Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti, memiliki daftar prasasti yang kini berada di beberapa museum di Eropa. Berdasarkan penelusuran dokumen-dokumen Belanda yang dilakukannya, Titi menemukan bahwa yang terbanyak berada di Museum Etnologi Nasional (Rijksmuseum voor Volkenkunde) di Leiden, Belanda, yakni enam prasasti. Sedangkan di Museum Tropen di Amsterdam, Belanda, ada dua prasasti. Satu prasasti lain, menurut Titi, tersimpan di Museum Maritim di Rotterdam, Belanda.
Untuk mendapat konfirmasi tentang hal itu, kontributor Tempo di Amsterdam, Yuke Mayaratih, mengunjungi ketiga museum tersebut. Di Museum Maritim, Tempo tidak menemukan Prasasti Guntur seperti yang disebut dalam daftar yang dibuat Titi. Menurut keterangan Irene Jacobs, konservator Museum Maritim, tidak ada prasasti yang berasal dari Indonesia yang disimpan di Museum Maritim. Ketika mengunjungi museum ini, Tempo hanya menemukan satu informasi yang berkaitan dengan Indonesia, yakni sejarah tentang bagaimana Belanda mengenal rempah-rempah jenis cengkeh, kayu manis, dan lada yang berasal dari Indonesia.
Sebelum mendatangi Museum Tropen dan Volkenkunde, Tempo melakukan penelusuran koleksi secara online yang disediakan situs web Museum Tropen (collection.tropenmuseum.nl) dan Museum Volkenkunde (www.volkenkunde,nl/collections/). Ternyata pencarian dengan kata kunci nama prasasti tidak berhasil menampilkan prasasti yang dimaksud karena nama-nama prasasti tidak dikenal. Pencarian membuahkan hasil ketika memasukkan nomor inventaris prasasti tersebut.
Sebagai contoh, Prasasti Sangsang yang di dalam daftar Titi disebutkan tersimpan di Museum Tropen dengan nomor inventaris 865-1 ternyata tidak bernama. Penjelasan yang ada hanya memuat "charter recording a gift, 907, origin: Jawa Tengah". Menurut Koos van Brakel, Kepala Pengelolaan Koleksi Museum Tropen, prasasti berangka tahun 907 itu bernama Prasasti Balitung. Namun, ketika mengunjungi museum yang beralamat di Linnaeusstraat Nomor 2, Amsterdam, tersebut, Tempo tidak melihat koleksi prasasti itu dipajang.
Van Brakel, yang juga mengepalai pengelolaan koleksi di Museum Volkenkunde dan Museum Afrika sejak tiga museum itu digabungkan menjadi Museum Nasional Kebudayaan Dunia (Het Nationaal Museum van Wereldculturen), mengatakan, di samping dua lempeng Prasasti Balitung tersebut, Museum Volkenkunde menyimpan 12 prasasti lain. Seperti di Museum Tropen, tidak satu pun prasasti itu memiliki nama seperti yang disebutkan di dalam daftar yang dibuat Titi. Yang ada hanya nomor inventaris, angka tahun, dan asal prasasti.
Van Brakel juga menyampaikan bahwa ke-12 prasasti itu tidak disimpan di lokasi Museum Volkenkunde di Steenstraat Nomor 1, Leiden, tapi di gudang penyimpanan museum di Gravenzande, sekitar 25,5 kilometer dari Den Haag ke arah Rotterdam. Benar saja, ketika Tempo mendatangi Museum Volkenkunde, yang dapat disaksikan hanya Pameran Ganesha di ruangan khusus Indonesia, yang bersebelahan dengan ruang pamer musiman.
"Kami memang hanya memajang beberapa obyek di museum untuk agenda pameran tertentu. Kami juga meminjamkan benda-benda ke museum lain di Belanda," ujar Van Brakel. "Semua orang yang benar-benar serius melakukan penelitian bisa melihat dan mempelajari benda yang disimpan di dalam gudang kami."
Untuk membuktikan keberadaan prasasti-prasasti tersebut, Tempo mengajukan permohonan mengunjungi Gudang Gravenzande. Tempo beruntung mendapat izin berkunjung, yang biasanya sangat sulit didapat. Permohonan kunjungan yang telah diajukan sebulan sebelumnya oleh seorang peneliti arkeologi asal Universitas Gadjah Mada, misalnya, belum disetujui.
Pada pertengahan April lalu, Tempo mendatangi Gudang Gravenzande, yang beralamat di Stephensonstraat 3-9, Gravenzande, Belanda. Jarak tempuh dari Den Haag Centraal menuju lokasi memang hanya 25,5 kilometer, tapi butuh 75 menit jika menggunakan kendaraan umum. Gravenzande terletak di Provinsi Zuid-Holland. Lumayan dekat dengan Pelabuhan Rotterdam. Pada Perang Dunia I, gudang ini digunakan oleh militer sebagai tempat penyimpanan obat-obatan.
Di lahan seluas 300 x 150 meter ini ada empat bangunan gudang. Masing-masing diberi nomor 1-4. Tiap gudang berukuran sekitar 1.000 meter persegi (panjang 45 meter dan lebar 20 meter). Semua gudang serta jalan masuk dan sekeliling gudang dimonitor dengan kamera CCTV yang diawasi petugas keamanan. Untuk mengelilingi keempat gudang, kami menghabiskan waktu sekitar tiga jam.
Gudang nomor 1 adalah gudang khusus untuk menyimpan benda museum yang berasal dari Indonesia. Gudang nomor 2 untuk benda-benda yang berasal dari Amerika Selatan, Amerika Utara, Asia, dan Oseania, tapi ada juga (sebagian kecil) koleksi khusus milik mendiang Frits Liefkes, kolektor yang banyak menghibahkan koleksi kepada gudang ini.
Hampir semua koleksi Frits Liefkes berasal dari Indonesia: patung, gamelan, dan lain-lain. Gudang nomor 3 berisi benda yang berasal dari Afrika dan berbagai jenis senjata dari beberapa negara. Adapun gudang nomor 4 merupakan tempat penyimpanan benda bersejarah yang terbuat dari tekstil—sengaja dipisahkan karena tekstil membutuhkan suhu penyimpanan yang berbeda dengan obyek lain.
Conn Barrett adalah pegawai administrasi yang bertugas di gudang nomor 1. Menurut Barrett, koleksi asal Indonesia berjumlah 109.156 benda. Jumlah itu merupakan total koleksi yang dipajang dan tersimpan di Museum Volkenkunde, di Museum Tropen, serta di gudang ini. Sedangkan jumlah keseluruhan koleksi ada 316.835 benda dari seluruh dunia.
Tempo datang bersama arkeolog Universitas Gadjah Mada yang sedang melakukan studi dan penelitian di Leiden, Tjahjono Prasodjo. Kami masing-masing diberi saputangan putih. Sebab, jika ingin menyentuh obyek, tidak boleh dengan tangan telanjang. Barrett membawa senter untuk melihat kalau ada prasasti yang perlu dibaca dan butuh pencahayaan lebih. Suhu di tempat ini harus tetap berada pada 18 derajat Celsius, sehingga setiap gudang dilengkapi dengan penyejuk udara.
Di dalam gudang, ada 72 rak berukuran raksasa di bagian kanan dan kiri. Setiap rak diklasifikasi berdasarkan pulau tempat benda itu berasal, misalnya Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Lalu rak-rak itu ditandai dengan huruf A, B, dan seterusnya. Antar-rak itu masing-masing berjarak sekitar setengah meter.
Di atas meja telah tersusun rapi lempengan prasasti yang sepekan sebelumnya sudah dipesan sesuai dengan nomor inventaris. Prasasti ini masih diikat dengan nomor inventaris, lengkap dengan barcode. Setelah memotret prasasti itu satu per satu, kami menuju rak nomor satu untuk melihat bagaimana prasasti disimpan. Sebelas lempeng prasasti yang kami pesan itu disimpan di dalam tiga laci. Ternyata masih ada sebelas prasasti lagi di laci tersebut. Jadi prasasti asal Jawa yang terbuat dari logam total ada 22.
Salah satunya bernama Cebongan. Tjahjono tahu persis prasasti itu karena sudah lama melakukan penelitian. Sedangkan lempengan prasasti lain tidak diketahui namanya karena memang tidak dicantumkan, kecuali nomor inventaris dan barcode-nya. Jika ingin tahu asal dan usia prasasti, kita bisa melihatnya di pangkalan data yang ada di gudang melalui unit komputer yang disediakan.
Conn Barrett menyebutkan masih ada satu lagi prasasti yang berbentuk batu dan satu tiruan prasasti berbahan gips yang disimpan di gudang nomor 3. Keduanya juga berasal dari Jawa. Menurut Tjahjono, itu mungkin Prasasti Ngadoman dan replika Prasasti Gurit. Prasasti yang asli, kata Barrett, sudah dikirim ke Indonesia.
Van Brakel menjelaskan, selama ini, pihaknya tidak pernah mendapat surat permintaan atau sekadar pertanyaan tentang kabar atau apa pun yang berkaitan dengan koleksi-koleksi tersebut dari pemerintah Indonesia. Dia mengatakan prasasti tersebut bukanlah milik pemerintah Indonesia, meskipun berasal dari Indonesia. Sebab, ketika prasasti itu tiba di Belanda pada 1920-an, pemerintah Indonesia belum ada.
Yuke Mayaratih (Belanda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo