Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film yang bakal diputar di bioskop kita, The Forger, bisa menjadi pengingat akan maraknya pemalsuan karya maestro di Indonesia yang secara langsung ataupun tidak langsung semakin melibatkan "stakeholder" dunia seni rupa, dari kolektor sampai kurator. Film ini berkisah tentang pelukis Ray Cutter (John Travolta) yang mendapat tugas mencuri lukisan Woman with a Parasol, salah satu adikarya Claude Monet (1840-1936). Lukisan impresionis itu tergantung di salah satu museum. Cutter pun membuat tiruan lukisan Claude Monet tersebut sepersis-persisnya.
Pada suatu malam, dibantu ayahnya (Christopher Plummer) yang ahli mengakali instalasi keamanan, Cutter memasang lukisan tiruan itu ke pigura lukisan asli Claude Monet. Kegaduhan sempat terjadi di museum. Namun museum kembali adem ketika pihak kurator yang "teliti menyidik" menyatakan tak ada apa-apa dengan lukisan Woman with a Parasol. Oleh para kurator museum, lukisan palsu itu dianggap asli. Sedangkan lukisan asli yang dicopot dari pigura kemudian dijual sindikat kepada kolektor. Tapi apa yang terjadi? Sang kolektor ternyata menolak lukisan Claude Monet asli itu karena menganggapnya palsu. Alasannya, kolektor tahu bahwa "lukisan aslinya" masih tergantung tenang di museum!
Film besutan sutradara Philip Martin ini diputar mendahului film Big Eyes, yang juga membicarakan keruhnya bisnis seni lukis. Sementara The Forger merupakan kisah fiksi, Big Eyes berangkat dari kisah nyata. Ini cerita tentang Margaret Doris Hawkins (Amy Adams), pelukis di pasar seni San Francisco, yang bertemu dengan Walter Keane (Christoph Waltz), duda yang menjajakan lukisan realis dengan selera jalanan. Keane kemudian menjadi promotor dan dealer karya-karya Margaret. Tatkala mereka menikah, oleh Keane sehari-hari Margaret dikurung di studio dan dipaksa terus memproduksi lukisan dengan tema sentral: anak-anak jelata dengan mata amat besar, sebuah ikon seni lukis laris-manis Amerika pada 1960-an. Semua tanda tangan lukisan itu atas nama Keane. Kepopuleran Keane membubung.
Namun Margaret tidak tahan. Ia menuntut hak ciptanya. Pada 1970, Margaret mengajukan gugatan hak cipta. Di pengadilan, di depan para juri, hakim meminta Margaret dan Keane melukis. Lukisan Margaret terwujud, sementara Keane (yang memang tak mampu melukis) tidak mengerjakan apa-apa. Pada 1986, pengadilan memutuskan Keane kalah. Margaret berhak memakai namanya sendiri. Adapun semua lukisan yang sudah beredar direhabilitasi menjadi karya Margaret. Atas penyerobotan hak cipta, Walter Keane diharuskan membayar ganti rugi US$ 4 juta. Tapi, yang menarik, sejarah menulis Keane kemudian masih saja berkukuh bahwa dialah yang melukis. Sebagai pemberi ide, pemancing inspirasi, menurut dia, adalah absah hak cipta ada dalam dirinya.
Dua film di atas menawarkan dua perkara yang memiliki relevansi di jagat seni rupa Indonesia. Pertama, bagaimana peran kurator yang bermain dalam seluk-beluk lukisan imitasi. Kedua, ihwal hak cipta: apakah seseorang yang hanya menaruh ide dan inspirasi boleh mengklaim diri sebagai pelukisnya dan tanda tangannya boleh ditaruh resmi di kanvas? Sebab, di Indonesia, problem itu kini justru sedang mewujud senyata-nyatanya. Ingatkah Anda pada pameran sejumlah lukisan imitasi Sudjojono dan Hendra Gunawan di Museum OHD, Magelang, Jawa Tengah, pada 2012?
Saya melihat kasus tersebut membuat sekelompok pelaku seni (kritikus, kurator, promotor) kini lantas berusaha menggulirkan pemikiran baru yang saya sebut sebagai "wacana hak cipta". Pemikiran ini sifatnya mengarah pada pengabsahan pencantuman tanda tangan pelukis terkenal di atas lukisan karya pelukis anonim, yang wujudnya mengikuti gaya lukisan pelukis terkenal itu.
Mungkin, berangkat dari wacana itu, terbit buku Hendra Gunawan, Sang Pelukis Rakyat (Penerbit Agung Tobing & Keluarga Besar Hendra Gunawan, Jakarta, 2014). Buku luks dengan tulisan inti mengenai biografi Hendra (bukan mengenai lukisan-lukisan yang ada dalam buku itu) itu ditulis Suwarno Wisetrotomo, kritikus, kurator, dan pendidik seni dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dalam buku setebal 392 halaman itu dimuat sekitar 100 lukisan yang diklaim sebagai karya Hendra dan diklaim bertanda tangan Hendra asli.
Setelah mengamatinya dan berdiskusi dengan banyak pengamat seni lukis lain, saya berani memastikan bahwa sebagian besar atau puluhan lukisan di buku itu bukan karya Hendra (1916-1983). Saya melihat lukisan yang ada dalam buku itu adalah lukisan bergaya Hendra. Atau karya pelukis anonim yang berlabel Hendra. Mari kita pertimbangkan lukisan-lukisan dalam buku itu.
Saya ingat, dalam beberapa kali wawancara langsung dengan Hendra Gunawan sebelum 1980, Hendra selalu menekankan kepada saya bahwa ia adalah pelukis yang menggunakan bahasa visual impresionis. Penggubahan ini diberangkatkan dari pemahamannya atas lukisan-lukisan klasik Cina yang selalu menghilangkan garis-garis batas antara yang wujud dan nonwujud. Dan konsep puitisisme itu ia manifestasikan ke dalam penggambaran alam yang sering dijadikan latar belakang. Itu sebabnya, dalam karyanya, ia tidak pernah melukis gunung, batu, atau pepohonan dengan detail yang realistis. Tidak seperti yang tampak dalam lukisan Keluarga Pedagang (halaman 160), Pasar di Pinggir Pantai (168), Semangka dan Pisang (177), Menonton Arak-arakan (180), serta Penjual Dawet (183).
Di sisi lain, Hendra berpandangan, "Lukisan figuratif harus selalu bisa dibayangkan sebagai adegan yang mendadak dihentikan. Karena itu, saya selalu menggambarkan manusia yang bergerak, beringsut, bahkan berkelebat. Pun ketika figur-figur itu dalam posisi duduk. Berpuluh tahun saya mempelajari ini." Itu sebabnya Hendra mustahil mencipta jajaran figur yang cenderung kaku dan pasif seperti dalam Melasti di Pantai Saba (halaman 164), Keramaian di Pasar I (198), Berjualan di Bawah Pohon Besar (288), dan Rangda (258).
Memasuki 1970-an, warna-warna Hendra menjadi menyala. "Ini karena pengaruh lukisan Nuraeni, istri saya, yang sangat dekat dengan dunia kain cita. Kain-kain itu kuat menggenggam harmoni, membawa kelembutan, menyimpan transparansi. Tak ada benturan optik, meski warnanya sangat berani," tuturnya. Dari situ kita bisa melihat: janggal jika Hendra menggubah warna-warna yang saling menekan dan terasa berteriak di sekujur kanvasnya, bagai terlihat pada sangat banyak lukisan di buku terbitan Agung Tobing ini.
Wacana hak cipta yang hendak diabsahkan para pelaku seni di atas bisa saja menganggap bahwa sebagian lukisan bertanda tangan Hendra di buku Hendra Gunawan, Sang Pelukis Rakyat tersebut hanya merupakan bentuk penghormatan kepada reputasi Hendra. Atau penerusan gaya yang menyanjung prestasi visual Hendra, dengan mencantumkan nama Hendra.
Namun, apabila memang dimaksudkan begitu, seharusnya hal tersebut dijelaskan dalam buku. Dalam kosmologi seni rupa modern, peniruan selalu harus disertai kode yang menjelaskan. Misalnya kode attribute (berasal dari) atau homage (penghormatan). Maka yang tertulis di kanvas semestinya adalah Attribute Hendra atau Homage to Hendra. Sebagai catatan, tentu harga lukisan berlabel attribute dan homage jauh lebih murah daripada lukisan pelukis yang dijunjungnya. Di pasar seni dunia, harga lukisan jenis itu hanyalah seperdua ratus dari lukisan aslinya.
Saya menduga-duga mengapa kurator lukisan buku ini (Nuraeni Hendra Gunawan, Rosta Vistara, Dadang Nurhendra, Tatang Kusna) lupa mencantumkan kode-kode itu. Saya juga menduga-duga mengapa Agung Tobing selaku penerbit dan kolektor yang memiliki lukisan-lukisan Hendra yang dimuat di buku itu membiarkan kealpaan tersebut. Semoga itu hanya kesalahan manusiawi.
Agus Dermawan T. Penulis buku Hendra Gunawan, A Great Modern Indonesian Painter
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo