Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam berbahasa, kita menjelaskan atau membuat rincian agar sesuatu yang kita sebut sebelumnya terurai dan menemukan batasan-batasannya. Dengan begitu, pokok soal yang kita bicarakan bisa menjadi jelas dan orang yang kita ajak bicara bisa terhindar dari salah paham. Misalnya kalimat Anak Pak Murad ada dua, yaitu Rika dan Burhan. Dengan partikel atau kata penghubung yaitu, kita menegaskan sekaligus membatasi bahwa anak Pak Burhan terdiri atas Rika dan Burhan, bukan Ruri dan Bardi.
Di masa lalu, kita menggunakan bentukan iaitu—sebagaimana kata ini masih digunakan dalam bahasa Malaysia hingga hari ini. Misalnya dalam cerita Tjerita Rossina, F.D.J. Pangemanann menulis, "Pada soewatoe hari di waktoe soreh, sesoedahnja toean Kramer pergi pareksa orang-orang sakit di kota, maka istrinja, njonja Kramer, sedeng doedoek minoem kopi dengan nona Annie Kramer, iaitoe anaknja toean Kramer."
Perubahan dari iaitu menjadi yaitu dicatat, setidaknya, oleh dua kamus bahasa Indonesia yang paling awal karangan E. St. Harahap dan W.J.S. Poerwadarminta. Poerwadarminta menjelaskan bahwa kata ia mengandung makna penegasan "ya" dan "ya" sebagai lawan bukan. Jika diurai, iaitu menjadi ia + itu. Demi kemulusan pelafalan, dalam penggabungan ini vokal i telah berubah menjadi bunyi antara y: ya + itu = yaitu.
Sebenarnya, ada perbedaan makna yaitu pada contoh kalimat pertama dan yang kedua. Pada yang kalimat Pangemanann, kata ia dalam iaitoe adalah kata ganti orang ketiga tunggal (Annie Kramer), sementara ia dalam yaitu Rika dan Burhan bermakna jamak (Rika dan Burhan), sepadan dengan mereka—berbeda pula makna frasa ya itu tadi.... Kandungan makna jamak pada pronomina ia ini sudah ditegaskan oleh E. St. Harahap dalam Kamus Indonesia yang ditulis pertama kali pada 1942.
Kenapa bisa begitu? Sekali lagi, ini adalah pengaruh ragam bahasa cakapan atau bahasa daerah. Dalam percakapan, keabsahan tata bahasa tidak terlalu penting, yang jauh lebih penting adalah pihak yang kita ajak berbicara memahami omongan kita. Dalam bahasa Melayu Betawi, misalnya, kata kita bisa bermakna "saya", sehingga untuk padanan pronomina kami digunakan bentukan kita-kita. Sedangkan dalam tulisan akademis tidak jarang kita temukan penggunaan kata kami untuk menunjuk penulisnya sebagai pribadi—bahkan, lingkaran kecil penulis di Jakarta menggunakan kata kami sebagai pengganti saya atau aku.
Prinsipnya: yang tunggal adalah juga yang jamak, atau sebaliknya. Prinsip ini sebenarnya warisan Kitab Suci. "Namaku Legion, karena kami banyak" (Markus 5:9).
Hal lain yang menyangkut yaitu adalah kesejajarannya dengan yakni. Kesejajaran ini menimbulkan dugaan bahwa proses morfofonemik keduanya sama. Menurut Poerwadarminta, yakni diturunkan dari gabungan ya ini, sebagaimana yaitu diturunkan dari ya itu. Sedangkan Sutan Mohammad Zain dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia (1950-an) mendaftar kata yakni sebagai serapan dari ya'nî (Arab)—sebagaimana Russell Jones dalam Loan-Words in Indonesian and Malay (2008)—yang bermakna "yaitu". Pendapat Sutan Muhammad Zain dan Russell Jones terlihat lebih masuk akal ketimbang pendapat Poerwadarminta.
Meskipun bertugas menjelaskan atau merinci sesuatu, yaitu dan yakni punya jangkauan terbatas. Sekarang ini malah keduanya bisa digantikan dengan titik dua (:). Untuk penjelasan atau rincian yang agak banyak, kita biasanya menggunakan frasa antara lain dan di antaranya. Selain berfungsi untuk menguraikan, dua frasa ini berguna untuk membatasi rincian yang kelewat banyak. Dalam sebuah tulisan tentang jumlah pameran lukisan yang cukup banyak dari seorang pelukis, misalnya, kita bisa menggunakan antara lain dan di antaranya seraya memillih tiga-empat pamerannya yang paling representatif.
Sementara itu, ada pula penjelasan atau rincian yang menggunakan kata ialah dan adalah. Sebagai padanan yaitu, ialah memiliki kecenderungan yang sama. Kata yang diserap dari pronomina orang ketiga tunggal ini juga bisa bermakna jamak. Hanya, kita sering pula keliru dan menyangka ialah berkerabat dengan adalah. Meski adalah berfungsi menerangkan kata di depannya, ia tidak berfungsi untuk merincinya. Maknanya lebih kepada "identik dengan", "sama maknanya dengan", "termasuk". Kelas kata mereka pun berbeda. Ialah termasuk partikel, adalah tergolong verba.
Berbeda dengan yaitu atau yakni, adalah berfungsi bukan hanya untuk menjelaskan sesuatu yang berada di depannya, ia juga mengunci atau merahasiakan sesuatu. Misalnya, jika seorang penulis ditanya oleh temannya Sedang menulis apa kau sekarang?, untuk tidak banyak omong atau merahasiakan yang sedang ditulisnya ia bisa menjawab: Adalah. Namun, sekarang ini, pertanyaan itu bisa dibalas dengan pertanyaan lain: Mau tahu aja apa mau tahu banget? l
Zen Hae Penyair, kritikus sastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo