Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Betawi 'Kagak Ade Matinye'

Si Doel Anak Sekolahan telah sampai seri keenam. Sinetron berlatar Betawi kian marak di layar televisi.

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERIAKAN dan caci-maki menyembur dari mulut Mandra dan Karyo. Sepanjang pagi itu, tak lelah-lelahnya mereka bertikai. Soal air mandi, sarapan, pintu kamar, apa saja. Lengkingan suara Mak Nyak yang melerai dan Atun yang ikut campur kian memenuhi langit-langit rumah.

Itulah potongan adegan Si Doel Anak Sekolahan 6 yang mulai diluncurkan Sabtu pekan lalu. Pertama kali ditayangkan sembilan tahun silam, sinetron buatan Karnos Film ini tak jemu-jemu membombardir pemirsa dengan latar belakang budaya Betawi kontemporer di televisi.

Sukses Rano mengeduk potensi Si Doel tak lepas dari kelihaian dia mengemas budaya Betawi menjadi tontonan yang menarik dan dekat dengan keseharian. Semula, manakala persoalan cinta segi tiga Doel-Zaenab-Sarah mendominasi plot cerita, muncullah satu kekhawatiran. Si Doel diperkirakan akan berkembang menjadi lebih individual dan dengan begitu kebetawiannya akan menipis.

Begitukah halnya dengan Si Doel Anak Sekolahan 6? Yang jelas, cinta segi tiga Si Doel 6 masih diyakini punya daya tarik tinggi. Ia menyimpan sebuah misteri yang bakal memancing keingintahuan para pemirsa akan pilihan Doel: Sarah atau Zaenab. Pernikahan ini juga akan menandakan akhir dari kisah Si Doel Anak Sekolahan.

Perbedaan dan benturan budaya antara Si Doel yang berpendidikan tapi dibesarkan di kampung dan Sarah yang anak gedongan merupakan lahan yang amat kaya untuk digarap. Namun, manakala keduanya sudah saling mengenal dan mengerti lebih jauh, apa yang tertinggal untuk digarap? Boleh jadi "benturan" yang terjadi tak sedahsyat, seironis, selucu, atau demikian mengharukan seperti sebelumnya. Tapi sineas Garin Nugroho tetap melihat bahwa sinetron-sinetron Betawi memiliki sesuatu yang tetap menarik. Itulah bahasa Betawi yang mendekati bahasa Indonesia, dan mudah dipahami orang non-Betawi.

Harus diakui, melejitnya popularitas Si Doel, tak pelak, membuat sinetron yang mengusung budaya Betawi makin bertaburan. Jika sering menatap layar televisi, Anda akan menemukan Juki, Kecil-Kecil Jadi Manten, hingga Juleha. Yang terakhir adalah satu dari empat sinetron garapan Mandra. Judul lain adalah Mandragate, Tarsan Betawi, hingga Babe. Belum lagi sinetron nonkomedi, yaitu Prahara Betawi, yang mengangkat tema warga Jakarta menghadapi kumpeni alias penjajah Belanda.

Sebagian besar sinetron itu memang mengeksploitasi budaya Betawi hanya dari gaya bicara pemainnya. Ini modal penting untuk menuai tawa penonton, yang lebih mudah diterima ketimbang Ketoprak Humor, yang banyak menggunakan bahasa Jawa yang relatif sulit ketimbang Betawi. Juga cara bicara mereka yang bebas (hingga ayah dan anak kadang bisa saling meneriaki), lepas dan kadang tanpa tata krama ini lebih mudah memancing tawa. Itu sebabnya, "Tema-tema komedi Betawi mudah dijual di televisi," kata Garin.

Sebelumnya, televisi cenderung menyajikan budaya Betawi dalam bentuk lenong atau film dan sinetron berlatar zaman Belanda, macam Si Pitung atau Nyai Dasima. Dan Si Doel pun lahir dengan tema yang berbeda, meski nuansa lenong dan gaya bahasa yang cablak tetap ada.

Meyakinkan pihak televisi sudah perjuangan tersendiri. Menurut Rano, pertama kali menawarkan cerita Si Doel, stasiun-stasiun itu menolak. Ada yang mengatakan citra keluarga Betawi dalam sinetron yang ditawarkannya cenderung kampungan sehingga tak sesuai dengan pangsa stasiun televisi itu. Dengan berbagai pendekatan, akhirnya toh RCTI menayangkan juga dan bahkan mendulang keuntungan berlimpah dari sinetron ini. Mandra merasakan hal serupa. Ia jadi produser, sutradara, dan pemain. Tarsan Betawi sempat ditolak oleh beberapa stasiun televisi. Tapi sinetron itu kemudian malah jadi tambang iklan yang menguntungkan.

Garin, sutradara yang baru meluncurkan film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, melihat perkembangan ini dari segi positif. Ada banyak cara mengemas kebetawian di layar televisi, mulai dari yang "serius" hingga "bermain-main", yaitu lewat komedi yang lebih komersial dan mudah diterima oleh industri televisi. Yang laris dan disukai penonton belum tentu yang terbaik mewakili budaya tertentu. Termasuk sinetron-sinetron berlatar Betawi itu. Semua kembali ke pasar. Jadi, siape bilang anak Betawi pade betingke?

Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus