Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Setoran Mencurigakan Taipan Pelabuhan

Seorang pengusaha ekspor-impor diduga memiliki transaksi mencurigakan Rp 1,5 triliun di rekeningnya. Ditengarai mengalir ke pejabat pabean, polisi, dan penyelenggara negara lainnya.

6 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Setoran Mencurigakan Taipan Pelabuhan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FOTO Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi berdiri berdampingan dengan pengusaha ekspor-impor Sumadi Seng itu sempat membuat gaduh kantor pabean dan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Beredar di grup-grup percakapan WhatsApp pegawai Kementerian Keuangan pada akhir tahun lalu, foto itu menunjukkan Heru dan Sumadi tengah bersama Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan pengusaha lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Direktur Hubungan Masyarakat Bea dan Cukai Robert Leonard Marbun, foto tersebut diambil ketika Heru dan Enggartiasto berkunjung ke pusat logistik berikat Cikarang Dry Port, Jawa Barat, pada September 2017. Robert mengatakan saat itu Heru diajak berfoto bersama setelah menjadi narasumber. ¡±Tidak kenal dengan Sumadi Seng,¡± ujar Robert, Jumat pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Foto tersebut sempat menjadi bahan pemeriksaan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Kepada tim Inspektorat, menurut Robert, bosnya mengatakan hal serupa, yakni ia tak mengenal pengusaha Sumadi Seng. Robert mengatakan foto tersebut tidak istimewa karena hanya merekam kebersamaan pejabat pemerintah dan para pengusaha.

Di kalangan pegawai Inspektorat, Sumadi Seng bukan nama asing. Pria yang kerap dipanggil Alek ini cukup masyhur di Kementerian Keuangan, terutama di kalangan pegawai Inspektorat serta Bea dan Cukai. Namanya pertama kali masuk radar ketika tim investigasi Kementerian Keuangan menelisik rekening gendut pegawai Bea dan Cukai, Heru Sulastyono, pada 2014.

Kasus ini menyibak peran Sumadi yang diduga menggelontorkan duit kepada Heru melalui anak buahnya, Yusran Arief. Ia diduga menyuap Heru Rp 11,4 miliar karena membantu meringankan ongkos pelabuh¡©an perusahaannya. Kasus ini disidik Direktorat Tindak Pidana Khusus Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI sebagai tindak pidana pencucian uang.

Atas perbuatannya itu, Heru diganjar hukuman enam setengah tahun bui. Sedangkan Yusran hanya divonis 18 bulan penjara. Polisi saat itu tak mengusut hingga ke Sumadi. Kepala Subdirektorat Pencucian Uang Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri ketika itu, Brigadir Jenderal Agung Setya, enggan mengungkapkan alasannya. ¡±Saya tidak bisa berkomentar,¡± ucap Agung, yang kini bertugas di Badan Intelijen Negara, Rabu pekan lalu.

Polisi sesungguhnya saat itu mempunyai bekal yang cukup dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Lembaga tersebut berhasil mengendus jejak-jejak aliran dana Sumadi. Laporan itu diserahkan ke Kementerian Keuangan dan lembaga penegak hukum sejak tiga tahun lalu. Laporan terbaru sudah dimasukkan ke penegak hukum pada akhir Maret lalu. ¡±Ada dugaan tax fraud," kata Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae.

Selain dugaan penggelapan pajak, Dian tak menampik dalam laporan tersebut terekam jejak aliran dana ke beberapa pejabat Bea-Cukai, kepolisian, dan aparat lain. Pada awal April lalu, pimpinan PPATK menyambangi kantor Bea dan Cukai untuk membahas penyidikan kasus pencucian uang di sektor ini.

Dalam dokumen yang diperoleh Tempo, Sumadi Seng disebut sebagai pengusaha yang bergerak di bidang ekspor-impor, perdagangan, dan ekspedisi muatan kapal laut. Perusahaan yang teridentifikasi milik taipan kelahiran Indragiri, Riau, itu sebanyak 20 badan hukum. Pria 51 tahun tersebut tercatat memiliki banyak rekening bank.

Dalam salah satu rekening, terdapat transaksi keuangan mencapai Rp 1,5 triliun. Sejumlah dana tersebut mengalir ke pegawai di perusahaan Sumadi. Uang tersebut diduga dibagi-bagi ke pejabat Bea-Cukai, polisi, aparat penegak hukum lain, dan penyelenggara negara lainnya.

Kepada 13 pejabat Bea-Cukai selain Heru Sulastyono, Sumadi diduga menggelontorkan dana sekitar Rp 1 miliar. Pemberian uang itu dilakukan Sumadi langsung ataupun melalui anak buahnya. Penyetoran uang dilakukan secara bertahap.

Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Sumiyati mengatakan timnya beberapa kali menangani kasus terkait dengan Sumadi. Soal aliran dana, Sumiyati mengaku sudah merekomendasikan untuk dikenai hukuman disiplin dan tindakan manajerial kepada beberapa pegawai. "Beberapa pejabat yang diidentifikasi menerima aliran dana juga telah dikenai hukuman disiplin," ujarnya. Adapun untuk Sumadi beserta anak buahnya, menurut Sumiyati, pihaknya tidak punya kewenangan mengusut.

Berbeda dengan Inspektorat Jenderal, pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengaku tak tahu ihwal aliran dana dari Sumadi Seng beserta anak buahnya ke pejabat-pejabat kepabeanan. "Kami sangat menghargai apabila ada informasi secara rinci terkait dengan hal tersebut," ujar Robert Leonard Marbun.

Selain mengalir kepada puluhan pejabat Bea-Cukai, dana ada yang mengalir ke salah satu anak mantan pejabat eselon I di Kementerian Keuangan sebesar Rp 65 juta. Duit itu dikirimkan langsung oleh Sumadi. Anak mantan pejabat ini bersama Sumadi juga mendirikan perusahaan jasa konsultan bisnis. "Selain penyelundupan, Alek main kasus faktur pajak fiktif," kata salah seorang pejabat Kementerian Keuangan.

Selama 2010-2013, perusahaan jasa konsultan itu menangguk duit Rp 8,6 miliar. Ihwal aliran duit kepada anak bekas pejabat eselon I Kementerian Keuangan ini, Inspektorat menyatakan tak punya kewenangan untuk mengusutnya karena mereka adalah pihak swasta.

Untuk mengamankan bisnisnya, Sumadi juga mengalirkan uang ke sejumlah polisi. Berdasarkan dokumen tersebut, ada nama Yuldi Yusman tercatat menerima setoran dari Sumadi selama Juli 2007-Mei 2008. Duit yang digelontorkan sepuluh kali itu total senilai Rp 205 juta. Dia menerima duit ketika menjadi penyidik di Direktorat Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya.

Saat dimintai konfirmasi, Komisaris Besar Yuldi Yusman, yang kini bertugas di Subdirektorat IT dan Cyber Crime Bareskrim Polri, membantah aliran dana itu. "Enggak ah, aku gak pernah terima. Sumadi Seng itu siapa?" ujarnya.

Seorang pejabat Kementerian Keuangan tak merasa heran jika uang Sumadi tersebar ke berbagai instansi. Duit-duit itu, kata pejabat tersebut, untuk mengamankan barang impor terutama yang dilarang dan terbatas, seperti minuman keras, gampang dimasukkan ke Tanah Air. "Sebagian besar barang impor yang lartas (dilarang dan terbatas), dia masukkan tanpa dokumen perizinan alias misdeclaration dan under-invoicing," ucap pejabat Kementerian Keuangan tersebut.

Walhasil, negara merugi karena tak memperoleh pajak dan bea masuk yang tinggi dari jenis barang tersebut. Meski sempat tersangkut kasus penyuapan kepada Heru Sulastyono, kerajaan bisnis Sumadi hingga kini tetap gemilang.

Bahkan setelah kasus Heru itu pun Sumadi sempat tersangkut kasus lagi di Bea-Cukai. Pejabat Kementerian Keuangan tersebut mencontohkan penyelundupan minuman keras oleh PT Mitra Perkasa Mandiri, salah satu perusahaan Sumadi, pada pertengahan 2016. Kala itu, perusahaan Sumadi mengajukan impor menggunakan dokumen B.C. 2.3 Nomor 47229 dengan pemberitahuan delapan kontainer plastik resin dari Singapura. PT Mitra merupakan pengguna fasilitas gudang berikat.

Petugas Bea dan Cukai menemukan enam kontainer di antaranya berisi minuman keras. Menurut pejabat tersebut, kasus itu tidak dilanjutkan penyidikannya, tapi diusulkan reekspor oleh kantor Bea dan Cukai Tangerang. "Direkomendasikan juga oleh Direktorat Penindakan dan Penyidikan Bea-Cukai," ujarnya.

Dua bulan kemudian, PT Mitra kembali menyelundupkan minuman keras melalui empat kontainer dengan menggunakan dokumen B.C. Nomor 68674 dengan pemberitahuan plastik resin dari Singapura. Modusnya serupa. Pada 18 Agustus pagi, penyelundupan ini sudah terendus Komisi Pemberantasan Korupsi.

Karena tidak punya kewenangan langsung, lembaga antikorupsi itu menyerahkannya ke Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi. "Kami sering berinteraksi soal ini agar mereka confidence untuk melakukan perubahan. Demi pendapatan negara," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Namun empat kontainer minuman keras tersebut malah dikeluarkan dari Jakarta International Container Terminal oleh Bea-Cukai Kantor Pelayanan Utama Tanjung Priok.

Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi lantas memerintahkan jajaran Direktorat Penindakan dan Penyidikan untuk memeriksa dan menahan keempat kontainer tersebut. Namun kontainer yang berisi minuman keras tipe A dan B itu tetap bisa keluar dari terminal pada sore harinya. Setiba di gudang berikat, keempat kontainer sudah ditunggu petugas Direktorat Penindakan dan Penyidikan kantor pusat dan Banten. Setelah dicek, ternyata segel pengaman, segel Bea Cukai dan Pelayaran, sudah tidak ada. "Ketika dibuka, kedapatan barangnya adalah plastik resin," ujar pejabat tersebut.

Atas dasar pemeriksaan ini, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi melaporkan secara lisan ke KPK bahwa informasi itu tidak benar karena isi keempat kontainer tersebut plastik resin. Pada Senin sore, 22 Agustus, tim Inspektorat Bidang Investigasi Kementerian Keuangan mendatangi Tanjung Priok dan memeriksa ruangan Hico, lalu memindai perangkat keras (hard disk) komputernya.

Tim Inspektorat Bidang Investigasi mendapati memo dari seksi penindakan kepada petugas Hico untuk melakukan pemeriksaan Hico atau pendeteksian jenis barang atas empat kontainer itu. Selain dari forensik, tim Inspektorat Bidang Investigasi mendapati gambar yang sudah dihapus, yaitu berupa gambar minuman keras. Ketika ditanyakan kepada analis Hico, dijelaskan bahwa empat kontainer itu berisi minuman keras.

Pada Senin malam, Dirjen Bea dan Cukai langsung memerintahkan semua jajaran Direktorat Penindakan dan Penyidikan menyita minuman keras tersebut di pergudangan Bimoli, Pluit, Jakarta Utara. Kepala Subdirektorat Intelijen bernegosiasi dengan pemilik untuk menarik minuman keras tersebut. "Karena permainan ini sudah telanjur terbongkar," ucap pejabat tadi.

Akhirnya, disepakati Bea dan Cukai bisa menarik sebagian kecil saja minuman keras yang ada di gudang tersebut keesokan harinya. Namun minuman itu bukan merek yang mahal dan jumlahnya tidak penuh empat kontainer. Kemudian diatur strategi, yaitu minuman keras yang harganya murah ditarik ke kantor pusat dengan menggunakan lima truk biar seolah-olah empat kontainer. "Satu truk berisi 1.200 karton," ujarnya. Satu karton terdapat 12 botol minuman keras. Seharusnya total terdapat 57.600 botol minuman keras premium.

Heru Pambudi, melalui Direktur Humas Bea dan Cukai Robert Leonard Marbun, mengatakan timnya menyita 30.570 botol minuman keras di pergudangan Bimoli tersebut. "Telah dilanjutkan ke proses penyidikan serta telah ditetapkan tersangka dan dijatuhi hukuman," ujar Robert. Ia membantah sempat ada upaya menghapus gambar hasil scan Hico.

Ihwal kasus penyelundupan minuman keras oleh PT Mitra Perkasa Mandiri tersebut, Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan juga turun tangan. Sumiyati mengatakan timnya sudah melakukan penelitian terkait dengan prosedur dan pegawai yang menjalankannya. Menurut dia, dari hasil gambar Hico memang diindikasikan isi kontainer tidak sesuai dengan pemberitahuan. "Proses pencarian minuman keras dilaksanakan sepenuhnya karena sudah masuk area pidana," kata Sumiyati.

Tempo beberapa kali mendatangi kediaman Sumadi Seng di Jalan Pluit Samudra 5 Nomor 29, Jakarta Utara, untuk meminta konfirmasi semua tuduhan itu. Rumah dua lantai bercat cokelat tersebut terlihat sepi. Saat Tempo ke sana lagi pada Kamis pekan lalu, surat permohonan wawancara diterima Mur, asisten rumah tangga kakak Sumadi, Sumartono Seng. Rumah megah tiga lantai milik Sumartono itu terletak persis di sebelah kiri kediaman Sumadi. "Nanti kami sampaikan ke Bapak," ujar Mur, buru-buru menutup pagar rumahnya.

Tempo juga menyambangi kantor Sumadi di belakang rumahnya di Jalan Pluit itu. Kantor yang tak memiliki plang nama itu tampak sepi. "Bapak tidak ada," kata seorang pegawai pria di sana yang meminta namanya tak ditulis. Sumadi juga tidak menjawab pesan pendek dan panggilan di telepon selulernya sepanjang pekan lalu.

Linda Trianita, Syailendra Persada

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus