Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANGAN itu terasa sempit, berantakan, berdebu, dan kusam. Hanya benda-benda rongsokan terbuat dari kayu dan besi yang teronggok di sana. Cahaya lampu penerangan pun seadanya. Siapa saja yang masuk ke gudang Indian Museum di Kolkata (dulu Kalkuta), India, itu tak akan berpikir bakal menemukan sesuatu yang berharga. Ironisnya, di tempat itulah sebuah prasasti bernilai sejarah tinggi tersimpan. Namanya Prasasti Pucangan. Ia berkisah tentang kemasyhuran Raja Airlangga.
Adalah Arlo Griffiths, peneliti dari École Française d'Extrême-Orient atau Lembaga Prancis untuk Kajian Asia, yang menggambarkan betapa menyedihkannya kondisi prasasti kuno peninggalan kerajaan di Indonesia itu. "Prasasti itu diletakkan di gudang dengan perabot bekas yang tak terawat," ujar Griffiths. Ia melihat langsung Prasasti Pucangan itu pada 2011.
Griffiths menceritakan, ketika prasasti itu dicermati lebih dekat, ia menemukan beberapa permukaannya diolesi lapisan semen yang menutupi sebagian bidang dan huruf yang tertera di atasnya. "Mungkin mereka melakukan ini sebagai upaya konservasi di tempat lapisan permukaan batu yang mulai mengelupas," katanya. Hanya, menurut Griffiths, cara konservasi itu terkesan dilakukan seenaknya dan sangat sembrono.
Ia menambahkan, jangankan para pegawai museum, pelaksana tugas kepala museum di sana pun sama sekali tidak tahu tentang sejarah prasasti itu. Dari cara menyimpannya saja terlihat bahwa mereka tak paham apa-apa soal prasasti ini. "Mungkin tidak langsung membahayakan kondisi prasasti," ujarnya. Meski begitu, Griffiths sempat menyarankan prasasti itu disimpan sesuai dengan persyaratan konservasi yang berlaku di dunia permuseuman internasional.
Peneliti arkeologi, Nigel Bullough, sependapat dengan Griffiths. Prasasti Pucangan, kata dia, memiliki nilai sejarah sangat tinggi dan harus diselamatkan. Sebab, inilah satu-satunya sumber sejarah yang menggambarkan riwayat Airlangga. "Jika kita ingin mengetahui cerita masa pemerintahan Airlangga, sumbernya Prasasti Pucangan ini," ujarnya. Prasasti yang terbuat dari batu ini memiliki tinggi 1,24 meter, lebar 0,95 meter (bagian atas) dan 0,86 meter (bagian bawah), serta tebal 0,09 meter.
Ninny Soesanti, dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang meneliti pemerintahan Airlangga, dalam disertasinya menyebutkan, dari semua prasasti pada masa Airlangga yang telah ditemukan, hanya 14 yang bisa dibaca dan dianggap memuat fakta sejarah. Sedangkan sisanya banyak yang sulit dimengerti lantaran hurufnya telah aus, hancur, atau hilang. Huruf pada Prasasti Pucangan, menurut keterangan pakar epigrafi J.G. de Casparis, seperti yang dikutip Ninny, juga mulai aus dan sulit dibaca.
Airlangga adalah raja yang memerintah Kahuripan, kerajaan di Jawa Timur, pada abad ke-11. Prasasti Pucangan sendiri dikeluarkan oleh Raja Dharmawangsa Airlangga pada tahun 963 Saka atau tepatnya pada 6 November 1041. Prasasti ini merupakan satu dari 33 prasasti pada masa Airlangga yang dapat ditemukan.
Cerita yang termuat dalam Prasasti Pucangan dipahat dalam dua bahasa: Jawa kuno pada sisi depan dan Sanskerta di bagian belakang. Terdiri atas 36 baris, prasasti ini memuat 34 kalimat. Isi keduanya hampir sama dan saling melengkapi, yaitu mengenai penyerangan Raja Airlangga terhadap raja-raja lain yang tidak tunduk kepadanya. Prasasti ini diyakini dibuat untuk memperingati penetapan Desa Pucangan, Barahem, dan Bapuri sebagai daerah perdikan untuk pertapaan di daerah Gunung Pugawat.
Menurut Ninny dalam Prasasti-prasasti Sekitar Masa Pemerintahan Raja Airlangga, sisi yang berbahasa Sanskerta memuat silsilah Airlangga dan tahun penobatannya sebagai raja. Di sana juga tertulis silsilah wangsa Isyana, dari pencetus dinasti Sri Isanatunga; putrinya, Sri Isanatunggawijaya; hingga ibu Airlangga, Mahendradatta, yang menikah dengan putra mahkota dinasti Warmadewa dari Bali, Dharmmodayana.
Tulisan dalam prasasti itu juga menyebutkan, ketika berusia 16 tahun, Airlangga dikirim ke Jawa untuk menikah dengan putri Raja Dharmawangsa Tguh. Saat upacara pernikahan, pada tahun 939 Saka, terjadi pralaya atau bencana besar akibat serangan Raja Wurawari. Peristiwa itu berlangsung sebelum Airlangga naik takhta. Banyak pembesar kerajaan tewas. Sedangkan Airlangga selamat karena disebut-sebut sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.
Adapun dalam prasasti berbahasa Jawa kuno diceritakan kehidupan Airlangga setelah perang. Ia hidup sederhana dalam pertapaan dan tak pernah berhenti memuja dewata hingga ia dinobatkan menjadi raja. Prasasti ini juga berisi informasi tentang penyerangan yang dilakukan Airlangga.
Belum diketahui secara pasti penemu pertama prasasti ini dan lokasi ditemukannya. Meski begitu, Hasan Djafar dalam makalahnya berjudul "Prasasti Sangguran (Minto Stone) Tahun 850 Saka (2 Agustus 928)" menyebutkan prasasti ini ditemukan di Gunung Penanggungan, Jawa Timur. Sedangkan menurut Bullough, setidaknya ada dua kemungkinan tentang lokasi penemuan Prasasti Pucangan, yakni daerah Penanggungan dan Jombang. Alasannya, di kedua daerah tersebut terdapat bukit bernama Kapucangan.
Soal lokasi prasasti ini juga bisa dilihat dari catatan Kolonel Colin Mackenzie, surveyor di masa Letnan Gubernur Jenderal Jawa Sir Thomas Stamford Raffles. Pada April 1813, Mackenzie mengirim prasasti ini ke India. Dalam catatannya, ia sama sekali tak menyebutkan pernah pergi ke Penanggungan. Ia justru tercatat pernah pergi ke Jombang pada 1812. Catatan itu menjadi penting karena prasasti ini, bersama Prasasti Sangguran, kemudian dihadiahkan oleh Raffles untuk bosnya, Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto.
Bersama kedua prasasti tersebut, Mackenzie mengirim sebuah gambar yang dibuat John Newman. Ia mengira gambar yang dikirimkannya adalah gambar Prasasti Pucangan, padahal gambar Prasasti Sangguran. Bentuk kedua prasasti itu mirip. Perbedaan terlihat pada bagian puncaknya. Seperti prasasti Raja Airlangga lainnya, Prasasti Pucangan berbentuk blok berpuncak runcing dengan hiasan padmasana pada bagian bawahnya.
Ketika kembali ke Inggris, Lord Minto hanya membawa satu prasasti, yaitu Sangguran. Sejak itu, prasasti ini menjadi bagian dari keluarga Minto sehingga dinamakan Minto Stone. Kini Prasasti Sangguran berada di rumah keluarga Minto di Hawick, Skotlandia. Prasasti ini diletakkan di luar rumah di samping kebun, terkena air hujan, dan terpapar sinar matahari. Adapun Prasasti Pucangan dia tinggalkan di India, menjadi milik pemerintah setempat, dan dikenal dengan sebutan Calcutta Stone, yang kini teronggok di dalam gudang dan tak terawat.
Soal telantarnya Prasasti Pucangan di India, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan mengaku belum tahu banyak tentang prasasti ini. Meski begitu, pemerintah Indonesia pernah menyatakan kepada pemerintah India soal kemungkinan memulangkan prasasti ini. Sayangnya, belum membuahkan hasil. "Setidaknya kita tahu sejarahnya dan benda ini ada di negara mana," katanya.
Sejarawan asal Inggris, Peter Carey, menilai pemulangan Prasasti Pucangan bisa jadi lebih alot dibandingkan dengan Prasasti Sangguran di Skotlandia. "Biasanya lebih gampang dari tangan swasta daripada pemerintah," ujarnya. Ia punya pengalaman saat memulangkan tongkat Kiai Cokro Pangeran Diponegoro, yang sebelumnya dimiliki keturunan Bauld, Gubernur Hindia Belanda di Jawa pada 1833-1836. Negosiasi hanya terjadi secara internal. Ini berbeda bila benda bersejarah itu sudah dikuasai negara. "Akan ada proses birokrasi berbelit-belit," katanya.
Ratnaning Asih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo