Yablontsev
Pilot, Usia 57 tahun, Kebangsaan: Rusia, Pendidikan: Moscow Aviation Institute (1989), Bergabung dengan Sukhoi: 1 November 2003, Lisensi: Instruktur Pilot I (First Class), Rating: Let L-29, 39, 410, Mikoyan MiG-15, -17, -21, -23, -25, -29, -31, Sukhoi Su-7, -9, -17, -22, -24, -25, -80, RRJ-95B, Antonov AN-26, -30, -72, -124, -100, Boeing 737-200, Tupolev Tu-134, -154B/M, -204, -214, Airbus A-320, -319, Jam terbang: 10.347 jam
Alexandr Kochetkov
Kopilot, 44 tahun, Kebangsaan: Rusia, Pendidikan: Borisoglebsk Higher Military Aviation Pilot School, Test Pilot School (2003), Bergabung dengan Sukhoi: 22 Januari 2010, Lisensi: Instruktur Pilot II (Second Class), Rating: Sukhoi Su-25UB, RRJ-95B, Antonov An-26, -30, -72, -124, -100, Tupolev Tu-134, Jam terbang: 3.318 jam
I Nyoman Oka Wirana
Pemandu Menara Jakarta Approach Terminal Timur, 44 tahun, Kebangsaan: Indonesia, Bergabung dengan Angkasa Pura II: Mei 1995, Lisensi: Senior Air Traffic Control, Rating: Radar Controller
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo