Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG dosen setiap hari mendatangi sebuah studio rekaman di Paseban. Di sana, mahasiswa-mahasiswanya sedang menggarap sebuah album musik. Lelaki itu tak banyak mengomentari kegiatan para mahasiswa, hanya sibuk menawarkan jamu beras kencur, susu kedelai, atau nasi Padang karena khawatir mereka jatuh sakit. Setelah seluruh rangkaian rekaman selesai, baru lagu-lagu diperdengarkan kepadanya. “Ya, ya! Apik, apik!” begitu dia bersorak saat menyimak. Jika lagunya dia sukai sekali, lelaki itu memuji nyaring, “Sadeees…. Dahsyat!”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lelaki itu Sapardi Djoko Damono. Pada 1988 itu, dia pengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan mahasiswanya sedang merekam sajak-sajaknya menjadi lagu. Begitulah album Hujan Bulan Juni tercipta. Reda Gaudiamo, yang menceritakan kembali kenangan ini, adalah salah satu penyumbang suara dalam album itu. Sajak-sajak berlagu yang turut dalam album itu antara lain “Hujan Bulan Juni”, “Aku Ingin”, “Di Restoran”, “Akulah Si Telaga”, dan “Pada Suatu Pagi Hari”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak sedikit pun Sapardi turut campur dalam penciptaan komposisi musik pengantar sajaknya. Dia menyerahkan puisi-puisinya—sebagian dalam tulisan tangan—kepada tiga mahasiswa, yaitu Ags. Arya Dipayana, Budiman Hakim, dan Umar Muslim, untuk dirangkaikan dengan lagu. Hasilnya selalu dia terima dengan gembira. Hanya satu kali saja hasil karya mahasiswa itu membuat dia terlihat syok, tatkala Ags. menafsirkan kuatren “Lima Sajak Empat Seuntai” dalam gaya rock dengan gitar dan drum yang memekik. “Melihat wajahnya, kayak kurang sreg,” Reda bercerita.
Sapardi lebih senang jika sajak-sajaknya diberi iringan musik yang tak kelewat bergemuruh. Petikan gitar saja cukup, agar larik-larik dalam puisinya dapat terdengar lebih mencolok. Lagu-lagu ciptaan Umar Muslim menjadi salah satu yang paling sesuai dengan seleranya. Hampir setiap sore Sapardi memanggil Umar, lalu meminta diajari cara memainkan lagunya dengan gitar. “Musik saya dasarnya gitar klasik, beliau cocok,” kata Umar.
Sampul album musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono oleh AriReda bertajuk Becoming Dew. Arireda.blogspot.com
Proyek melagukan sajak ini bermula sekitar 1985-1986. Untuk merayakan Bulan Bahasa, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan dan Sapardi menggagas proyek musikalisasi puisi. Penggerak proyek adalah mahasiswa-mahasiswa Sapardi di Fakultas Sastra UI. Bukan sajak Sapardi saja yang dibuat menjadi lagu kala itu. Umar Muslim, misalnya, awalnya kebagian membuat musik dari satu sajak Abdul Hadi W.M. dan satu puisi Sapardi yang berjudul “Sehabis Suara Gemuruh”. Reda Gaudiamo menyanyikan sajak “Gadis Peminta-minta” karya Toto S. Bachtiar dan “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” dari Goenawan Mohamad.
Mendapat sambutan baik, proyek ini dilanjutkan. Berikutnya, khusus puisi-puisi Sapardi saja yang dibuatkan kaset. Sebagian besar adalah sajaknya yang dimuat di koran sore Suara Pembaruan. Dalam proyek ini, Ari Malibu, yang menjadi partner bermusik Reda sejak 1982, turut serta.
Menggarap sajak Sapardi menjadi lagu ternyata menjadi candu, bukan hanya bagi penyairnya, tapi juga para mahasiswa. Bertahun-tahun setelah proyek pertama, para mahasiswa yang sebagian sudah menjadi dosen berkumpul kembali untuk menggarap album Hujan dalam Komposisi (1996). Umar Muslim yang baru selesai menamatkan studi di Australia menyumbangkan paling banyak komposisi. Senarai sajak yang turut dalam album ini antara lain “Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate, San Fransisco”, “Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari”, “Ketika Jari-jari Bunga Terbuka”, dan “Nocturno”.
Hanya dalam proyek awal Sapardi memberikan langsung sajak-sajak untuk digarap mahasiswanya. Berikutnya, mereka sendiri yang membuka-buka buku puisi Sapardi dan memutuskan sajak mana yang paling enak dinyanyikan. “Enggak pakai permisi. Kami ini antara lancar jaya dan kurang aja,” tutur Reda, tertawa.
Reda dan Umar sepakat bahwa sajak-sajak Sapardi punya kekuatan istimewa yang seolah-olah memanggil untuk dijadikan lagu. Kata-katanya tak rumit, tapi liris. Sapardi mampu membuat metafora penuh makna dari peristiwa sehari-hari sehingga tercipta suasana tertentu saat membaca sajaknya. “Biasanya, saya menangkap dulu suasana dalam puisi Sapardi. Suasana itu yang saya terjemahkan jadi lagu,” ujar Umar.
Karena proyek ini dikerjakan dengan senang, urusan royalti tampaknya tak jadi perkara utama. “Royalti biasanya sekali bayar. Kepada saya untuk lagunya dan kepada Sapardi untuk liriknya,” ucap Umar.
Album-album berikutnya selalu dirilis dengan Sapardi yang cukup tahu beres. Pada 2015, Reda bersama Tatyana Soebianto membentuk duet Dua Ibu dan mengeluarkan album Gadis Kecil dengan iringan gitar Jubing Kristianto. Ada sebelas sajak dalam album itu. Dua tahun kemudian, giliran duo Ari Malibu dan Reda Gaudiamo, AriReda, membuat album Becoming Dew. Di antara mahasiswa-mahasiwanya ini, terjadi pembagian peran yang tak disengaja. AriReda menjadi yang paling konsisten membawakan lagu-lagu Sapardi dari panggung ke panggung hingga Ari berpulang dua tahun lalu. Adapun Umar dan Tatyana lebih sering diajak Sapardi mengiringinya dalam acara-acara pembacaan puisi.
Inisiatif murid-muridnya ini tak dapat dimungkiri membuat puisi Sapardi makin tersebar luas. Sajak-sajak yang dibuat Sapardi beberapa dekade lalu tetap diingat oleh generasi termuda saat ini. Lagu Aku Ingin sering menjadi lagu tema dalam banyak acara pernikahan—meski maknanya lebih menyiratkan kasih tak sampai. Bila turun hujan pada bulan Juni, lagu Hujan Bulan Juni akan banyak disebut-sebut di media sosial.
Duo AriReda yang paling banyak berperan menjangkau pendengar lintas generasi ini. Reda mengakui sempat terpikir olehnya untuk berhenti menyanyikan puisi. Namun, dalam suatu pertunjukan di Bentara Budaya Bali sepuluh tahun lalu, Reda melihat banyak anak usia sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang antre panjang sekali untuk mendengar AriReda bernyanyi. “Melihat itu, kami merasa tak bisa berhenti. Kami sudah masuk satu pekerjaan yang berpengaruh pada anak muda,” tutur Reda.
Pendengar muda AriReda dan sajak Sapardi makin bertambah banyak sejak duo itu ditangani pendokumentasi musik, Felix Dass, pada 2015. Felix, kini 36 tahun, tadinya tak mengenal AriReda. Dia lebih akrab dengan lagu sajak Sapardi, Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate, San Fransisco, versi band Melancholic B1tch. Setelah mendengar AriReda bernyanyi dalam acara festival musik Ruang Rupa, Felix terpana. Dia lalu setuju menjadi manajer mereka dengan target utama, kata Felix, “Musikalisasi puisi AriReda masuk ke market baru yang bukan teman-teman mereka di UI dan bukan generasi tua.”
Bersama Felix, AriReda masuk ke panggung-panggung musik anak muda. Tiket pertunjukan kolaborasi pertama mereka pada awal 2016 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ludes terjual dengan sebagian besar pembeli adalah anak muda. “Yang tua malah enggak kebagian tiket,” ujar Felix.
Untuk pertama kalinya pula AriReda melakukan tur di beberapa kota. Selama dua tahun hingga 2018, hampir seratus pertunjukan mereka jalani. Tentu hampir semua lagu yang dibawakan adalah sajak Sapardi. Albumnya juga paling laris terjual dalam acara seperti ini. Total lebih dari 3.000 keping sudah terjual. “Kalau buka YouTube, banyak sekali pengunggah video musikalisasi puisi Sapardi yang hampir seluruhnya pasti meng-cover versi AriReda,” kata Felix lagi.
Sebelum Ari berpulang pada 2018, dia dan Reda sempat merampungkan perekaman semua lagu yang dibuat dari sajak Sapardi, termasuk yang belum pernah dimainkan sebelumnya. Felix mengatakan semangat proyek itu adalah melestarikan karya-karya Sapardi untuk generasi selanjutnya. Album ini rencananya dirilis dalam edisi boks istimewa dengan sampul tulisan tangan Sapardi. Meski album itu belum resmi diluncurkan, beruntung Sapardi sudah sempat melihat hasilnya sebelum dia meninggal pada Ahad, 19 Juli lalu.
Sapardi pernah mengungkapkan bahwa musikalisasi puisi adalah sebuah bentuk alih wahana sastra yang berperan besar membuat karyanya makin dikenal. Dalam sebuah dialog bersama Najwa Shihab dan Joko Pinurbo di panggung Asian Literary Festival 2016, dia sempat berkata, “Seandainya sajak itu tak dinyanyikan Reda, Anda tak akan mengenalnya. Siapa yang akan mengingat puisi di sudut koran sore jika tak dilagukan.”
MOYANG KASIH DEWI MERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo