Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengakhiri Pemingitan Karya Seni–untuk Sementara

KOLEKSI lukisan istana kepresidenan dibuka ke masyarakat, sebagaimana dicita-citakan oleh Bung Karno, presiden yang mencintai seni. Diusulkan oleh Presiden Joko Widodo sejak tahun lalu, dengan kepercayaan bahwa rakyat sebetulnya ikut memiliki istana seisinya. Ada lukisan Henk Ngantung yang rusak berat, ada lukisan asli karya Bung Karno.

8 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARAPAN Sukarno sejak ia menjadi presiden pada 1945, bisa jadi malah sejak ia mulai mengumpulkan lukisan pada zaman Belanda, tak mudah terwujud. Yang disebut "Museum Nasional Seni Rupa Indonesia" sampai hari ini hanya angan-angan. Sementara itu, pencinta seni ini terus membeli atau mendapat hadiah lukisan. Di samping memakai uang pribadi, Sukarno menggunakan duit pemerintah untuk membeli lukisan yang disukainya atau dipandangnya penting dikoleksi. Lukisan-lukisan itu kemudian menghiasi dinding istana kepresidenan di Jakarta, Bogor, Cipanas, Tampaksiring, dan Yogyakarta. Namun Presiden Sukarno tegas membedakan milik pribadi dan milik negara. Menurut Guntur Sukarnoputra kepada Kompas, pada bagian belakang lukisan yang dibeli dari uang pribadi dituliskan "Milik Ir. Sukarno".

Walhasil, koleksi itu menjadi seperti yang umumnya dialami lukisan yang masuk ke rumah kolektor: terpingitkan dari publik. Salah satu sebab, istana kepresidenan Indonesia belum menjadi ruang publik yang bisa dikunjungi siapa saja. Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah dicoba membuka Istana Merdeka dan Istana Negara untuk kunjungan wisatawan pada akhir pekan. Satu-dua kali dilaksanakan, kemudian tak terdengar lagi kelanjutannya. Yang sering terjadi, satu-dua lukisan koleksi istana kepresidenan dipinjam untuk suatu pameran.

Sebetulnya, tahun lalu, dalam kaitan dengan peringatan Proklamasi Kemerdekaan juga, Presiden Joko Widodo meminta penyelenggaraan pameran seni rupa koleksi istana. Tapi, karena keterbatasan waktu (Presiden menyampaikan gagasannya baru pada sekitar Maret 2015), pihak yang diminta, Sekretariat Negara, yang membawahkan koleksi seni istana, mengusulkan pameran itu diselenggarakan tahun berikutnya, yakni pada 2016 kini.

Sekretariat Negara menepati janji. Selama sebulan pada Agustus ini, masyarakat bisa menyaksikan yang selama ini lebih banyak diomongkan daripada disaksikan. Misalnya lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh, pelukis Indonesia pertama yang sukses mempelajari cara melukis seperti "Barat". Lukisan ini diselesaikan Raden Saleh pada 1857, 27 tahun setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, dan perang pun usai.

Ada suasana campur aduk di kanvas sekitar 110 x 180 sentimeter itu. Para prajurit menunggu aba-aba Sang Pangeran, pemimpin yang sedang menatap Jenderal De Kock, musuhnya, yang dipercaya berniat baik tapi ternyata memperdaya. Dan sesungguhnya ada perdebatan panjang, baik seperti yang diceritakan di Babad Diponegoro maupun catatan pihak Belanda yang merekam gagasan dan sikap Jenderal De Kock, panglima tentara Belanda itu (lihat Dr Peter Carey, Asal-usul Perang Jawa, LKiS, Yogyakarta, 2001). Misalnya, Pangeran Diponegoro menyatakan ia lebih baik dibunuh saat itu daripada dibuang. De Kock menolak karena membayangkan akan muncul masalah yang tidak kecil bila ia membunuh musuhnya dalam pertemuan yang resminya adalah perundingan.

Raden Saleh baru melukis karya ini setelah pulang dari Eropa, dan setelah mencari penjelasan dari banyak orang tentang penangkapan Diponegoro yang masih kerabatnya itu. Dengan demikian lukisan ini bukan semata cetusan emosi seorang Jawa yang tersinggung karena seorang pelukis Belanda, Nicholaas Pinemaan, melukiskan peristiwa itu sebagai penyerahan diri Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock. Sebelum melukis karya besar ini, Raden Saleh melakukan riset. Dan saya bayangkan Raden Saleh mendapatkan penjelasan tentang debat antara Diponegoro dan De Kock.

Kebetulan atau tidak, Penangkapan Diponegoro pada hemat saya adalah salah satu contoh koleksi istana yang diharapkan oleh Presiden Jokowi yang disampaikannya dalam pembukaan pameran ini. Lebih daripada Presiden Sukarno, Presiden Jokowi melihat lukisan bukan hanya untuk memperoleh "keindahan dan ketenangan". Kita, kata Presiden, "… Bisa memetik nilai-nilai keutamaan, nilai-nilai kejuangan, nilai-nilai persatuan… dan membangun imajinasi yang indah tentang bangsa Indonesia, tentang tumpah darah Indonesia… tentang peradaban kita."

Pameran ini juga menyuguhkan beberapa lukisan yang diciptakan karena permintaan Presiden Sukarno pada masa awal-awal kemerdekaan. Di Yogyakarta, pada 1946, Presiden mengundang beberapa pelukis dan meminta mereka melukis tokoh pergerakan kemerdekaan. Lahirlah lukisan Potret H.O.S. Tjokroaminoto, oleh Affandi. Seorang lelaki separuh baya, berkumis, berjas takwa (jas dengan kerah menutup leher), bersarung, duduk dengan kaki kanan bertopang pada paha kiri. Ekspresi wajah keras, sepertinya lelaki ini tak mengenal takut. Dialah guru bangsa, orang yang menganjurkan calon pemimpin harus bisa menulis seperti wartawan dan bicara seperti ahli pidato. Sukarno, Semaun, Tan Malaka, dan Musso adalah beberapa di antara muridnya. Tampaknya tokoh inilah yang membuat Affandi, yang sulit melukis tanpa dorongan dari dalam, berhasil membangun empati dalam dirinya terhadap ketua Sarekat Dagang Islam yang kemudian mengubah organisasi dagang ini menjadi Sarekat Islam dan meluaskan geraknya, masuk ke politik. Affandi tak melukiskan Tjokroaminoto dalam bentuk realistis, melainkan lebih ekspresif menurut perkembangan gaya Affandi pada pertengahan 1940-an itu. Kala itu ia sudah menerapkan "temuan"-nya melukis langsung memelototkan dari tube, tapi belum total.

Hasil lain permintaan Bung Karno adalah Potret R.A. Kartini karya Trubus Sudarsono. Pada usia 20-an tahun, Trubus menciptakan sebuah lukisan potret yang utuh: bagi saya, sulit memisahkan wajah dan torso yang dibalut baju kebaya Jawa hijau tua dan hamparan sawah dengan rumah-rumah nun jauh di sana. Trubus mengelak dari "klise"; ia tak menaruh kesan simbol feodal di latar Raden Ajeng ini, juga tak melukiskan, misalnya, gambaran perjuangan emansipasi yang dipelopori oleh Kartini. Trubus melihat Kartini sebagai tokoh kerakyatan. Perlu catatan samping untuk ini: inilah untuk kedua kalinya (setelah lukisan Djoko Pekik diikutsertakan dalam pameran lukisan negara-negara Nonblok di gedung yang sama pada 1994, yang diselenggarakan oleh Sekretariat Negara juga) karya anggota Lekra, organisasi yang dilarang pemerintahan Soeharto, karena dianggap organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia, dipamerkan atas nama pemerintah.

Dalam pameran Nonblok tak ada protes, mungkin karena banyak tamu mancanegara, dan protes bisa mengacaukan acara; dalam pameran koleksi istana kini suasana terasa sudah berubah: pemerintah di bawah Jokowi lebih mempertimbangkan segalanya dari segala segi. Trubus tak ketahuan rimbanya setelah 1965.

Dari sisi perjuangan fisik, empat lukisan Sudjojono (Sekko, Markas Laskar di Bekas Gudang Beras Tjikampek, Kawan-kawan Revolusi, dan Mengungsi) mewakili karya yang menggambarkan masa itu. Selain mengungkapkan masa yang senimannya mengalami dan menghayati peristiwa-peristiwa revolusi tersebut, keempatnya mencerminkan "filosofi" yang diyakininya: bahwa lukisan adalah jiwa tampak. Watak dan suasana perjuangan terasakan dari keempatnya. Sekko, misalnya, melukiskan keberanian seorang gerilyawan yang menjalankan tugas pengintaian sebelum teman-temannya masuk menyerbu. "Sekko" adalah bahasa Jepang yang artinya pengintai atau mata-mata.

Tajuk pameran ini "Goresan Juang Kemerdekaan". Tampaknya perjuangan dimaknai secara luas, bukan hanya perjuangan fisik atau bersenjata di garis depan, melainkan juga suasana di garis belakang: gambaran hidup masyarakat sehari-hari. Maka ada Ketoprak karya Surono, Biografi II lukisan Harijadi Sumadidjaja. Lukisan bertarikh 1950 ini bisa dianggap saksi nyata bahwa Republik yang sudah atau baru berusia lima tahun memang merupakan dambaan rakyat: rumah pertunjukan itu dihiasi dengan Merah Putih sepanjang garis atap—yang menurut hemat saya mendominasi keseluruhan kanvas. Dan ini bukan pertunjukan kampanye partai yang gratis, melainkan tontonan yang memungut karcis.

Tak percuma bila Surono adalah anggota Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi), organisasi perupa pertama yang memakai kata "Indonesia". Dan menyimak gagasan dan kredo organisasi yang ditulis oleh Sudjojono, tak salah kalau Persagi, didirikan pada 1937 (ada yang bilang 1938), menjadi tonggak lahirnya seni lukis modern Indonesia. Karya-karya anggota Persagi tak hanya mengibarkan perjuangan untuk merdeka, tapi juga merintis jalan menuju seni lukis masa depan. "Kami tahu ke mana seni lukis Indonesia akan kami bawa," tulis Sudjojono dalam salah satu artikelnya di masa perjuangan itu. Sebab, seni lukis yang populer kala itu, pemandangan yang nyaman dan aman tenteram, dalam konteks suasana kala itu, tampaknya memang tak mencerminkan masa depan: suatu semangat yang menolak keluar dari dunia aman tenteram, sekadar lukisan "Hindia Molek" sebut Sudjojono.

Karena inilah sebuah karya Su­djojono dari 1939, Depan Kelambu Terbuka, disertakan dalam pameran ini. Selain lukisan ini mewakili goresan Sudjojono yang menolak "Hindia Molek", karya ini dianggap tinggal satu-satunya yang mewakili karya awal yang mendasari perkembangan lukisan Sudjojono kemudian, karena karya-karya semasa Depan Kelambu itu lebur dibom Belanda pada agresi kedua di daerah Yogyakarta, 1948.

Dan Biografi Malioboro II bertahun 1949 itu? Sebuah karya yang mensugestikan suasana mimpi, adegan-adegan yang tidak sehari-hari, katakanlah suasana surealistis? Secara harfiah memang bisa digolongkan lukisan "perjuangan": tampak seorang lelaki dengan seragam tentara, lengkap dengan pistol di pinggang. Bisa saja lukisan ini menggambarkan suasana kala itu, suasana ketika banyak gagasan bertubrukan, dalam suasana yang tidak terorganisasi. Lihat saja, ada deretan orang berjalan ke arah kanan, ada yang ke kiri, beberapa figur jumpalitan; secara keseluruhan karya ini bernada tidak cerah, komposisi yang ribut, tapi goresan yang tegas, bentuk yang pasti menyiratkan optimisme. Inilah, mungkin, suasana masyarakat di sebuah negara muda yang lahir dari revolusi fisik, sebuah kemerdekaan yang tidak mudah.

Sampai di sini, 28 lukisan yang dipamerkan, yang konon diseleksi dari 800 karya pilihan dari ribuan lukisan koleksi istana, menurut hemat saya belum cukup mewakili semangat "juang" yang tersimpan di kanvas-kanvas yang konon sebagian besar adalah pilihan Bung Karno pribadi.

Satu per satu karya bisa bermakna, sebagaimana sudah dipaparkan, yaitu karya-karya yang mewakili zaman dan tetap komunikatif di tengah bahasa rupa yang serasa sudah tak lagi punya batas cakrawala. Umpamanya Sekko, Potret H.O.S. Tjokroaminoto, Ketoprak, Penangkapan Pangeran Diponegoro, Mengungsi, Biografi Malioboro II—seperti sudah diceritakan. Juga Kerokan karya Hendra Gunawan, Pantai Karangbolong (Mahjuddin), dan Persiapan Gerilya (Dullah). Sayang, Memanah Henk Ngantung rusak. Upaya mengopi lukisan ini, yang dilakukan oleh Haris Purnomo, menurut saya, hasilnya kurang: rasa kopian Haris terasa ampang. Atau karya Henk memang terasa ampang?

Walhasil, inilah upaya pertama dalam rentang waktu 71 tahun sejak koleksi itu masuk istana. Sebagian masyarakat, yang sempat memiliki buku koleksi Bung Karno, atau mereka yang pernah melihat-lihat buku itu (ada edisi terbitan di masa kurator istana adalah Dullah, ada edisi ketika kurator istana adalah Lee Man Fong), kini berpeluang melihat karya aslinya, bukan hanya reproduksinya. Bagaimanapun, sebuah reproduksi lukisan sekadar tanda bahwa ada aslinya. Karena itu, Bung Karno mencita-citakan sebuah museum, dan sebelum museum itu ada entah kapan, pameran seperti ini boleh dianggap sebuah museum sementara.

Bagaimanapun, dua kurator pameran, Mikke Susanto dan Rizky Zaelani, telah mengawali dibukanya harta "spiritual" istana, meski dengan penyajian masih apa adanya: karya-karya dipasang seperti sekadar mengisi dinding Galeri Nasional Indonesia. Ini masalah pengaturan pameran, masalah art exhibition organizer, yang di Indonesia tampaknya baru terasa ada di pameran ­ArtJog, Yogyakarta. Tanpa pengaturan itu, dalam pameran bertajuk "17/71: Goresan Juang Kemerdekaan" ini misalnya, terasa dipaksakan kehadiran karya yang tak langsung berpaut dengan "goresan juang" meskipun pelukisnya pernah menghasilkan karya-karya seperti itu, misalnya Srihadi Soedarsono, tapi karya yang "juang" itu tak ada dalam koleksi istana. Terlebih lagi, saya terkaget-kaget, kok mendadak kita masuk ke ruang pameran yang menyajikan sejumlah foto dan keramik yang jauh kaitannya dengan 28 lukisan yang dipajang. BAMBANG BUJONO, Pemerhati Seni Rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus