Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah tentu perlu memperbaiki perjanjian eksplorasi gas agar mendatangkan keuntungan maksimal bagi Republik. Selama ini memang sering terdengar kritik bahwa dalam perjanjian dengan pihak asing Indonesia banyak dirugikan. Namun, dalam kasus penjualan gas untuk proyek LNG Donggi Senoro di Sulawesi Tengah, ketidaksediaan pemerintah menandatangani perjanjian sangat sulit dipahami. Enam alasan yang disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro sebenarnya bisa dijelaskan dengan mudah dan rasional.
Dua dari enam alasan Menteri Purnomo jelas merupakan kelemahan perjanjian di masa lalu. Pertama, soal harga. Kasus yang banyak dipersoalkan adalah lapangan gas Tangguh. Menurut formula yang disepakati, harga gas lapangan di Papua itu tetap US$ 3,34 per juta kaki kubik (MCF). Harga ini tak dikaitkan dengan harga minyak dunia. Berapa pun harga minyak dunia, harga gas Tangguh tetap seperti yang disepakati. Kedua, soal kewajiban memasok gas ke dalam negeri. Sudah banyak kisah tentang telantarnya pabrik pupuk atau pembangkit listrik garagara pasar ekspor lebih diutamakan.
Dalam soal harga, formula harga Donggi jauh lebih baik daripada Tangguh karena dikaitkan dengan harga minyak mentah di Jepang (Japan Crude Cocktail). Memang, jika harga minyak hanya US$ 40 per barel seperti sekarang, harga gas alam cair Donggi cuma US$ 2,8 per juta kaki kubik. Tapi pada saat harga minyak US$ 100 per barel, harga Donggi bisa sampai US$ 16 per juta kaki kubik—jauh di atas Tangguh. Lagipula, harga gas Donggi seharusnya bukan dilihat sekarang tapi nanti ketika proyek ini beroperasi pada 2012. Pada saat itu para analis meramalkan harga minyak di atas US$ 90 per barel.
Soal kewajiban memasok gas ke pasar dalam negeri mestinya juga bukan persoalan yang tak bisa diatur. Pertamina sudah menjanjikan kepada pemerintah untuk memberikan kompensasi berupa pasokan gas dari proyekproyek di Jawa karena cadangan Donggi hanya 2,4 triliun kaki kubik, jauh di bawah Tangguh yang mencapai 14,4 triliun kaki kubik. Mestinya janji ini sudah cukup memuaskan keinginan pemerintah untuk mendapatkan pasokan gas.
Selain itu, di tengah situasi perekonomian yang sulit, menampik investasi sampai US$ 1,7 miliar (hampir Rp 20 triliun)—nilai proyek seluruhnya US$ 3,4 miliar—tentu patut dipertanyakan. Ketika banyak investor kolaps di pasar modal dan pasar uang akibat krisis global, investasi langsung seperti ini layak disambar. Investasi ini tidak saja memberikan nilai tambah berupa produksi gas, melainkan juga menyerap tenaga kerja sampai 4.000 orang.
Sulawesi Tengah sangat menderita akibat krisis global. Rontoknya harga komoditas pertanian, perkebunan, dan perikanan yang menjadi andalan provinsi itu menambah jumlah pengangguran. Proyek gas Donggi jelas menjadi salah satu alternatif untuk menambah lapangan kerja baru. Bagi pemerintah pusat maupun daerah, lapangan gas ini juga bisa menambah pendapatan Rp 6 triliun per tahun selama 15 tahun.
Dengan berbagai nilai tambah tersebut, mestinya pemerintah tak perlu terlalu ngotot mempertahankan posisi tawarnya. Proyek Donggi terbilang kecil dibandingkan dengan proyek gas lain di Indonesia, tapi cukup penting untuk Sulawesi Tengah. Indonesia sudah sangat diuntungkan karena ada investor yang bersedia menggarap proyek tersebut. Selain itu, Donggi pun sudah mendapatkan pembeli dari Jepang. Faktor pembeli ini sangat penting mengingat pasar gas dunia saat ini sedang luber dan harga turun. Peluang ini mestinya tidak disiasiakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo