Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang pemburu dengan senapan mengingatkan kematian Jumena. Jumena, yang biasanya dalam pementasan teater adalah sosok orang tua uzur yang adegannya lebih banyak duduk di kursi, sering meludah di tempolong, dan halusinasinya ke mana-mana, pada pementasan Gardanalla, Yogya, tampak agak "sehat". Sebagai sosok yang tengah sakit kronis, ia terlihat sering mondar-mandir.
Tak jauh dari kursinya, sebuah peti mati menempel di dinding. Di atas peti itu ada sebuah frame lukisan yang bolong. Dari situlah keluar-masuk sang pemburu dan "penglihatan-penglihatan" Jumena lainnya. Di atas peti mati tersebut, Jumena (dimainkan Kusen) larut dalam baku dialog. Jumena mengira ia telah mati 20 tahun yang lalu.
"Kau telah mati sejak kau mengira kau akan mati," ujar sang pemburu membalas.
Naskah Arifin C. Noer dikenal banyak menyajikan dua realitas: realitas halusinasi atau batiniah yang ada dalam kecamuk benak tokohnya dan realitas sebenarnya sang tokoh. Sumur tanpa Dasar, misalnya, menampilkan Jumena, juragan kikir yang terombang-ambing antara dunia nyata dan khayalannya. Ia selalu merasa diikuti pemburu alias malaikat pencabut nyawa. Sutradara yang berhasil dengan baik mengeksekusi naskah Arifin akan bisa membawa penonton ulang-alik antara dunia riil dan "delusi" tokoh-tokohnya. Tantangan terbesar sutradara adalah menyajikan ketegangan di antara dua realitas itu.
Adalah menarik mengamati Sumur tanpa Dasar, Mega-mega, Kocak-kacik, dan Kapai-kapai yang dipentaskan di Salihara. Keempat naskah itu mengandung unsur konflik halusinasi dan realitas tersebut. Mega-mega yang paling sederhana. Naskah ini berkisah tentang gembel-gembel di bawah pohon beringin Alun-alun Utara Yogya. Koyal, seorang penganggur yang gila lotre, suatu hari nyaris kaya. Ia membeli lotre yang nomornya meleset hanya satu angka paling belakang. Malam hari, ia hanyut dalam khayalan menjadi jutawan. Dan khayalannya diterima oleh Retno, pelacur murahan; Ma'e, gelandangan yang menjadi ibu angkatnya; penganggur bernama Hamung; dan preman Tukijan. Meskipun tahu itu semua hanya khayalan Koyal, mereka larut.
Teater Institut Kesenian Jakarta mampu menghadirkan secara jelas bagaimana para gelandangan itu mengaburkan antara mimpi dan kenyataan. Rini Samsi bermain cukup kuat sebagai pelacur. Juga Banon Gautama sebagai Koyal. "Kami mempertahankan bentuk pementasan sesuai dengan aslinya," kata sutradara Mega-mega, Bejo Sulaktono, dosen Institut Kesenian Jakarta. Bagian cukup mengharukan adalah tatkala mereka semua mengikuti Koyal pergi mengambil uang di bank, berpura-pura makan nasi ayam di pasar, juga membeli keraton dan segala isinya. Adegan ini terasa menggetirkan dan menggigit. Kita melihat berkhayal bagi orang kecil adalah satu-satunya kemewahan sekaligus eskapisme.
Akan halnya saat Kocak-kacik diadaptasi Bengkel Mime Theatre, Yogya, kekayaan imajinasi naskah ini menjadi tak kentara. Kocak-kacik bercerita tentang perjalanan Darim mencari Darim atau perjalanan Darim mencari dirinya sendiri. Darim muak melihat realitas. Perjalanan Darim meloncat dari ruang kelas, ruang pengadilan, sampai hutan, menembus ruang waktu. Seorang sutradara yang kreatif bisa menjadikan properti sederhana sebagai imaji berbagai macam lokasi. Potensi munculnya adegan serupa pantomim sendiri kuat sekali dalam naskah karena struktur dramaturgi seperti pengadeganan teater dolanan.
Bengkel Mime, yang disutradarai Andreas Ari Dwianto, dengan hanya bahasa tubuh mulanya menampilkan seseorang dengan sosok berkoper seperti tengah berangkat dari stasiun atau apa. Seterusnya, gerak tubuh dan "koreografi" mengeksplorasi koper ini. Apabila pementasan tidak diberi tajuk adaptasi Kocak-kacik, tentu susah dimengerti mereka memainkan lakon Arifin. Pada bagian terakhir, para aktor dengan posisi meringkuk membungkus seluruh tubuh mereka dengan kresek hitam. Dan kemudian, seperti telur menetas, kepala mereka muncul merobek kresek. Baru terasa, itu inspirasinya mungkin dari bagian Kocak-kacik saat Darim mengkritik penyeragaman di dunia pendidikan.
Sedangkan adegan halusinasi di Sumur tanpa Dasar terasa saat Jumena dipenuhi praduga buruk bahwa Euis, istrinya, yang masih sangat muda, berselingkuh dengan adik angkatnya, Marjuki. Oleh sutradara Joned Suryatmoko, sosok Euis dalam khayalan Jumena dimunculkan dengan rambut tergerai, sementara Euis asli muncul dengan rambut berkuncir. Tapi perbedaan karakter keduanya kurang muncul. Baru adegan Euis bersetubuh dengan Marjuki, Markaba, dan Lodod dalam berbagai gaya di peti mati bisa menunjukkan itu delusi Jumena.
Joned Suryatmoko melihat umumnya pementasan Sumur tanpa Dasar menekankan tokoh Jumena. "Makanya yang memainkan tokoh ini sebelumnya selalu bintang, seperti Ikranagara," ujarnya. Joned memutuskan lebih memfokuskan relasi antartokoh. Tapi ia memangkas adegan Sabaruddin, yang dalam naskah aslinya "penasihat spiritual" Jumena dan sosok kuat di luar Jumena. Adegan Sabaruddin, menurut dia, terlalu banyak diisi dengan petuah agama yang klise.
Yang unik adalah saduran Kapai-kapai oleh Kalanari Theatre Movement, Yogya, ke dalam bahasa Jawa. Mereka memilih pentas di teater atap terbuka Salihara. Naskah Kapai-kapai adalah naskah yang paling menyajikan kelindan antara realitas dan ilusi. Tokohnya bernama Abu, seorang buruh kecil, yang ditindas majikannya. Dalam naskah aslinya ada tokoh Emak, yang sesungguhnya sosok yang hanya ada dalam benaknya. Emak membuai Abu melakukan perjalanan mencari cermin tipu daya yang dikatakan bisa mengubah hidupnya. Jika tangkas, pementasan akan mampu membuat penonton mengikuti permainan lapis-lapis "nyata" dan "tak nyata" yang dibuat Arifin.
Oleh Teater Kalanari, sosok Emak diganti menjadi sosok Dalang. Mulanya dalam bahasa Jawa kromo, sang Dalang menceritakan kehebatan Pangeran Damar Sandi Broto dan mustikanya, Koco Tipu Doyo. Abu terkesima. Ia meminta restu Ki Dalang untuk berangkat mencari ajimat tersebut. Ki Dalang memanggil dua kaki tangannya, Bulan dan Yang Kelam. "Jaga Abu, jangan sampai ia terbangun dari mimpinya." Teriakan Iyem, istri Abu, sempat mengembalikan Abu ke dunia nyata. Namun Ki Dalang kembali mendatanginya, membuai Abu dengan kereta kencana megah untuk menemani pencarian Koco Tipu Doyo.
"Pemain saya berasal dari kelompok tradisional, yang dikenalkan dengan teater modern," ujar Ibed Surgana Yuga, sutradara pertunjukan. Ibed mengarahkan para pemainnya, yang banyak berasal dari Sanggar Bangun Budaya Komunitas Lima gunung, Magelang, agar tidak melakoni perannya berdasarkan hafalan naskah, tapi berimprovisasi berdasarkan pemahaman naskah.
Mungkin, dalam bahasa Jawa, keluar-masuk antara "halusinasi" dan realitas bisa tergambar lebih sublim. Persoalannya, seluruh adegan disajikan Ibed seperti dongeng. Ia memang menyebutkan sengaja tidak memberi batasan yang jelas antara khayalan dan dunia nyata. "Aku ingin melihat ini melalui cara pandang Abu. Di kepalanya tidak ada bedanya, bahkan mimpi sampai bocor dalam kenyataan," katanya.
Yang berhasil justru keberanian Kalanari melakukan eksplorasi ruang. Memanfaatkan arsitek gedung Salihara, mereka membuat kejutan-kejutan blocking. Aktor-aktor muncul di berbagai atap bangunan Salihara. Tiba-tiba muncul seorang ustad yang menceramahi Abu di atap atas gedung Salihara yang berbeda dengan tempat bermain. Lalu ada adegan Abu dan istrinya, Iyem, menaiki tangga gedung lain itu dan berlari di atas atap gedung satunya lagi. Sesungguhnya, apabila pementasan ini tetap mempertahankan perjalanan Abu mencari cermin sakti tersebut sebagai perjalanan batin, bukan fisik, adegan bergerak dari gedung ke gedung itu makin bermakna.
Seno Joko Suyono, Ratnaning Asih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo