Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di jalan pulang ke Bukittinggi di dalam ngarai yang damai dan tenteram, saya persaksikan kebuasan dua tiga pemuda Minangkabau yang merintang-rintang puasanya dengan senapan angin menembaki unggas kecil yang lagi bersenang-senang terbang mencari makan dari ranting ke ranting di tebing itu. Sedang teman-temannya membaktikan jiwanya untuk negara dan kemerdekaan bangsanya di Padang Area, pemuda biadab itu menembaki unggas yang tak bersalah untuk kepelesirannya. Saya tidak mengerti, di tahun 1947 ini masih banyak pemuda Minangkabau seganas itu, seperti bapak-bapaknya yang mengurung burung, padahal mereka sendiri ingin merdeka dari penjajahan, katanya (1949:97).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEGITULAH tuturan Muhamad Radjab Sutan Maradjo dalam buku pertamanya, Catatan di Sumatra. Fragmen itu ada dalam bagian kisah perjalanannya ke Bukittinggi, Sumatera Barat, 27 Juli 1947. Radjab tajam menyoroti hal-hal yang dekat dengan tanah kelahirannya. Bahasanya lugas dan kritis, deskripsinya detail. Catatan di Sumatra diterbitkan Balai Pustaka pada 1949 atau saat lelaki kelahiran Sumpur, Sumatera Barat, itu berumur 36 tahun. Buku setebal 224 halaman tersebut diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka dan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada Januari lalu, setelah naskah asli buku sempat tak tercium rimbanya.
Sewaktu bertualang ke Sumatera, Radjab masih bujangan. Ia satu dari tiga jurnalis yang ikut dalam rombongan Kementerian Penerangan yang meninjau kondisi dan perkembangan titik-titik sepanjang Pulau Andalas sejak Republik Indonesia berdiri. Selain Radjab, yang mewakili Kantor Berita Antara, wartawan peserta rombongan pimpinan Parada Harahap itu adalah Suwardi Tasrif (harian Berita Indonesia) dan Rinto Alwi (harian Merdeka). Mereka mengunjungi sejumlah daerah, antara lain Kotaraja dan Teluk Betung, serta dua negara tetangga: Malaysia dan Singapura.
Anak-anak Muhamad Radjab, (dari kiri) Herawati, Nusyirwan, dan Elisabeth, saat menuju Sumpur, Sumatera Barat pada 2019. Dokumentasi keluarga
Catatan di Sumatra tak hanya merangkum perjalanan jurnalistik Radjab, tapi juga menunjukkan ketajamannya dalam berpikir, keresahannya terhadap situasi masyarakat dan adat-budaya, serta kepiawaiannya dalam merumuskan suatu persoalan. Radjab menepikan identitas Minang-nya karena dengan memberi jarak itulah ia bisa jernih melihat situasi di hadapannya. Dalam buku ini, Radjab juga menyoroti praktik ketimpangan gender di masyarakat.
Selain menjadi penulis dan jurnalis yang kritis, Radjab adalah penerjemah. Dia poliglot yang mahir menulis dan berbicara dalam bahasa Arab, Inggris, Belanda, Jerman, dan Prancis. Pada 1969, Radjab menyadur buku Margono Djojohadikusumo, Kenang-kenangan dari Tiga Zaman: Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis, dari bahasa Belanda. Ia juga membahasa-indonesiakan dua karya novelis Rusia, Fyodor Dostoyevski, Si Lembut Hati (1948) dan Rumah Mati di Siberia (1949).
Adapun karyanya yang monumental selain Catatan di Sumatra adalah Semasa Kecil di Kampung (1950) dan Perang Padri di Sumatra Barat (1803-1838) (1954). Kedua buku ini juga diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka dan KPG tahun lalu. Radjab juga menulis Sistem Kekerabatan Minangkabau serta dua buku oleh-olehnya dari tugas di Sulawesi Selatan, yakni Dongengan Sulawesi Selatan (1950) dan Toraja Sa’dan (1952).
Pustakawan Aldo Zirsov menyebut buku Perang Padri sangat penting bagi kepustakaan. “Belum ada buku utuh yang bercerita selengkap Radjab tentang Perang Padri. Jadi, kalau ada orang yang sedang meneliti Perang Padri, buku Radjab hampir pasti menjadi referensi utama,” ujarnya dalam webinar “107 Tahun Muhamad Radjab Sutan Maradjo” yang difasilitasi Persatuan Minangkabau Singapura, Ahad, 21 Juni lalu.
Buku Sistem Kekerabatan di Minangkabau dan Buku Toraja Sa’dan karya Muhamad Radjab./Tempo
Aldo juga menilai, dalam Perang Padri, Radjab mengajarkan bahwa seorang penulis idealnya berjarak dengan tulisannya. Walau Radjab orang Minang, ia tetap tajam mengkritik semua pihak yang terlibat dalam Perang Padri: kaum adat, pasukan Sentot Prawirodirjo dari Jawa, tentara Belanda, dan lainnya. Radjab berbekal riset mendalam saat menuliskan sejarah itu.
Nan tak kalah penting sebagai rujukan historis Minangkabau adalah Semasa Kecil di Kampung. Menurut Aldo, buku itu memperlihatkan kondisi warga Minang secara detail pada awal abad ke-20, pergolakan pemikiran serta dinamika kehidupan di sana. Radjab, kata Aldo, lewat buku tersebut mengajak pembaca berpikir terbuka serta mempertanyakan banyak hal yang sudah mapan di masyarakat, baik tradisi maupun adat. Semasa Kecil di Kampung antara lain mengkritik legitimasi pemuka agama, juga kepercayaan masyarakat kepada takhayul.
Guru besar ilmu sosiologi ekonomi Universitas Andalas, Padang, Damsar, mengatakan Radjab sangat detail dalam menjelaskan suatu fenomena. Ia menilai Radjab sudah jauh masuk ke ilmu sosial, terutama sosiologi dan antropologi. “Sementara di buku Semasa Kecil di Kampung dia tampak seperti antropolog, saat menulis Sistem Kekerabatan Minangkabau Radjab terlihat sebagai sosiolog,” ucap Damsar.
Radjab sejatinya lulusan Ilmu Publisistik Universitas Indonesia dan sempat menjadi dosen luar biasa di sana. Sebelum kuliah di UI, ia bekerja sebagai jurnalis di Sumatera Barat. Jurnalis yang empat tahun terakhir meneliti kehidupan Radjab, Farida Indriastuti, mengatakan Radjab mengawali karier jurnalistik pada 1934 di harian Persamaan, media cetak lokal di Padang. Setelah setahun di Persamaan, Radjab pindah ke media Pembangunan. Farida mengungkapkan, keterbatasan dokumentasi pada masa itu membuatnya belum mendapati bidang peliputan Radjab ketika itu.
Sampul buku karya Muhamad Radjab yang terbaru/Tempo
Walau Radjab melahirkan belasan buku dan terjemahan, tak banyak catatan biografinya. Farida mengaku kesulitan mencari tokoh pers yang tahu soal Radjab atau pernah bersinggungan kerja dengannya. Bahkan tak ada wartawan sepuh berumur 70-90-an tahun dan pegawai Lembaga Kantor Berita Nasional Antara yang mengenal Radjab. Seorang jurnalis yang punya secuil kenangan dengan Radjab adalah Martin Aleida, yang sempat meliput bareng di Aru. Namun ketika itu Martin masih muda, sementara Radjab sudah senior. “Radjab adalah orang yang membawa Antara bergerilya saat Jakarta sempat dikuasai Belanda. Ia menyiarkan peristiwa dari persembunyian. Karena itu, mengherankan kalau namanya hilang dari sejarah pers Indonesia,” ujarnya.
• • •
MUHAMAD Radjab Sutan Maradjo lahir pada 21 Juni 1913 di Padang Panjang. Ayahnya pemuka agama yang tergolong moderat di sana. Farida Indriastuti mengatakan ayah Radjab sebenarnya tak merestui putranya bekerja di luar Sumatera Barat. Namun agaknya Radjab nekat mengelabui orang tuanya dengan berpura-pura pergi ke pelabuhan. Ia mengaku pergi mengantar kawannya yang hendak bekerja di Jakarta. “Tapi, saat sudah sampai pelabuhan, malah Radjab yang loncat ke kapal,” katanya, Sabtu, 27 Juni lalu.
Karier Radjab mulai moncer setelah ia pindah ke Jakarta pada awal 1940-an. Selama di Jakarta, Radjab bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Ia mengenal Adam Malik dan Cipto Mangunkusumo, juga dekat dengan adik kandung Cipto, Suyitno Mangunkusumo. Pada waktu itu, Adam Malik aktif sebagai jurnalis dan anggota Dewan Pimpinan Gerakan Rakyat Indonesia. Adam-lah yang membukakan jalan Radjab untuk bekerja di Kantor Berita Domei pada 1941. Pada tahun berikutnya, Radjab pindah ke Bandung. Di kota itu ia bekerja sebagai wartawan majalah Persatuan Hidup selama dua tahun, sebelum akhirnya pindah ke Kantor Berita Antara.
Selama di Antara, Radjab malang-melintang di sejumlah daerah sebagai jurnalis. Selain berkarya di Jakarta, ia pernah ditugasi di Yogyakarta, Solo, dan Malang. Adapun saat berlangsung agresi militer Belanda, Radjab mengatur redaksinya di bawah tanah. Ia bersembunyi sembari tetap menyiarkan berita tentang revolusi Indonesia. Farida menuturkan, pada 1948, Radjab kembali ke Sumatera Barat. Dia bekerja untuk Harian Detik di Bukittinggi dan sempat ditugasi di Sulawesi Selatan pada 1949.
Amransyah Radjab, anak Muhamad Radjab, memegang foto ayahnya, pada 2018./Dok. keluarga
Farida menyebut Radjab sebagai wartawan yang jujur dan berintegritas. Selain tak menerima “amplop” atau duit suap, Radjab tak memanfaatkan kedekatannya dengan narasumber untuk kepentingan pribadi. Padahal, menurut Farida, bila mau, Radjab bisa saja mendapat posisi strategis di kantor pemerintah atau lainnya. Yang justru terjadi, Radjab membuat tulisan tentang korupsi dan suap yang membikin kuping orang panas. “Pada Oktober 1965, dia hampir dijemput truk tentara, tapi dihalangi Djamaluddin Adinegoro,” tuturnya.
Pada awal 1950-an, Radjab kembali bekerja di Antara, bagian staf redaksi. Ia sempat menjadi kepala seksi tulisan feature, kepala bagian riset, juga editor feature. Suatu ketika, pada 1951, Radjab menemui kenalannya, psikolog dan dosen di Universitas Indonesia, Slamet Imam Santoso. Saat itu Slamet heran melihat Radjab masih jomblo, padahal umurnya 37 tahun. “Ayah bilang dia cuma wartawan, gajinya enggak banyak,” kata salah satu putra Radjab, Nusyirwan.
Slamet kemudian mencontohkan tukang becak yang punya istri dan anak walau penghasilannya tak menentu. Disentil begitu, Radjab akhirnya mencari jodoh juga di kampungnya. Seorang kawan meminta Radjab memilih satu dari tiga bersaudara asal Nagari Sumpur. Dari tiga perempuan itu, Radjab memilih si sulung Amrina. “Padahal adik Amrina lebih cantik,” ujar Nusyirwan, bergurau.
Muhamad Radjab. Repro/Tempo/Isma Savitri
Setelah menikah, Amrina mengikuti Radjab ke Jakarta. Mereka tinggal di Gang Haji Murtado Nomor 16, Salemba, Jakarta Pusat, dan sempat pindah rumah ke Matraman. Pasangan ini dikaruniai sepuluh anak, delapan di antaranya laki-laki. Nusyirwan menyebut ayahnya sebagai sosok yang tertutup. “Dia seperti mendapat energi dari kesendiriannya, dan tidak nyaman berada di keramaian,” ucapnya.
Dengan anak-anaknya pun Radjab bukan sosok ayah yang doyan bercanda. Nusyirwan menduga penyebabnya adalah selisih umur Radjab dengan anak-anaknya terpaut jauh. Sepulang kerja, Radjab tak mengobrol dulu dengan anak-anaknya. Ia memilih menyepi dan membaca di sebuah ruangan yang disebut Nusyirwan sebagai kamar buku. Ruangan tersebut disebut begitu karena di sanalah Radjab menyimpan puluhan ribu bukunya. Sementara Radjab asyik membaca, Nusyirwan dan saudara-saudaranya hanya mengintip dari balik kaca.
Saking sukanya membaca, Radjab pernah memborong buku di toko Gunung Agung, Jakarta, dengan uang tunjangan hari raya (THR). Namun, sesampai di rumah, hatinya mencelos melihat anak-anaknya tak punya baju Lebaran yang layak. Dengan berat hati Radjab akhirnya kembali ke Gunung Agung dan meminta pemilik toko membatalkan transaksinya. Uang THR itu kemudian dipakai Radjab untuk membelikan anak-anaknya baju.
Pernah juga suatu kali Nusyirwan kecil berkelahi dengan anak tetangga. Kejadian itu diadukan si tetangga ke Radjab, yang baru pulang dari kantor. Bukannya membela, Radjab berlalu begitu saja. Ia membiarkan sang putra membereskan persoalannya sendiri. Kejadian yang juga dikenang Nusyirwan adalah saat kakaknya, Amransyah, naik kereta dari Stasiun Kemayoran dengan Radjab. Nahasnya, Amran ketiduran di kereta. Alih-alih membangunkan anaknya yang masih usia sekolah dasar itu, Radjab malah ngeloyor begitu saja turun dari kereta. Tak pelak Amran pun panik dan mesti mencari tahu sendiri jalan pulang ke rumahnya.
Foto reportase Radjab di buku Catatan Di Sumatra, Pasar Bukittinggi dilihat dari Jam Gadang./Repro/Tempo/Isma Savitri
Menurut Nusyirwan, Radjab tipe orang yang menghindari konflik. Ia ingat ayahnya pernah meminjamkan uang Rp 125 ribu kepada seorang kenalan. Karena belum mampu melunasi langsung, si kawan mengizinkan Radjab menempati rumahnya di Matraman. Di tengah itu, tiba-tiba saja Radjab sekeluarga diminta hengkang. Karena tak mau ribut, Radjab mengiyakan saja permintaan itu. Untungnya, kata Nusyirwan, ayahnya ditolong Hardi, tokoh Partai Nasional Indonesia. Hardi mengizinkan Radjab sekeluarga menempati rumahnya di Tugu, Puncak. “Hingga akhir hayat, Ayah tidak pernah punya rumah,” tuturnya.
Tak lama tinggal di Puncak, istri Radjab meninggal pada usia 38 tahun karena stroke. Musibah itu membuat keluarga Radjab tercerai-berai. Ada anak yang kemudian ikut bibinya di Palembang, sementara lainnya dibawa ke Ranau. Ada pula yang tinggal di asrama Muhammadiyah di Kemayoran. “Hidup ibu saya diisi dengan baktinya kepada suami, serta mendidik anak-anaknya. Karenanya, setelah Ibu wafat, Ayah merasa sangat kehilangan. Apalagi anaknya masih kecil-kecil,” kata Nusyirwan. Setelah Amrina meninggal, Radjab memboyong sebagian anaknya tinggal di mes Antara di Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Pada 1970, Radjab mendapat undangan Gubernur Sumatera Barat untuk mengikuti seminar budaya di Padang. Skenarionya, Radjab membawa anak-anaknya ke Padang dan menitipkan mereka sebentar kepada kerabat di sana. Sebab, seusai seminar, Radjab berencana pergi dulu ke Kuala Lumpur, Malaysia. Barulah dari Malaysia Radjab menjemput anak-anaknya di Padang dan kembali ke Bogor.
Namun rencana itu tak kelar terlaksana. Putra kedelapan Radjab, Irwan, menjelaskan, di tengah seminar, ayahnya ambruk dan dilarikan ke rumah sakit. Ketika itu, ia dan saudara-saudaranya sedang berada di Padang Panjang untuk melihat kirab malam 17 Agustus. “Kami mendapat kabar Bapak sakit. Tapi, saat kami datang, Bapak sudah meninggal,” ujarnya.
Foto reportase Radjab di buku Catatan di Sumatra yang menampilkan perempuan sedang menumbuk padi di Teluk Kayu Putih, Jambi. Repro/Tempo/Isma Savitri
Setelah Radjab pergi, Nusyirwan sempat kembali ke Matraman untuk berberes-beres. Ketika itu, ia bertemu dengan seorang tetangga yang memberikan kartu nama Margono Djojohadikusumo, kakek Prabowo Subianto. Di belakang kartu itu tertulis alamat Margono, juga imbauan kepada anak-anak Radjab agar menemuinya. Rupanya, Margono puas dengan terjemahan Radjab pada bukunya. Namun, saat dulu ditanyai soal imbalan, Radjab tak menyebutkan materi. Radjab hanya meminta Margono mencari anak-anaknya apabila ia berumur pendek. Permintaan itu diterjemahkan Margono dengan membiayai hidup Nusyirwan serta mengurus anak-anak Radjab yang lain.
Pada 17 Agustus 1976, Gubernur Sumatera Barat Harun Zen memberi Radjab penghargaan karena kiprahnya sebagai wartawan. Acara itu dihadiri mantan wakil presiden Mohammad Hatta. “Setelah itu, saya mulai mengumpulkan buku-buku karangan Bapak yang banyak hilang. Ada yang saya beli di Internet, dari kolektor buku lama,” kata Irwan.
ISMA SAVITRI, FEBRIANTI (PADANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo