Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Upaya Menghidupkan Karya Henk Ngantung

Lukisan rusak Henk Ngantung dilukis ulang. Haris Purnomo kesulitan mengenali goresan Henk Ngantung karena parahnya kerusakan.

8 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah lukisan Henk Ngantung tampak kusam dan menyedihkan. Lukisan berjudul Memanah itu memperlihatkan seorang pria bertubuh tegap yang sedang memanah dengan latar belakang beberapa pria lain. Meski lukisan itu diletakkan di dalam sebuah kotak kaca, betapa mudah pengunjung melihat kerusakannya. Di bagian kanan atas hingga tengah terlihat jejak pesta-pora rayap.

Di sebelah kotak kaca itu, pada dinding, terlihat sebuah reproduksi lukisan Memanah oleh Haris Purnomo, yang berupaya membuat lukisan rusak itu menjadi hidup dan lebih cemerlang. Di tangan Haris, tubuh pemanah itu terlihat lebih ramping. Adapun untuk warna bibir pria pada lukisan Henk yang berwarna merah, Haris membiarkan sedikit pucat, senada dengan warna kulit.

Kedua lukisan itu, asli dan reproduksi, bersanding menjadi bagian dari pameran di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, yang tengah memamerkan lukisan koleksi istana kepresidenan. Tentu saja tak mudah mewujudkan kembali lukisan karya Henk Ngantung.

Semua berawal ketika kurator pameran koleksi istana kepresidenan Mikke Susanto meminta Haris Purnomo melaksanakan tugas berat itu. Sebelum Ramadan lalu, Mikke mengajak Haris ke Istana Bogor untuk melihat lukisan Memanah karya Henk Ngantung di ruangan penyimpanan lukisan. Haris tertegun mengamati lukisan yang digelar di lantai ruangan.

"Mas Haris diam saja, tapi wajahnya terlihat seperti orang bingung, karena dia mendapat tanggung jawab yang besar untuk mereproduksi lukisan yang rusak itu," ujar Mikke kepada Tempo.

Lukisan itu awalnya diletakkan dalam posisi tidur, dialasi tripleks, karena kondisinya yang rapuh dimakan usia dan rayap. Lukisan dengan material kayu itu selama ini dibungkus dengan plastik untuk melindunginya dari debu, sinar matahari, dan rayap.

Dalam buku Koleksi Lukisan Sukarno, lukisan berjudul Memanah terlihat cemerlang. Lukisan itu memperlihatkan seorang laki-laki dengan sorot mata tajam, rambut hitam pendek dan tebal, kulit badan kekuningan, gagah bertelanjang dada, bagian bawahnya dililit kain hijau. Dia sedang bersiap memanah, dengan anak panah yang membentangkan busur berwarna hijau.

Di belakang pria itu terlihat beberapa orang lelaki berkain merah dan tiga lelaki lain dengan pose yang berbeda. Satu orang mengangkat kedua tangannya, yang lain melakukan gerakan bela diri, satu lagi terlihat sedang mengangkat tangan di samping telinga, seperti sedang bertakbir. "Henk Ngantung melukis tangan yang berotot itu menggunakan lengan Bung Karno sebagai model," ujar Mikke.

Tapi pada lukisan asli karya Henk yang disaksikan Haris di Bogor, kecemerlangannya sudah pupus. Lukisan itu terlihat kotor, kusam menghitam, tak bercahaya, dan warnanya pun tak bisa dikenali karena tertutup debu yang mengkristal. Beberapa lelaki yang berada di belakang si pemanah juga tak terlihat lagi. Haris hanya bisa menyayangkan betapa lukisan itu tak terawat hingga nyaris hancur. Dia khawatir lukisan-lukisan istana yang lain akan mengalami nasib yang sama.

"Selain cat yang sudah menghitam, dasarnya kan terbuat dari kayu, sebagian sudah dimakan rayap. Mungkin kerusakannya mencapai 70 persen," ujar Haris dalam pesan pendeknya kepada Tempo.

Setelah melihat kondisi lukisan, mengamati teksturnya dengan teliti dan memotret tanpa berani menyentuhnya, Haris bersiap melukis ulang. Karena tak mungkin memproduksi ulang dari lukisan aslinya, dia dan Mikke memutuskan untuk mereproduksi dengan patokan buku koleksi lukisan Sukarno. Tapi itu pun tak mudah karena foto-foto dari buku koleksi ini warnanya sangat berbeda. Pertama karena proses fotografi, lalu saat pencetakan buku pun warnanya berubah.

Proses melukis ulang itu dikerjakan dalam waktu tak sampai sebulan setiap usai sahur. "Suasananya enak untuk kerja. Ini seperti pekerjaan sehari-hari, cuma kali ini tingkat kesulitannya berbeda," ujar pelukis beraliran realis ini. Dia mengakui, meski warna adalah bagian yang susah, kerumitan yang utama adalah goresan. "Yang tidak bisa dicapai dari sebuah repro adalah karakter goresannya," kata pelukis yang dalam beberapa waktu terakhir melukis dan mencetak secara digital ini.

Setelah mengerjakan lukisan tersebut sekitar tiga pekan, Haris tak lantas berpuas diri. Dia malah merasa ada beban di benaknya. Lukisan reproduksi itu akan disandingkan dengan lukisan aslinya. "Keder juga setelah melihat hasil akhir. Ada beban moral kalau ternyata terlalu beda saat disandingkan," ujarnya.

Mikke dan pengamat seni rupa Agus Dermawan mengusulkan panitia menunjuk Haris bukan tanpa alasan. Menurut mereka, Haris adalah pelukis realis-super-realis yang punya nama dan mumpuni, cara bekerjanya cepat dan tepat tapi tidak sembarangan. Haris adalah lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia Asri, yang kini menjelma menjadi ISI Yogyakarta, pada 1984. Dia juga anggota Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, Pipa (Kepribadian Apa), dan Proses 85. Ia termasuk pula perupa yang melakukan gerakan protes terhadap Orde Baru.

Teknik main tusir yang diciptakannya ini cocok untuk reproduksi lukisan yang dinilai sebagai karya minus (kerusakan bisa dilihat tapi tidak sempurna). Mikke mengakui lukisan asli karya Henk Ngantung itu sangat kotor, warnanya tak terlihat, kusam tertutup debu yang sudah mengkristal berpuluh tahun karena tak ada perawatan. Belum lagi karena lukisan itu dilukis di papan kayu sehingga mudah dimakan rayap. Lukisan ini adalah salah satu contoh koleksi lukisan yang rusak akibat minimnya perawatan dan usia lukisan.

Menurut Adek Wahyu Saptantinah, mantan kepala pengelolaan benda seni istana kepresidenan, dari sekitar 3.000 lukisan milik istana, ada puluhan lukisan rusak dengan tiga kategori; ringan, sedang, dan berat. Ada 10-15 lukisan yang mengalami lukisan berat. "Tidak dipajang, disimpan. Seperti karya Wakidi, sejak saya bekerja di sana mulai 1983 sudah digulung," ujarnya kepada Tempo.

Adek mengakui selama ini urusan koleksi benda seni istana belum mendapat perhatian dari para pejabat. Jangankan soal anggaran untuk perawatan dan pemeliharaan, untuk urusan menjaga hal yang paling mendasar seperti suhu ruangan untuk menjaga kelembapan lukisan atau menjaga agar lukisan tidak disentuh saja Adek mengaku masih harus terus "teriak-teriak".

Menurut Adek, seharusnya setiap lukisan terjaga kelembapannya di dalam ruangan berpenyejuk udara dengan suhu yang stabil. Tapi, karena kebijakan yang belum memadai, penyejuk udara selalu dihidupkan selama kerja dan dimatikan selepas jam kerja. Dia juga menyatakan bahwa tak semua anggota staf memahami itu hingga masih ada saja yang teledor meletakkan makanan panas secara tak sengaja di meja di bawah lukisan.

Adek sempat berkeluh-kesah menghadapi pejabat tinggi yang tak menganggap perawatan koleksi benda seni itu adalah sesuatu yang penting. Dia memberi contoh bagaimana gedung museum tempat lukisan itu digusur untuk dijadikan ruangan staf pembantu presiden dengan risiko menyingkirkan karya-karya berharga itu. "Sudah, digudangin saja, museum (dianggap) tidak penting. Ada juga pejabat yang bilang karya seorang seniman dari akar pohon lebih baik dijadikan kayu bakar saja. Saya sedih sekali."

Karena itulah Mikke mencoba memamerkan lukisan yang sudah rusak ini dengan maksud agar pemerintah membuka diri sekaligus menerapkan otokritik terhadap perawatan koleksi istana. Pengamat lukisan sekaligus konsultan kurator istana, Agus Dermawan T., mengatakan Adek selalu melaporkan kondisi koleksi istana kepada yang berwenang. "Hasilnya ada, tapi secuil-secuil karena selalu terhambat situasi dan digulung politik."

Akibatnya adalah banyak lukisan yang rusak, luput dari pemeliharaan lantaran pemerintah tidak mengalokasikan anggaran. Agus pun mengumumkan hal itu hingga Presiden Joko Widodo mendengar informasi tersebut dan mengeluarkan perintah agar lukisan yang masih bagus dipamerkan, yang rusak juga diumumkan. "Jadilah lukisan Henk Ngantung yang remuk itu dipamerkan didampingi replika bikinan Haris."

Karya Henk Ngantung yang selesai pada 1943 ini ditemukan oleh Sukarno dalam pameran di Keimin Bunka Sidhoso (Pusat Kebudayaan Jepang) pada 1944. "Lukisan bagus. Ini sebuah simbol bangsa Indonesia yang terus, terus, dan terus bergerak maju. Paulatim longius itur," ujar Sukarno saat itu.

Lukisan itu belum sempurna. Begitu pameran selesai, Sukarno diam-diam bertandang ke tempat Henk Ngantung. Dia ingin membeli lukisan itu. Henk berujar, untuk Sukarno, dia bisa menghadiahkan lukisan tersebut. "Tapi saya juga perlu uang," kata Henk. Dia mengatakan lukisan itu belum selesai dan harus ada model untuk menyelesaikan. Padahal saat itu tak ada model. "Aku, Sukarno, akan jadi model," ujar Sukarno. Tentu saja Henk terkejut dan tak mampu mengelak. Dalam waktu setengah jam, Henk menyelesaikan lukisan itu dan kemudian dibawa ke rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Lukisan itu terlihat di bagian belakang ruangan saat konferensi pers perdana setelah kemerdekaan.

Menurut Agus Dermawan, Bung Karno menganggap lukisan itu mewakili visi bangsa Indonesia yang sedang membidik masa depan. Bung Karno juga suka memanah. Kompleks Gelora Senayan pun dilambangi dengan orang memanah, demikian pula dengan Istana Negara yang dihiasi patung lelaki memanah. DIAN YULIASTUTI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus