Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPASANG patung laki-laki dan perempuan berpakaian khas Dayak setinggi dua meter itu berdiri tegak di dalam kawasan hutan lindung Wehea, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Patung Jod Blie (laki-laki) dan Hong Nah (perempuan) itu merupakan pasangan leluhur suku Dayak Wehea. Masyarakat adat setempat meyakini keduanya sebagai pasangan pertama yang tinggal di Keldung Las Wehea Long Sekung Metguen, kini bernama hutan lindung Wehea.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat adat Dayak Wehea mendirikan sepasang patung berbahan kayu ulin itu pada November 2004. Tujuannya sebagai penanda bahwa kawasan hutan Wehea dilindungi dan tak boleh diganggu. Itu seperti tertulis di plang berupa papan yang diapit kedua patung tersebut: "Lembaga Adat Desa Nehas Liah Bing, kawasan hutan dengan tujuan khusus, perlindungan hutan dan habitat orang utan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sejak kami dirikan patung itu, orang lewat saja tidak mau. Tidak ada yang berani masuk hutan Wehea," kata Kepala Adat Dayak Wehea, LedjieTaq, saat ditemui di Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, pekan ketiga April lalu. Artinya, tutur Ledjie, secara adat hutan Wehea dilindungi sejak patung itu didirikan. "Bagi yang melanggar, siap-siap kena hukum adat."
Untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran, masyarakat adat Dayak Wehea kemudian membentuk penjaga hutan atawa jagawana, yang dalam bahasa lokal disebut petkuq mehuey. Setiap hari tiga orang petkuq mehuey berpatroli menjaga hutan lindung Wehea. Mereka bergantian dengan anggota petkuq mehuey lainnya, yang jumlahnya lebih dari 10 orang.
"Dulu, saat Orde Baru, kami tidak bisa apa-apa karena semua hutan sudah dipetak-petak dari Jakarta. Bahkan kampung kami ini masuk kawasan konsesi hak pengusahaan hutan," ujar Ledjie. Tantangan tak berhenti di situ. Setelah pemegang konsesi itu hengkang, giliran pembalakan liar merajalela. Pelaku membawa pekerja dari luar daerah hingga memberdayakan warga sekitar yang bersedia ikut untuk memenuhi kebutuhannya. "Tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Petkuq mehuey menjaga hutan kami. Setiap bulan, hasil kerja mereka disampaikan melalui presentasi," kata Ledjie.
HUTAN lindung Wehea, yang merupakan salah satu paru-paru dunia, hanya memiliki luas 38 ribu hektare dari total luas bentang alam Wehea-Kelay 532.143 hektare di wilayah Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau. Sisanya sebagian besar dikuasai oleh 15 konsesi berbentuk hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI) serta perkebunan kelapa sawit. Hutan lindung Wehea berada pada ketinggian 250 meter di timur sampai 1.750 meter di barat, dengan tipe hutan dari dataran rendah hingga hutan pegunungan.
Salah satu primata yang menggantungkan hidup pada kelestarian hutan Wehea adalah orang utan (Pongo pygmaeus). Hasil survei The Nature Conservancy (TNC) tahun ini menyebutkan terdapat 800-1.300 ekor orang utan di bentang alam Wehea-Kelay. Dari Samarinda, hutan Wehea berjarak sekitar 450 kilometer atau kira-kira menelan waktu 10 jam berkendaraan lewat jalur darat. Dari ibu kota Kalimantan Timur itu, Tempo bersama rombongan peneliti TNC menempuh perjalanan sekitar empat jam dengan mobil menuju Sangatta, Kutai Timur. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Desa Nehas Liah Bing sekitar tiga jam. Di Nehas Liah Bing, kami beristirahat di rumah adat sebelum melanjutkan perjalanan ke kawasan hutan Wehea keesokan harinya.
Untuk mencapai hutan lindung Wehea dari Nehas Liah Bing, kami harus menggunakan mobil berpenggerak empat roda karena kondisi jalannya belum beraspal serta di beberapa bagian jalurnya menanjak dan menurun. Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga jam, sebagian besar melalui perkebunan sawit, kami tiba di kawasan hutan lindung Wehea.
Setiba di kawasan hutan lindung Wehea, kami berjalan kaki menyusuri pinggiran Sungai Belkin untuk mencari habitat orang utan. Setelah berjalan lebih dari dua jam, kami akhirnya menemukan tiga sarang orang utan. Satu sarang baru berada di pohon meranti dan dua sarang lama berada di pohon sengkuang. "Yang satu itu, masih berwarna hijau, dibuat baru beberapa hari. Untuk yang dua sarang lainnya, itu sudah warna cokelat, sudah lebih dari seminggu," kata Arif Rifki, peneliti orang utan dari TNC.
Menurut Arif, perjumpaan langsung dengan orang utan di bentang alam Wehea-Kelay tidak mudah. Itu lantaran populasi orang utan di sana yang masih sangat liar. Jika mendengar suara sedikit saja, kemungkinan besar orang utan akan berpindah tempat atau bersembunyi dengan cepat. "Berbeda dengan orang utan yang sudah akrab dengan manusia. Saat melihat kita, orang utan itu masih bisa tenang dan tidak langsung kabur," ujar Arif.
Orang utan di bentang alam Wehea-Kelay tersebar di habitat dengan luas 360 ribu hektare dari total luas 532.143 hektare. Mereka sebagian besar berada di hutan dataran rendah dengan kepadatan rata-rata 0,4 individu per kilometer persegi. Mayoritas orang utan dijumpai di bagian selatan dan tengah bentang alam Wehea-Kelay. "Selain hidup di hutan lindung Wehea, orang utan hidup di habitat yang memiliki izin konsesi. Baik di wilayah konsesi kayu, konsesi HTI dan kawasan berhutan di dalam, maupun sekitar konsesi sawit," kata Arif.
Arif menyatakan orang utan masih bisa hidup di hutan lindung Wehea dan sekitarnya. Di dalam kawasan hutan lindung itu banyak pohon meranti, ulin, dan medang tempat mereka hidup. Di dalam hutan lindung juga banyak ditemukan pohon buah-buahan, seperti durian, sukun, rambutan, dan mangga. "Meski dikepung konsesi, soal kebutuhan pakan orang utan di hutan Wehea saya nilai masih mencukupi."
Hanya, menurut Arif, tetap perlu kerja sama dengan pihak-pihak terkait untuk mengatasi kemungkinan orang utan masuk ke wilayah konsesi perusahaan, seperti di area perusahaan kayu dan perkebunan sawit. "Dikhawatirkan orang utan akan habituasi menjadi tidak liar dan mendekat ke manusia. Potensi konflik dengan manusia juga bisa meningkat," ujarnya.
Seorang warga setempat, Siang Geah, 37 tahun, menyebutkan masyarakat kerap melihat orang utan di area perkebunan kelapa sawit. Terakhir Siang sendiri melihatnya beberapa bulan lalu. Dari informasi anggota petkuq mehuey yang aktif menjaga kawasan hutan Wehea, orang utan sering tersasar saat mencari makanan. "Habitat orang utan itu terganggu karena pembukaan lahan," kata Siang.
UPAYA menjadikan hutan lindung Wehea sebagai kawasan konservasi dan perlindungan orang utan bergulir sejak 2005. Saat itu para peneliti dari The Nature Conservancy dan Universitas Mulawarman, Samarinda, menemukan sekitar 600 habitat atau sarang orang utan di bentang alam Wehea-Kelay. Menurut peneliti, daya jelajah orang utan yang begitu tinggi dan tak mengenal batasan wilayah yang dibentuk manusia menjadi salah satu landasan perlunya jalan tengah antara kegiatan ekonomi di bentang alam dan tetap melakukan pelestarian lingkungan, termasuk menjaga satwa liar di dalamnya.
Dari situlah Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan TNC bersepakat membentuk Forum Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) koridor orang utan bentang alam Wehea-Kelay di Kabupaten Kutai Timur dan Berau. Secara resmi forum itu terbentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 660.1/K.214/2016. "Mulanya kami belajar dari konflik orang utan di Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Karena orang utan itu tak bisa kita batasi ruang geraknya, perlu kerja sama lebih luas dengan pihak-pihak terkait untuk melindunginya," kata Edy Sudiono, Manajer Program TNC.
Menurut Edy, melalui Forum KEE, semua pihak terkait-pemerintah, lembaga konservasi, masyarakat adat, dan pemegang izin konsesi-bekerja sama menjaga hutan, orang utan, dan satwa liar lainnya yang dilindungi. "Tantangannya, awalnya perusahaan sawit masih menilai orang utan sebagai hama. Nah, itu prosesnya kami memberi penjelasan dulu melalui pelatihan ke mereka," ujar Edy.
Menurut Kepala Seksi Pemeliharaan Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur Muhammad Fadli, saat ini terdapat delapan perusahaan yang telah bergabung dengan Forum KEE. Masih ada delapan perusahaan lagi yang belum bergabung. Dari total luas bentang alam, 532 ribu hektare, sebanyak 308 ribu hektarenya sudah masuk KEE, yang ditargetkan bergabung sepenuhnya pada 2020. "Kendalanya kepercayaan, karena ini sukarela. Belum ada regulasi untuk KEE dan bagaimana mekanismenya," kata Fadli.
Padahal, menurut Fadli, dengan bergabung ke KEE, perusahaan justru turut terbantu dari segi peningkatan pemahaman sumber daya manusia dalam penanganan orang utan. Secara teknis, apabila ada orang utan masuk ke kawasan perusahaan, nanti perusahaan akan mendapatkan pengetahuan terkait dengan cara menanganinya, agar tidak melakukan kesalahan yang bisa berakibat fatal bagi keberadaan orang utan di hutan Wehea. "Kalau salah penanganan jika ada orang utan masuk kawasan perusahaan, seperti kematian, hal itu bisa dipidana," ujarnya.
Pihak PT Gunung Gajah Abadi, salah satu anggota KEE yang memiliki konsesi seluas 74 ribu hektare, mengatakan sangat terbantu oleh adanya kerja sama lintas lembaga dalam pengelolaan bentang alam Wehea-Kelay. "Dari 74 ribu konsesi, 8.000 hektare kami tidak tebang pohonnya dan kami jadikan area konservasi. Untuk orang utan, kami juga ingin mereka hidup dan kita bisa jaga bersama melalui KEE," kata Totok Suripto, Direktur Utama PT Gunung Gajah Abadi.
Peneliti The Nature Conservancy, Arif Rifki, berharap Forum KEE menjadi wadah bersama semua elemen terkait untuk memastikan orang utan dan satwa liar lain tetap dapat hidup. Juga bisa meminimalkan berbagai potensi ancaman. "Ke depan, melalui Forum KEE, semua perusahaan paham akan proses penanganan orang utan apabila mereka menemukan kawanan primata itu masuk kawasan konsesi mereka," ujar Arif.
Boleh dibilang, pekerjaan rumah pelestarian lingkungan dan perlindungan orang utan di kawasan hutan lindung Wehea masih cukup banyak. Memang masyarakat adat sudah giat menjaganya. Melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 44/02.188.45/HK/II/2005, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur juga telah membentuk Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea, yang terdiri atas unsur pemerintah, masyarakat adat, lembaga pendidikan, dan lembaga swadaya masyarakat.
Namun hingga kini hutan lindung Wehea belum memiliki payung hukum yang kuat. Sebab, usul untuk alih fungsi menjadi hutan lindung, yang diajukan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur pada 2005, belum mendapat kepastian dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Secercah harapan datang dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur, yang menjamin hutan lindung Wehea tetap akan terjaga, termasuk dari potensi pemberian izin konsesi baru.
Sapri Maulana (Kutai Timur)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo