Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BADAI siklon Cempaka pada November 2017 menyisakan sampah-sampah perusak hutan bakau di muara Sungai Opak. Ribuan pohon mangrove yang berada tak jauh dari Pantai Depok dan Pantai Samas, Yogyakarta, itu hanyut tersapu badai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bakaumuda yang baru ditanam menghadapi ancaman serius dari timbunan sampah yang dibawa badai siklon. Sampah mematikan pohon bakau karena membelit dan membusukkan batang-batangnya. "Pertumbuhanmangroveterganggu. Sampah jadi musuh kami," kata Ketua Divisi Konservasi Kelompok Pemuda Pemudi Baros, Dwi Ratmanto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hutan konservasibakau di pesisir Dusun Baros, Desa Tirtohargo, Kretek, Bantul, ini memang sulit lepas dari sampah. Pernah suatu hari sampah yang dikumpulkan sampai lima truk. Total luas hutanmangrove15 hektare.
Sampah terbawa arus Sungai Opak, lalu sampai ke muara. Sampah menumpuk hampir tiap hari. Saat hujan lebat dan terjadi banjir di hulu, sampah menumpuk di Baros. Bisa puluhan ton jumlahnya. Dwi dan pemuda pedulimangrovelainnya mengantisipasi hal itu dengan memasang jaring di kawasan vegetasi.
Daniel Murdiyarso, peneliti senior Pusat Penelitian Hutan Internasional (CIFOR), berharap keberadaan bakau terus dipertahankan di mana pun berada. Meski jumlahnya sedikit, tanaman ini punya keistimewaan untuk mitigasi perubahan iklim. Mangrove berdampak secara ekologis, seperti menjadi tempat pemijahan ikan, area ikan bertelur, dan tempat ikan-ikan kecil terlindung dari predator.
Daniel mengatakan pemerintah daerah harus punya kebijakan melindungi tumbuhan ini di kawasan pesisir. Caranya dengan menetapkan status hutan bakau sebagai kawasan lindung atau konservasi agar tanaman ini bisa menjadi sumber mata pencarian penduduk lokal.
Menurut Daniel, manfaat langsung yang bisa dirasakan masyarakat jauh lebih penting ketimbang skema perdagangan dan insentif karbon. "Itu ekspektasi yang berisiko. Misalnya, mereka menunggu pembeli karbon dari Norwegia yang enggak datang. Lebih baik mereka terima manfaat lokal," ujarnya.
Peneliti CIFOR lainnya, Sigit D. Sasmito, mengatakan penghitungan emisi karbon mangrove belum secara spesifik masuk penghitungan emisi nasional. Jumlah data penghitungan emisi karbon pun masih terbatas. Menurut dia, penelitian tentang bakau sebagai mitigasi perubahan iklim melalui nilai karbonnya baru ada pada 1992. Berkali-kali penghitungan karbon terus diperbaiki oleh peneliti dunia lainnya.
Dwi Ratmanto mengatakan komunitasnya menjaga mangrove dengan cara aktif bekerja sama dengan sejumlah kampus di Yogyakarta. Hutan bakau di Baros telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi oleh Pemerintah Kabupaten Bantul. Kawasan ini dimanfaatkan untuk wisata minat khusus berbasis konservasi. "Setiap wisatawan yang datang wajib menanam mangrove supaya tanaman ini lestari," kata Dwi.
Mereka bisa belajar mengenal ekosistem muara Opak serta melihat keanekaragaman hayati mangrove dan ekosistemnya, di antaranya kepiting khas Baros yang diberi nama kepiting biola dan spesies amfibi. Wisatawan juga dapat menyaksikan 48 jenis burung dan biawak. Selain itu, ada burung-burung migran yang mampir ke kawasan mangrove Baros.
Shinta Maharani
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo