Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Kisah di Balik Lukisan Bernama Rini

Presiden Sukarno melukis figur perempuan misterius. Meneruskan sketsa mentah pelukis Dullah.

8 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang perempuan diabadikan dalam lukisan oleh usapan kuas Sukarno. Presiden pertama Indonesia itu tak hanya mampu menundukkan begitu banyak perempuan untuk dijadikan istri dan kekasihnya, tapi juga mampu membuat sebuah imaji bernama Rini di atas kanvas berukuran 50 x 70 sentimeter, yang hingga kini masih menjadi misteri bagi mereka yang pernah menyaksikannya. Lukisan yang selama ini tersimpan di Istana Bogor itu menjadi bagian dari pameran lukisan koleksi istana kepresidenan yang diselenggarakan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, hingga akhir bulan ini.

Lukisan itu menggambarkan perempuan berkebaya panjang hijau daun dan berkain batik. Rambut yang disanggul dengan hiasan bunga kecil di belakang telinga dengan posisi duduk menyamping, perempuan ini dilukiskan meletakkan kedua tangannya di pangkuan, berhidung mancung dan berbibir merah. Dengan tanda tangan Sukarno dan tahun 1958 yang tertera pada kiri atas lukisan tersebut, tentu saja pengunjung ingin mengetahui siapa gerangan perempuan yang dilukis itu. "Rini". Itu saja.

Dalam pameran ini, lukisan Rini yang berpigura putih ini diletakkan satu ruangan dengan lukisan Raden Saleh, Penangkapan Pangeran Diponegoro, dan lukisan S. Su­djojono, Kawan-kawan Revolusi. Tapi, di Istana Bogor, lukisan Rini tak pernah berpindah dari ruang kerja presiden. Siapa perempuan dalam lukisan Putra Sang Fajar ini? "Sampai hari ini belum diketahui siapa perempuan bernama Rini atau model lukisan ini. Saya lebih senang menyebutnya sebagai hasil imajinasi Bung Karno tentang perempuan Indonesia," ujar kurator pameran, Mikke Susanto, kepada Tempo.

Mikke menyebutkan imaji perempuan Indonesia dengan berpakaian kebaya, jarik batik dengan posisi duduk tampak samping, mengesankan gerak tubuh perempuan yang sopan dan baik. Sebuah posisi yang tengah menunggu. Boleh jadi perempuan dalam lukisan itu adalah implementasi figur Sarinah, pengasuh yang dianggap penting membesarkan Sukarno.

Dalam hal tema, menurut Mikke, mungkin bukanlah hal yang istimewa. Tapi lukisan ini menjadi amat penting karena merupakan salah satu karya Bung Karno yang masih terawat. Lukisan ini diletakkan di ruang kerja presiden di Istana Bogor, tempat yang paling disukainya.

Mengutip dari buku koleksi lukisan Sukarno (Edisi Dullah, 1958), Mikke menuturkan sejarah lukisan ini. Rupanya, pelukis Dullah yang menjadi saksi atas lukisan ini. Saat itu Bung Karno pergi beristirahat di Bali. Dullah, pelukis Istana, diajaknya. Seperti biasanya, di Bali, Dullah mencoba membuat lukisan. "Yang dibuat baru garis sketsa, garis cengkorongan yang belum berarti, tidak detail," ujar Mikke. Dullah pulang ke Jakarta dan sketsa itu lalu ditinggalkan, tak dikerjakan lagi.

Memasuki Desember 1958, Bung Karno kembali ke Bali dan beristirahat selama sepuluh hari. Tapi kali ini Dullah tak ikut. Ternyata selama itu Bung Karno melukis dan menyelesaikan sketsa yang dibuat Dullah hingga menjadi lukisan yang dipamerkan tersebut. "Tentu saja banyak perubahan dan tambahan dari sketsa semula," ujar Mikke.

Dari sketsa Dullah itu, Bung Karno meneruskannya dengan goresan kuas dengan cat minyak. Jadilah lukisan dengan dua goresan tangan milik Dullah untuk sketsa dan lukisan karya Sukarno. Mikke memuji lukisan tersebut. "Untuk ukuran amatir, lukisan ini tergolong sesuai dengan anatomi dan memberi kedalaman yang baik," ujar pengajar di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta ini.

Lukisan karya Sukarno ini, kata dia, boleh dikatakan di atas rata-rata. Membuat anatomi tubuh perempuan dengan posisi seperti itu tidak mudah. Profil perempuan itu digambar dalam posisi menyamping atau posisi tiga perempat. Belum lagi tangan dan jari-jarinya yang di atas paha dan agak menyilang ke kanan.

"Warna cokelat dan efek cahaya seperti ini juga sulit," ujarnya. Dari segi pewarnaan, Sukarno memilih hijau, sepia, cokelat, dan hitam yang dikatakan cukup harmonis. Lukisan ini salah satunya lukisan karya Sukarno di istana kepresidenan dan masih terpelihara baik. Sedangkan lukisan Sukarno di rumah pengasingannya di Ende kurang terpelihara.

Mikke menjelaskan, lukisan Rini dikerjakan saat Bung Karno sibuk setelah pembangunan Istana Tampaksiring, Bali. Pembangunan istana itu dikerjakan pada 1956-1958. Bung Karno kerap bolak-balik ke Bali sekadar beristirahat atau menengok pembangunan istana tersebut. Di tengah suasana santai itulah Bung Karno melukis Rini, yang hingga kini belum jelas apakah sosok itu memang benar ada atau hanya imajinasi Sukarno.

Dari penelitian yang dilakukan Mikke, sejak 1926 Sukarno mulai melukis sebesar lukisan seukuran kertas HVS menggunakan cat air. Tatkala diasingkan ke Ende pada 1932, Sukarno melukis dari uang hasil pemberian Belanda. Sukarno memesan cat air atau cat minyak dari para pelaut atau awak kapal yang berlabuh di Ende. Dia membuat tujuh lembar karya lukisan cat dan beberapa karikatur. DIAN YULIASTUTI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus