Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGAR itu menjorok hingga ke tepi air Situ Gintung, memotong habis tanggul dan jalur pejalan kaki. Agar bisa lewat, Erian Alfino dan dua kawan sekolahnya harus menyusuri tepi pagar sepanjang 30-an meter itu.
Kini situ sudah kering, setelah bendungannya jebol pada Jumat dua pekan lalu. Tepi situ di sekitar pagar terlihat hampir tegak lurus. Dalamnya tak kurang dari lima meter. Agak ke tengah sedikit kedalamannya sudah 10-an meter.
Ketika situ masih terisi air, ketiga siswa SMP Muhammadiyah 17 itu harus amat waspada ketika melewati pagar. Bila terpeleset, mereka langsung jatuh ke situ. Bila tak bisa berenang, mereka tenggelam. ”Kami lewat sambil memegang jeruji pagar,” kata Arian, siswa tahun ketiga di sekolah itu. ”Ini jalan kami ke sekolah,” ia menambahkan.
Pagar besi berfondasi beton itu milik Cireundeu Lakeside. Dokumen tanah kompleks perumahan ini menunjukkan seharusnya tanah di bagian tepi danau bersudut tajam. Faktanya, sudutnya kini 90 derajat, sejajar tepi situ.
Inilah salah satu sebab mengapa luas Situ Gintung terus menciut. Banyak yang menggangsir tanahnya. Alhasil, dari semula 31 hektare pada 1933, kini tinggal 21 hektare.
Nirwono Joga, ahli lanskap Jakarta dan Koordinator Peta Hijau Jakarta, menduga penyempitan itu ikut andil dalam keruntuhan bendungan Situ Gintung. Soalnya, penyempitan itu membuat daya tahan situ saat hujan deras berkurang, karena kehilangan bagian landainya. Akibatnya, air lebih keras menekan bendungan yang sudah hampir uzur itu.
Edi Prasetyo Utomo, peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, punya dugaan yang sama. ”Penyempitan membuat air langsung mengalir ke situ. Bila air itu membawa lumpur, berat jenisnya makin besar dan air itu pun makin membebani bendungan,” ujarnya.
Bukan tanpa alasan tepi Situ Gintung ”digunting-gunting”. Pemandangannya aduhai. Dan itulah yang dijual Cireundeu Lakeside.
Menempati lahan seluas hampir 6.000 meter persegi, bagian depan kompleks ini menghadap Jalan Gunung Raya, yang merupakan penghubung Jalan Cireundeu Raya dengan Jalan Ciputat Raya. Harga rumah di sini dibanderol Rp 900 juta-Rp 1,2 miliar, tergantung luas tanah dan seberapa dekat dengan tepi danau.
Sebanyak 33 rumah mewah itu bergaya minimalis. Sebagian di antaranya sedang dibangun, berjejer dari depan gerbang hingga tepi danau. Nah, ketika Tempo menyambangi perumahan itu, kaveling yang berada di dekat danau sudah terjual. Ada patok: SOLD.
Dokumen Tempo menunjukkan perumahan itu mendapat izin pemanfaatan ruang dari Bupati Tangerang Ismet Iskandar pada 24 Januari 2007. Izinnya untuk rumah tinggal. Restu resmi ini menjadi dasar untuk mendapatkan sejumlah perizinan, termasuk izin mendirikan bangunan.
Ismet tak menyangkal telah memberikan izin itu kepada Cireundeu Lakeside. Ia beralasan, izin diberikan karena lahan yang akan dibangun jauh dari bantaran situ. ”Jadi tidak melanggar. Justru kalau izin tidak keluar, kami dianggap melanggar,” katanya, Jumat pekan lalu.
Toh, lain yang dilaporkan, lain yang terlihat di lapangan. Kaveling terdekat dengan tepi danau di perumahan itu memang tidak menempel pagar, karena masih ada jalan beraspal hotmix. Tapi jarak kaveling itu dipastikan kurang dari 50 meter, seperti yang diatur peraturan daerah mengenai tata ruang. Pagarnya—itu tadi—membuat anak sekolah tak bisa lewat karena memotong bantaran situ.
Pagar itu bahkan tak dapat dirobohkan oleh pemerintah. Alkisah, Departemen Pekerjaan Umum membangun jogging track di atas tanggul situ pada Juli tahun lalu. Rampung pada Desember, jalur lari ini terputus di tepi pagar, dan menyambung lagi di seberangnya. ”Saya tidak tahu kenapa. Mungkin ada orang kuat di atas,” ujar Suaib, penasihat paguyuban petani ikan jaring apung di situ itu, yang juga terlibat aktif dalam pembangunan jalur lari.
Padahal, menurut Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Tangerang M. Hidayat, bangunan warga hanya diizinkan didirikan 50 meter dari tepi situ. Tanpa itu, izin mendirikan bangunan tidak akan keluar. Alasannya, ”Melanggar garis sempadan. Kita tidak ada tawar-menawar,” ujarnya Sabtu pekan lalu.
Tempo berusaha menemui Petrus Hamidy Subari, pemilik dan Direktur Utama Cireundeu Lakeside, untuk mendapatkan keterangan soal itu. Didatangi di rumahnya di K.S. Tubun, Jakarta Pusat, hasilnya nihil. ”Bapak ke Serang,” kata pembantu rumahnya, Kamis petang. Ia enggan memberikan nomor telepon majikannya.
Di kantornya di Jalan Brigjen Katamso, Jakarta Pusat, keesokan harinya, jawaban yang sama diberikan oleh seorang satpam. ”Bapak masih di Serang,” katanya.
Bukan hanya Cireundeu Lakeside yang melanggar tata ruang Situ Gintung. Beberapa ratus meter dari perumahan itu berdiri rumah milik Boy Sofyar. Pagar rumah pengusaha ini persis di tepi danau. Pagar itu sangat kukuh, diperkuat dengan besi yang terlihat sedikit menonjol ke danau.
Boy tak bisa ditemui. ”Ia sedang di Amerika,” ujar penjaga rumah. Tapi Tempo diperkenankan masuk ke pekarangan. Di sana berdiri beberapa rumah. Aulanya hampir menempel di pagar danau. Amboi, tak ada air di situ pun pemandangan dari pekarangan rumah Boy begitu menawan—sangat lepas.
Rumah lainnya yang berhampiran dengan Situ Gintung adalah milik Arsian Anwar dan istrinya. Pejabat Badan Urusan Logistik pada era Beddu Amang itu tak ada di tempat. Istrinya yang berada di rumah tak bersedia memberikan keterangan.
Ada pula nama besar di sana: Bekas Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo. Namun, di atas tanahnya tak terlihat bangunan. Dosen Universitas Indonesia, Mohammad Hasjrul Thayib, berkisah Ibnu biasanya memarkir mobil di depan rumahnya. Letak tanah itu di seberang danau. Untuk pergi ke sana, Ibnu, yang meninggal pada 2001, memakai perahu. Ia memanggil tukang perahu itu dengan peluit. ”Ia tiup peluitnya keras-keras,” kata Hasjrul. Belum ada pihak keluarga Ibnu yang bisa dihubungi untuk dimintai konfirmasi.
Di tepi situ buatan Belanda itu juga berdiri Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah—dulu Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah. ”Tapi UIN memiliki izin, karena sesuai dengan peruntukannya,” ujar M. Hidayat. Toh, universitas ini tetap melanggar aturan soal sempadan, karena pagarnya menempel di tepi situ.
Tak jauh dari UIN ada kompleks perumahan Universitas Indonesia. Muhammad, 77 tahun, warga Cireundeu yang sangat mengenal lahan di sekitar situ, menengarai sebagian kompleks perumahan dosen Universitas Indonesia juga menggangsir lahan situ. Ia ingat tepi situ di sana pernah diuruk dan di atasnya ditanami pepohonan.
Menurut mantan Wakil Rektor III Universitas Indonesia dan Direktur Hubungan Alumni Arie Susilo, seluruh lahan yang kini menjadi kompleks perumahan dosen itu merupakan pemberian Presiden Soekarno pada awal 1960-an. Pada 1980-an, ketika Universitas Indonesia butuh lahan untuk perumahan dosen, tanah pemberian Soekarno yang sempat terbengkalai itu dimanfaatkan.
Namun ada kisah yang menunjukkan bahwa tepi danau yang bersisian dengan kompleks UI itu pernah diuruk. Akibat hujan deras dan badai, pada 1986 lahan urukan yang belum menyatu sempurna dengan dasar danau ini terangkat lalu bergerak hingga ke tengah situ. ”Peristiwa ini menjadi berita heboh. Disebutnya pulau bergerak,” ujar Andi Syahrandi, warga Jalan Gunung II Cirendeu, tak jauh dari Situ Gintung.
Sunudyantoro, Dwidjo U. Maksum, Amandra Megarani, Joniansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo