Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengguna narkoba bukanlah kriminal melainkan korban yang membutuhkan perawatan khusus. Tentu saja pesan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung 17 Maret 2009 yang ditujukan kepada para hakim itu merupakan sebuah kemajuan dalam penanganan kasus narkoba di negeri ini.
Sepintas kita mungkin menangkap betapa hukum menjadi ramah. Ia tidak punitive, tidak retributif membalas kejahatan dengan kejahatan, tapi cukup meluruskan perilaku yang bengkok, yang tak sejalan dengan norma masyarakat. Inilah hukum yang berangkat dari prasangka baik, yang mencoba membedakan korban dengan pelaku kejahatan.
Namun ada pendapat kritis yang berkeyakinan bahwa keramahan hukum itu akan berhenti begitu kita mulai bergerak dari wacana moral itu ke realita sosial. Perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa Indonesia bukan lagi negeri transit perdagangan narkoba internasional. Barubaru ini polisi berhasil membongkar produsen sabu dan ekstasi di satu apartemen mewah di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dulu di Tangerang ditemukan pabrik ekstasi dengan skala produksi luar biasa besar. Ya, pabrik narkoba sudah lama hadir di antara kita, dan ini mendudukkan Indonesia sebagai negeri produsen sekaligus pemakai.
Seperti gejala ekonomi dalam bidang lain, bisnis narkoba dengan omzet sangat mencengangkan ini juga mengikuti hukum pasar, yakni pergerakan penawaran dan permintaan. Ketika kita gagal menghentikan atau minimal menekan demand, jangan pernah bermimpi bisa bersungguhsungguh memerangi narkoba. Selama masih ada permintaan, dengan cara apa pun supply akan datang, lewat celahcelah hukum dan pengawasan aparat. Bahkan permintaan tinggi di jalur narkoba ini, tentu dengan imbalan yang luar biasa besar, membuat sejumlah aparat ”melego” harga diri dan terlibat bisnis terlarang ini.
Konsumen yang ikut menggemukkan demand memang bukan lagi sosok yang bisa lepas dari tanggung jawab. Mereka bisa dihukum seperti para pengedar dan bandar, atau bisa juga ditolong untuk meninggalkan kebiasaan buruknya. Pengalaman menunjukkan, hukuman badan untuk pengguna ternyata tidak selalu menimbulkan efek jera. Penjara sudah lama menjadi surga bagi pengguna narkoba.
Pendapat yang prohukuman maupun yang antihukuman untuk pengguna sesungguhnya hanya sekerat mosaik dari masalah narkoba yang kompleks. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung itu sendiri lahir dari keadaan penjara yang sesak. Kenyataan bahwa 40 persen penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan merupakan kasus pemakai narkoba merupakan beban negara yang tidak enteng.
Satu lagi yang harus dipikirkan, pendekatan baru dan progresif yang dianjurkan Ketua Mahkamah Agung itu membawa konsekuensi lumayan panjang. Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa daya tampung pusatpusat rehabilitasi bagi pengguna narkoba itu memadai. Tanpa perbaikan fasilitas, imbauan Ketua Mahkamah Agung akan berhenti di tempat. Kedua, pemerintah harus memastikan bahwa keringanan hukuman ini tidak disalahgunakan oleh pedagangpengedar obat terlarang itu.
Jarak yang sempit antara korban dan pelaku kejahatan (pedagang, pengedar narkoba) memungkinkan para aktor besar bersembunyi di balik status pemakai. Hanya koordinasi kepolisian dan kejaksaan yang bisa menangkal kamuflase itu. Koordinasi itu juga yang bisa membuat Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung efektif untuk memisahkan yang jahat dan yang menjadi korban. Sebuah syarat mutlak dituntut di sini: kesanggupan aparat untuk tidak makan suap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo