Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Keteledoran di Tanggul Kolonial

Penyebab jebolnya tanggul Situ Gintung bermuara pada minimnya perawatan dan penggundulan di kawasan hulu. Semua saluran airnya rusak. Permukiman padat di sepanjang kaki tanggul diduga ikut menyulut bencana. Tempo menemukan berbagai kejanggalan sebelum terjadi musibah.

6 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head1207.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALINAN surat itu masih tersimpan rapi di kantor Lurah Cireundeu, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Sambil mengecek waktu pengiriman dokumen itu di buku catatan keluar-masuk surat, sekretaris kelurahan Suharto Mardjuki menjelaskan bahwa surat yang ditujukan ke Kepala Dinas Bina Marga Kabupaten Tangerang itu berisi laporan kerusakan dan permohonan perbaikan pintu air utama Situ Gintung. ”Surat itu saya titipkan kepada petugas pengairan situ,” kata Suharto, Jumat pekan lalu.

Surat tertanggal 23 Februari 2007 itu dibuat tiga pekan setelah banjir melanda sebagian besar Jakarta. Banjir memang tidak merendam Cireundeu, tapi hujan deras yang mengguyur daerah yang berada di barat daya Jakarta itu membuat luber Situ Gintung. ”Air yang melimpah membuat bagian bawah pintu pembuangan longsor, dan membanjiri rumah penduduk,” kata Mulyadi, warga yang tinggal di muka tanggul. Warga lalu meminta kelurahan melaporkan kerusakan itu.

Bulan dan tahun berganti. Tak ada respons atas surat tersebut. ”Sampai sekarang tak ada jawaban,” kata Suharto. Mulyadi, yang rumahnya cuma berjarak lima meter dari pintu air, tak pernah melihat ada perbaikan tanggul. Ia ingat pernah ada beberapa orang berseragam memotret kolam kontrol di bawah pintu air. ”Mereka meminta warga supaya tenang, dan kerusakan akan diperbaiki,” kata Mulyadi. Tapi nihil. Seiring dengan berjalannya waktu, bagian bawah tanggul yang jebol cuma menyisakan rembesan air.

Ketika warga ”lupa” ihwal kerusakan dasar pintu air, petaka itu datang. Menjelang tengah malam, Kamis dua pekan lalu, air limpasan dari pintu air menggerus dasar tanggul. Saat azan subuh berkumandang, pintu air ambrol. Sekitar dua juta meter kubik air berjejalan memberondong permukiman padat di bawah situ. Hingga akhir pekan lalu, seratus jiwa melayang tersapu arus. Tujuh puluh orang dilaporkan hilang. Permukiman padat di bawah tanggul berubah menjadi puing bangunan.

Siang setelah kejadian, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menuding hujan sebagai biang keladi petaka itu. Ia menyatakan pintu air jebol karena luapan air melampaui pintu pelimpasan sehingga air melebar ke atas tanggul dan merobohkan bendungan. ”Karena air sudah melimpah dan tak tertampung di saluran, jadi menggerus sisi yang lain dan menjebolkan situ,” katanya. Djoko menampik adanya kerusakan pada tanggul yang dibangun pemerintah kolonial Belanda tujuh dekade silam itu.

Versi lain penyebab jebolnya situ dikemukakan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Edi Prasetyo Utomo. Menurut Edi, pembabatan hutan di kawasan hulu sungai yang menyuplai air ke situ membuat sedimentasi yang besar. ”Kalau banyak lumpur yang masuk ke bendungan, bobot air akan semakin berat,” katanya. Selain itu, daerah hulu yang gundul membuat air langsung mengalir tanpa ada yang terserap ke tanah, sehingga situ menjadi luber, dan menghantam tanggul.

lll

SEPANJANG pekan lalu, lubang besar yang semula merupakan tempat berdiri pintu air pembuangan (spillway) menjadi tontonan warga. Bau busuk lumpur dari dasar situ tak mengurangi minat pengunjung untuk berlama-lama menatap kolam raksasa yang mulai mengering itu. Belasan polisi berjaga di sekitar reruntuhan tanggul yang sudah dikelilingi garis polisi. Dua saluran irigasi yang sudah tidak berfungsi—masing-masing berada di ujung tanggul sepanjang 300 meter—juga dijaga petugas.

Dari dua saluran irigasi itu, terlihat betapa bendungan ini tidak terawat. Lempengan yang menjadi pintu air sudah raib. Sejumlah warga mengatakan, dari sisi-sisi pintu irigasi yang terbuat dari semen dan batu koral itu air merembes ke selokan permukiman warga. Menurut Naseh, pegawai Dinas Bina Marga Kabupaten Tangerang, pintu irigasi sudah puluhan tahun tidak berfungsi. ”Karena tak ada sawah lagi, dan kini semua jadi permukiman,” kata petugas yang sudah bekerja lebih dari 30 tahun ini.

Karena pintu irigasi tak berfungsi, saluran yang mestinya bisa menjadi pembuangan pada saat air melimpah tidak terawat. Pada saluran yang berada di sebelah barat tanggul, misalnya, kanal irigasi malah ditutup dan di atasnya dibangun puluhan rumah toko. Praktis, satu-satunya jalan keluar air adalah pintu pembuangan utama yang bagian dasarnya sudah jebol sejak dua tahun lalu itu—ketika bendungan berusia 74 tahun. Tak ada perbaikan dan perawatan. Pintu air renta itu memang hanya tinggal menunggu waktu untuk jebol.

Tanda-tanda bakal jebolnya pintu air utama terekam dalam sejumlah potret yang dimiliki Sutopo Purwo Nugroho, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sutopo, yang melakukan penelitian di Situ Gintung pada Desember tahun lalu, pernah mendokumentasikan sejumlah kerusakan di pintu air. Terlihat pada potret pintu air utama ada retakan di atas beton limpasan air. ”Waktu itu saya melakukan penelitian kualitas air waduk, jadi saya tidak begitu memperhatikan pintu air,” katanya.

Setelah Situ Gintung jebol, barulah Sutopo dan rekan-rekannya di BPPT mengamati retakan yang tampak di foto-foto tadi. Berdasarkan pengamatan itu, Sutopo menduga penyebab jebolnya tanggul adalah erosi buluh (piping). ”Ini sudah terjadi lama,” katanya. Erosi buluh adalah air yang masuk ke pori-pori tanah sehingga menggerus bagian dalam tanggul hingga tembus ke luar. ”Seharusnya, jika terjadi erosi buluh, tanggul mesti dibeton untuk mencegah kebocoran lebih besar.”

Menurut Sutopo, berdasarkan peta rupa bumi—yang melukiskan tinggi muka bumi—luas daerah tangkapan hujan Situ Gintung adalah 112,5 hektare. Dengan demikian, pembabatan kawasan hulu di sekitar kaki Gunung Gede-Pangrango dan Salak tak ada hubungannya dengan air yang masuk ke waduk, karena air hanya berasal dari daerah tangkapan. ”Sistem hidrologi Situ Gintung tak ada hubungannya dengan penggunaan lahan di hulu daerah aliran Sungai Pesanggarahan,” kata Sutopo.

Temuan Sutopo sekaligus membantah pernyataan Djoko Kirmanto, yang menuding hujan lebat sebagai biang penyebab tanggul jebol. ”Hujan tak menjadi faktor utama, hanya pemicu,” kata Sutopo, yang juga Kepala Bidang Mitigasi Bencana Badan Penelitian. Curah hujan sehari sebelum tanggul jebol sebesar 113,2 milimeter per hari, lebih rendah dibandingkan pada 1 Februari 2007 ataupun pada 10 Februari 1996, ketika Jakarta mengalami banjir besar, dengan curah hujan 275 dan 180 milimeter per hari.

Namun teori erosi buluh ini dibantah Iwan Nursyirwan Diar, Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum. Iwan mengatakan, jika itu terjadi, seharusnya tanggul sudah jebol sejak dulu. ”Itu bukan proses tahunan,” katanya. Menurut Iwan, sekali air masuk ke pori-pori tanah dan tembus ke sisi luar bendungan, dengan cepat air akan membuat lubang dan menggerus tanggul. Air yang masuk lewat lubang selebar jari bisa membuat lubang selebar satu jengkal di luar tanggul.

Meski warga mengaku melihat ada rembesan air di dasar tanggul, Iwan mengatakan bahwa kondisi waduk dan pintu air baik-baik saja. Menurut dia, kecil kemungkinan terjadi erosi buluh karena struktur tanah urukan sudah solid. ”Pemeriksaan kami lakukan setahun sekali, terakhir kali pada pertengahan tahun lalu,” katanya. Setelah pemeriksaan itu pula dipasang paving block untuk pejalan kaki mengelilingi waduk. Pembuatan jalan setapak pada Juli 2008 itu bertujuan membatasi penguasaan lahan sekitar situ. Jogging track sepanjang 800 meter itu—dari rencana semula 1.400 meter—mengelilingi sebagian situ.

Iwan menduga jebolnya tanggul disebabkan saluran pembuangan di bawah kolam kontrol pintu air yang mengalami penyempitan. Saluran itu menyempit dari lima meter menjadi satu meter saja. Ukuran lima meter merupakan lebar ideal saluran pembuangan karena lebar pintu air sebelas meter. Akibatnya, air yang melimpas tidak langsung mengalir, tapi menumpuk di bawah kolam kontrol dan menggerus dasar pintu air. Karena bagian bawahnya sudah jebol, pintu air pun jebol.

Tanggul pun menjadi mudah jebol karena beban bangunan yang berdiri di atasnya. Contohnya, ada rumah dua lantai berdinding merah yang ambruk terseret arus. Rumah itu dibangun hanya dua meter dari bibir tanggul. ”Seharusnya seratus meter dari bibir tanggul ke bawah adalah daerah hijau, tidak boleh ada permukiman. Karena potensi jebol selalu ada pada setiap tanggul atau bendungan,” kata Iwan. Konsentrasi permukiman di bawah tanggul ini pula yang menyebabkan banyaknya korban jiwa.

lll

LAHAN di bibir tanggul dan sekitar saluran pembuangan itu telanjur ”disulap” menjadi kawasan hunian. Padahal, peraturan daerah Kabupaten Tangerang sejak 1992 jelas menyebutkan bahwa lima puluh meter dari danau dan seratus meter dari sungai—di bawah tanggul yang menjadi saluran pembuangan air—merupakan wilayah sempadan terbuka yang bisa diakses semua orang. Bahkan, di dinding tanggul, rumput dan pohon pun tak diperkenankan tumbuh, dan harus dicabuti karena akan mengurangi kepadatan tanah.

Mulyadi, yang keruntuhan rumahnya berulang kali ditayangkan sejumlah stasiun televisi, bercerita bahwa ia membangun kediamannya tujuh tahun silam. ”Kakek nenek saya adalah warga asli situ, jadi saya bangun saja rumah di sana,” katanya. Ia mengaku tidak ada proses jual-beli, tidak ada sertifikat tanah, apalagi izin mendirikan bangunan. Yang ia lakukan hanya mematok tanah. ”Rumah di bawah tanggul semuanya nggak punya izin dan surat bangunan,” kata ayah dua anak ini.

Naseh, petugas pengairan, pernah menegurnya agar tidak membangun rumah di kaki tanggul. Tapi Mulyadi pantang mundur. Tidak ada kekhawatiran bahwa ancaman sewaktu-waktu bisa merenggut nyawanya. ”Saya tidak takut, soalnya sudah banyak rumah di bawah situ,” katanya. Mulyadi mengatakan, ia mengambil tanah karena khawatir sebagai penduduk asli akan tersisih oleh pendatang yang menguasai lahan di sekitar danau. ”Kalau saya diam saja, saya tidak akan punya apa-apa” (lihat Main Gunting di Situ Gintung).

Mulyadi menuturkan, tanah di bawah tanggul pada mulanya adalah milik Dinas Pengairan Jawa Barat. Lahan itu sedikit demi sedikit berpindah tangan kepada warga sekitar situ, termasuk pendahulu Mulyadi. ”Warga cuma bayar dan dapat kuitansi, tanahnya untuk garapan,” katanya. Sumber Tempo menceritakan, sebagian tanah mulai bersertifikat setelah ada pendatang pada 1980-an. Sertifikat diurus karena tanah tersebut memiliki girik yang dikeluarkan kelurahan sebagai bukti tarikan pajak.

Salah satu pendatang adalah Brigadir Jenderal Rumiah, Kepala Kepolisian Daerah Banten. Rumah ”Bu Kapolda” itu hanya beberapa meter dari bibir tanggul sebelah timur. Dari atas tanggul, terlihat jelas rumah dengan halaman luas dan sebuah musala di sudutnya. Tapi Rumiah tidak mau menjawab pertanyaan tentang asal-usul dan dokumen atas tanah dan bangunannya. ”Itu urusan pribadi. Kalau ada pertanyaan, ke Kepolisian Metro Jaya,” katanya kepada Firman Atmakusuma dari Tempo.

Rumah-rumah di kaki tanggul melengkapi padatnya permukiman yang berjejalan di bawah tanggul. Bahkan beton kolam kontrol pun ditumpangi menjadi fondasi rumah sehingga mempersempit saluran pembuangan. Direktur Jenderal Sumber Daya Air Iwan Nursyirwan mengaku tak bisa berbuat apa-apa dengan kondisi tersebut. ”Idealnya tidak ada permukiman di bawah tanggul,” katanya. Tapi bukan perkara mudah memindahkan warga yang sudah puluhan tahun menguasai kawasan itu.

Kini, setelah petaka datang, instansi pemerintahan pun sibuk bersih-bersih diri. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Tangerang Dedi Sutardi mengatakan bahwa kewenangan pengelolaan situ selama ini berada di pemerintah pusat. ”Saya tidak tahu soal Situ Gintung,” katanya. Menurut Iwan, Departemen Pekerjaan Umum baru menerima kewenangan itu pada 2007. ”Perawatan” itu baru dimulai pertengahan 2008, ketika dibangun jalur pejalan kaki.

Buat Mulyadi dan korban lainnya, tak adanya perbaikan tanggul menjadi petaka yang merenggut harta benda dan anggota keluarganya. ”Seharusnya kebocoran itu segera diperbaiki,” kata Mulyadi, yang ikut hadir dalam pertemuan di kelurahan yang membahas surat laporan dan permohonan perbaikan Situ Gintung. Dari rumah dua lantai dengan balkon menghadap waduk yang permai itu, kini Mulyadi dan keluarganya tinggal di rumah penampungan yang dikelilingi bau busuk lumpur situ.

Adek Media, Dwidjo U. Maksum, Amandra Megarani, Sunudyantoro, Munnawaroh, Joniansyah

”Ini kewenangan pemerintah pusat, kami hanya ketempatan. Menurut laporan, memang tanggul sudah tua.”
Ratu Atut Chosiah Gubernur Banten

”Situ dan bendungan adalah tanggung jawab kami, tapi izin bangunan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah setempat.”
Djoko Kirmanto Menteri Pekerjaan Umum

”Sarana dan prasarana penanggulangan banjir di Jakarta harus dicek dan diricek, jangan sampai merembet ke Jakarta.”
Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta

”Pemerintah pusat malah merealisasi pembangunan jogging track di sekitar situ.”
Ismet Iskandar Bupati Tangerang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus