Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tren kelas malam bukan monopoli perguruan tinggi. Di Lebak, Provinsi Banten, Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Cileles bahkan membuka kelas sampai dini hari. Peminatnya membludak, ada sekitar 500 ”siswa”, sejak dibuka tiga tahun lalu. Uniknya, meski semua ditempatkan dalam satu kelas, tidak ada ”siswa” yang keberatan. Mereka tidak berunjuk rasa, karena memang hanya bisa berkicau. Lho?
Ya, karena kelas ini memang khusus bagi burung walet.
Ceritanya bermula ketika belasan walet menerobos masuk ruang-ruang kelas SMPN 1 Cileles. Saat pelajaran akan dimulai esok harinya, bangku-bangku penuh ceceran kotoran burung. Upaya pengusiran selalu gagal. Mereka kembali malam berikutnya. Kepala sekolah akhirnya mengumpulkan guru dan orang tua siswa. Muncul usul brilian, mengubah bencana menjadi peluang. ”Mengapa tidak kita sediakan tempat khusus, siapa tahu bisa menghasilkan uang?” kata Suripno, Kepala SMPN 1 Cileles, mengulang cerita.
Usulan diterima. Sekolah mendandani ruang perpustakaan, yang lokasinya terpisah dari kelas lain, menjadi ”kelas” walet. Seluruh jendela ditutup tembok. Hanya tersisa lubang ventilasi dan pintu keluar-masuk walet. Upaya ini berbuah hasil. Walet-walet lebih suka menyerbu perpustakaan ketimbang mengganggu kelas lain. Mereka datang ketika petang dan pergi saat subuh. Mereka tahu arti penting pendidikan sehingga tak mengganggu jam belajar anak sekolah.
Jumlah mereka bertambah terus dari belasan hingga mencapai sekitar 500 ekor. Setiap triwulan, air liur burung itu memberi devisa Rp 1 juta untuk sekolah. Hasilnya, sebuah musala baru berdiri di halaman sekolah. Plus seperangkat pengeras suara yang cukup untuk menggelar orkes dangdut.
Sayang, ada saja yang usil memprotes sekolah berbisnis. Pak Bupati sampai datang. Ternyata Bupati merestui kelas malam itu, tapi membentuk tim untuk menghitung potensi ekonominya. ”Kalau bagus, akan dibangun tempat yang layak huni bagi walet,” kata Suripno.
Tim survei menyerahkan laporannya tiga pekan lalu. Ternyata, liur walet itu kualitasnya rendah. Akhirnya diputuskan pengelolaan walet tetap diserahkan kepada sekolah. Kepala sekolah pun segera memutuskan, hasil penjualan liur walet akan dipakai meningkatkan kesejahteraan guru dan staf sekolah. Inilah walet yang ”berpendidikan” dan tahu diri, coba kalau air liurnya berkualitas tinggi, pasti yang mengelola konglomerat.
Agung Rulianto, Deden Abdul Aziz (Banten)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo