Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ketika Tiga Menteri Tersedak

Kenaikan tarif telepon, listrik, dan bahan bakar minyak masuk ke kancah politik. Ada upaya menggusur Mega. Menteri Agum dan Kwik Kian Gie bergerak di luar jalur?

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kerongkongan tiga menteri itu nyaris tercekat hampir bersamaan. Di ruang rapat Komisi Kesejahteraan Rakyat DPR, Senayan, Rabu pekan lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla, dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono saling pandang. Di belakang punggung, yang satu menudingkan telunjuk ke arah yang lain. Yang ditunjuk menepis dengan isyarat telapak tangan. Puluhan pasang mata anggota DPR yang menatap dari arah depan membuat suasana semakin tak enak. Di luar kamar, puluhan wartawan menanti. Malam itu adalah malam yang ditunggu-tunggu para penjaja berita. Pemerintah dan anggota DPR mengadakan rapat konsultasi untuk membahas tuntutan pembatalan kenaikan tarif telepon, listrik, dan harga bahan bakar minyak?sesuatu yang telah diputuskan eksekutif 1 Januari lalu. Setelah dua pekan didera demo, kabinet Megawati akhirnya bersedia berdialog dengan parlemen untuk membahas kemungkinan penundaan kenaikan harga ketiga komoditas utama itu. Semula, menurut seorang sumber, pemerintah sepakat untuk tak mengambil keputusan apa-apa. Mereka hanya akan mendengarkan tuntutan DPR, lalu membahasnya di sidang kabinet. Harap maklum, pemerintah sejak awal memang kukuh tak akan menganulir keputusannya. Kenaikan tarif telepon, listrik, dan minyak merupakan amanat Badan Moneter Internasional (IMF) dan dilakukan untuk mengurangi beban anggaran akibat subsidi triliunan rupiah yang selama ini dikucurkan pemerintah. Tapi, tak dinyana, Menteri Perhubungan Agum Gumelar, yang juga hadir malam itu, tiba-tiba nyelonong bicara. "Dari 210 juta penduduk Indonesia, hanya 3,7 persen yang memakai telepon. Setelah melihat kalkulasi yang ada, saya kira tarif telepon bisa ditunda," katanya. Anggota kabinet yang lain melongo. Selain tiga menteri koordinator dan Menteri Perhubungan, hadir pula Menteri Keuangan Boediono, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno, dan Menteri Pertambangan dan Energi Purnomo Yusgiantoro. Seperti yang lain, mereka juga terkesiap. Dari parlemen, datang Ketua DPR Akbar Tandjung dan para ketua komisi serta fraksi. Suasana rapat hampir tak terkendali. Penundaan kenaikan tarif telepon ini bisa-bisa menyenggol kenaikan listrik dan bahan bakar minyak. Seperti permainan domino, kesaksian Agum "merobohkan" kartu argumen pemerintah untuk menaikkan harga dua komoditas lainnya. Sebab itu, ketika jam menunjukkan pukul 22.35, seorang menteri mengambil inisiatif. "Mereka minta skors selama setengah jam," kata Panda Nababan, anggota DPR dari PDI Perjuangan yang keluar ruangan. Tak jelas apa yang terjadi di dalam ruang skorsing. Menurut Panda, rehat itu diminta pemerintah untuk melakukan lobi dan menghitung ulang angka-angka. Sumber TEMPO di kabinet mengatakan Agum menuai protes dari menteri lain. Tapi nasi sudah menjadi bubur dan problem besar menghadang: bagaimana para menteri menjelaskan kepada kuli tinta? Para pejabat pemerintah itu sudah patah arang. Wajah Jusuf Kalla tampak kusut. Adapun Agum Gumelar menghilang sebelum konferensi pers digelar. Dalam keadaan genting, Akbar Tandjung mempersilakan Dorodjatun bicara. "Hasil rapat konsultasi akan dibawa kepada Presiden. Harap Saudara-saudara bersabar. Soal tarif telepon," kata Djatun, "akan dijelaskan sendiri oleh Menteri Perhubungan." Akbar Tandjung menukas. "Disampaikan saja, Pak, toh Menteri Perhubungan juga sudah menyebutnya," kata Akbar. Merasa terpojok, bekas Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat itu menjelaskan. "Em..., sedikit mendahului Menteri Perhubungan ya. Saudara Menteri Perhubungan tadi memberi alternatif solusi. Em..., tarif telepon tidak ditetapkan oleh keputusan presiden tapi oleh keputusan menteri. Maka beliau melakukan penundaan sampai waktu yang nanti akan ditentukan," kata Dorodjatun. Suasana tak mencair. Para menteri pulang dengan sejumlah teka-teki. Pembangkangan? Entahlah. Sumber TEMPO di Istana menyebutkan, beberapa hari sebelum rapat konsultasi itu, Presiden Megawati telah memanggil satu-satu menteri terkait untuk menjelaskan posisinya. Intinya, seperti disampaikan Mega dalam peringatan ulang tahun PDI Perjuangan di Bali pekan lalu, ia harus mengambil keputusan menaikkan harga meski itu tidak populer. "Ini untuk kepentingan jangka panjang," kata Presiden. Dalam rapat kabinet, sehari setelah rapat konsultasi dengan DPR itu, sikap ini diulanginya. Di tengah rapat, Presiden Megawati menegur Menteri Agum. Tapi Menteri Perhubungan tetap saja dengan pendiriannya. Ia beranggapan, sikap ini harus dilakukan karena suasana politik makin panas. "Suhunya sudah 39,5 derajat," katanya. Agum sudah mengambil keputusan. Sore harinya, 16 Januari 2003 melalui SK Menteri Perhubungan Nomor PR.304/1/1-PHB2003, ia resmi menunda kenaikan tarif telepon. Keputusan itu dibacakan Kepala Hubungan Investor PT Telkom, Setiawan Sulistyono. Penundaan ini membuat Telkom puyeng: harus mengkaji kembali rencana pelaksanaan penambahan modal dan membatalkan pembangunan 1,2 juta sambungan telepon baru. Agum secara tegas menolak disebut bekerja sendiri. "Jawaban saya singkat saja, itu tidak benar," katanya kepada wartawan Tempo News Room, Sapto Pradityo. Apa pun jawaban sang Menteri, sesungguhnya kemelut di kabinet ini hanya sepercik api kecil dari bara politik yang muncul akibat kenaikan tarif. Api besarnya terlihat di jalan-jalan: demonstrasi merebak dan di beberapa tempat diwarnai kekerasan serta pendudukan kantor pemerintah dan pelbagai fasilitas publik. Saking gentingnya situasi Ibu Kota, Mega sampai membatalkan rencana kunjungan kerjanya ke Makassar dan Poso, Kamis pekan lalu. Belum lagi risiko didemo di perjalanan sehingga terpaksa diambil tindakan keras. "Kalau ada pendemo yang mati, kan jadi ramai persoalannya," kata seorang perwira Pasukan Pengamanan Presiden. Reaksi kencang inilah yang tampaknya di luar dugaan pemerintah. Padahal, penentuan waktu kenaikan tarif pada 1 Januari 2003 sudah dihitung betul. Jika dinaikkan pertengahan tahun, dikhawatirkan akan terjadi ekses politik, karena ketika itu Undang-Undang Pemilu tengah disahkan. Pengumuman juga tak bisa dilakukan akhir tahun ini, karena saat itu partai-partai mulai didaftar ulang. Setelah itu? "Sama sulitnya karena telah masuk Pemilu 2004," kata seorang menteri. Menaikkan tarif telepon, listrik, dan harga minyak tak serempak juga sama bahayanya. "BBM naik harga barang lain ikut naik. Listrik naik, telepon naik, harga lain lalu naik lagi. Biayanya jauh lebih besar dibandingkan jika naik sekaligus," kata Muchyar Yara, juru bicara Badan Intelijen Negara (BIN). Lembaga ini, kabarnya, berperan penting di balik perumusan kebijakan kenaikan tarif ini. Kemarahan publik juga disulut pelbagai kebijakan yang ditetapkan hampir bersamaan dengan kenaikan harga BBM ini. Kebijakan itu adalah keputusan release and discharge alias pembebasan dari tuntutan hukum kepada konglomerat bermasalah, dan divestasi saham Indosat yang banyak dikritik. "Terus terang, kami teledor," kata seorang menteri. Keteledoran itu membuat api makin besar. Menteri Susilo Bambang Yudhoyono mensinyalir ada kelompok yang ingin menunggangi kisruh kenaikan harga. Tak ada nama kelompok yang dituding, tapi banyak orang mafhum salah satu yang dibicarakan adalah Kaukus Penyelamat Bangsa. Kaukus ini dibentuk Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Kwik Kian Gie, akhir Desember lalu. Menurut Kwik, ketika itu semangat kaukus adalah mengumpulkan orang-orang baik di DPR. "Semacam DPR putihlah," katanya. Belakangan Kwik mengaku tak lagi aktif dalam lembaga itu. Kegiatan kaukus selanjutnya dijalankan oleh anggota DPR seperti Marwah Daud Ibrahim (Golkar), Samuel Koto (Fraksi Reformasi), Haryanto Taslam, Julius Usman, Meilono Suwondo (PDI Perjuangan), Effendie Choirie, Ali Masykur Musa (PKB), dan Lukman Prayitno (PPP). Di atas kertas, kaukus tak berniat menggulingkan pemerintah. Ini memang bukan kelompok yang solid dan terorganisasi. Mereka hanya berkumpul dan berdiskusi secara teratur?salah satunya di Wisma Fajar, Senayan, Jakarta. Mereka ingin kenaikan harga dibatalkan dan jika tak digubris mengancam akan membawa masalah ini ke Sidang Paripurna DPR sambil sesekali menggertak akan mendelegitimasi pemerintahan Megawati. Tapi beberapa individu yang berjalin-temali dengan kaukus dituding memanfaatkan keadaan. Anggota DPR asal PDI Perjuangan, Arifin Panigoro, misalnya. Dia dituding menunggangi mahasiswa dengan menitipkan isu turunkan Mega-Hamzah. "Tujuan Arifin sebenarnya adalah reshuffle kabinet dan dia ingin masuk ke sana," kata seorang anggota PDIP yang dekat dengan Mega. Tapi, menurut Muchyar Yara, masalah Arifin sudah selesai. "Dia sudah menghadap Kepala BIN Hendro Priyono dan menyatakan dirinya 'bersih'," kata Muchyar kepada Y. Tomi Aryanto dari Tempo News Room. Arifin menyangkal cerita ini. "Saya menghadap Hendro? Tidak pernah, tuh," katanya. Isu lain yang diwaspadai pemerintah adalah ide pembentukan presidium untuk menggantikan pemerintahan Megawati. Menurut Chotibul Umam Wiranu dari Partai Kabangkitan Bangsa, ide itu tercetus dalam pertemuan sejumlah politikus DPR dalam acara yang digelar musisi dan Ketua Partai Nasionalis Bung Karno, Eros Djarot. Menurut Chotibul, gagasan presidium menjadi pembicaraan hangat dalam forum itu. "Jika Megawati-Hamzah tak mampu mengatasi keadaan, mereka harus menyerahkan mandatnya kepada MPR. MPR berwenang menentukan pemerintahan baru," kata Umam. Pemerintahan inilah yang dibayangkan sebagai presidium alias pemerintahan bersama. Ide liar semacam ini disambut oleh bekas aktivis mahasiswa Hariman Siregar, yang juga hadir dalam pertemuan itu. "Presidium mungkin muncul sebagai pemerintahan pengganti jika keadaan semakin buruk," katanya. Bersama Hariman, dalam pertemuan itu juga hadir bekas Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Jenderal (Purn.) Wiranto. "Kalau soal Wiranto, tanya Hariman saja, deh," kata Eros. Hariman membantah menjadi orang yang memfasilitasi bekas ajudan Soeharto itu masuk ke kancah politik para aktivis "penggoyang" Mega. "Memang banyaklah yang datang. Bukan cuma Wiranto. Jenderal aktif juga banyak," katanya menghindar. Bekas jenderal, bekas aktivis mahasiswa, politikus DPR, semua berkumpul memanaskan situasi. Akankah Megawati tersungkur? Sulit. Seperti kata Amien Rais, tak ada pintu dan jendela menuju sidang istimewa yang bisa menjatuhkan Mega. Dengan 35 persen suara di parlemen plus dukungan penuh Golkar, Mega sulit diluruhkan sebelum 2004. Apalagi kini pemerintah mengalah dengan menunda kenaikan tarif telepon. Soal listrik dan BBM akan dikonsultasikan pekan ini. Ini mungkin cuma game. Sebuah pemanasan menjelang pertarungan 2004. Jika salah urus, akibatnya malah melahirkan "kecelakaan" sejarah. Arif Zulkifli, Tomi Lebang, Fajar W.H., Arif Kuswardono, Riza (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus