Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para perempuan muda turun tangan membangun pendidikan tentang lingkungan.
Mereka membangun kegiatan belajar yang juga membantu menangani masalah sampah.
Bekerja dengan mengandalkan kreativitas dan dana sendiri.
BELASAN keranjang wadah bibit aneka sayur berjejer di rak bertingkat. Pohon tomat, serai, okra, cabai merah, dan terung memenuhi petak-petak tanah hitam berdinding botol kaca. Pot-pot berisi selada tergantung di tembok kebun yang dipenuhi tanaman rambat. Uap teh rosella hangat berwarna merah yang baru dituang di cangkir menguar di udara. “Setiap hari pasti ada sayur dari hasil kebun ini yang bisa dinikmati,” kata Siti Soraya Cassandra pada Selasa, 21 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan 30 tahun yang biasa disapa Sandra itu membangun Kebun Kumara bersama suaminya, Dhira Narayana, pada Juli 2016. Proyek perkebunan organik di lahan seluas 300 meter persegi itu berada di Situ Gintung, Tangerang Selatan, Banten. “Kami patungan modal dibantu adik-adik saya,” kata Sandra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sandra memutuskan menjadi petani karena jenuh bekerja sebagai pegawai kantor. Tidak adanya pengalaman di bidang pertanian membuat alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu mengambil kursus berkebun dulu di Yogyakarta. Dia juga berdiskusi dengan temannya yang lebih dulu menjadi petani tanaman organik di Kota Pelajar itu.
Irene Sohilait. Facebook.com/Irene Sohilait
Menurut Sandra, usaha mereka gagal total pada tahun pertama. Semua pekerjaan, dari menanam bibit sampai mengolah kompos, juga pelatihan pertanian, tak menghasilkan. Modal pun habis. Tapi Sandra dan timnya tak menyerah. Mereka ingin Kebun Kumara menjadi tempat warga kota untuk mengenal dan merawat lingkungan.
Mereka pun mendesain ulang kebun dan belajar bertani lagi. Pada akhir 2017, hasil Kebun Kumara bisa dinikmati. Pengunjung berdatangan untuk belajar. “Orang awalnya enggan berkebun karena tidak terbiasa main tanah dan kotor,” ucap Muhammad Muntaha Yasin, petani muda yang membantu Sandra merawat Kebun Kumara.
Selain menjual bibit tanaman, Kebun Kumara menyediakan program pelatihan bertani, membuat kompos, dan mengolah limbah botol plastik. Para petani di Kebun Kumara juga mengubah sebagian lahan di Situ Gintung yang tadinya tempat penimbunan sampah menjadi kebun kecil dan rumah kompos.
Kesuksesan Kebun Kumara membuat Sandra diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Bogor bersama sejumlah anak muda lain dalam perayaan Sumpah Pemuda pada 2017. Kini, dibantu tiga pegawai dan puluhan sukarelawan, Kebun Kumara menjadi tempat belajar warga kota untuk merawat lingkungan lewat berkebun di lahan kecil. “Dengan berkebun, orang pasti akan mengurusi sampahnya dan berusaha menjaga tempatnya tetap bersih,” ujar Sandra.
Wiwik Subandiyah saat mengajar anak usia sekolah dasar. Dok. Pribadi
Masalah pencemaran lingkungan juga mendorong Anita Resky turun tangan. Sanitarian di Pusat Kesehatan Masyarakat Polowijen, Kota Malang, Jawa Timur, itu merancang program pelatihan untuk mengurangi limbah popok sekali pakai pada 2017. “Warga kerap membuang popok ke saluran air kampung dan sungai-sungai,” tutur Anita, yang mendirikan Rumah Diapers sebagai tempat pelatihan pada 2019.
Menurut Anita, sebagian penduduk Kota Malang mempercayai mitos suleten alias ruam merah pada bokong dan paha bayi muncul gara-gara popok dibuang ke tempat sampah dan dibakar. Walhasil, mereka membuang popok ke kali. Mitos tersebut juga banyak dia jumpai di daerah lain di Pulau Jawa. “Ini jadi masalah besar karena tinja masuk ke aliran sungai dan bisa merusak sumber air,” ujar perempuan 30 tahun itu.
Anita menjalankan pelatihan itu dengan pendekatan ke pos pelayanan terpadu, ketua rukun tetangga, hingga kecamatan yang memiliki kegiatan rutin membersihkan sungai. Dia juga meminta warga tidak membakar popok karena materialnya terbuat dari plastik yang bisa melepaskan senyawa dioksin yang beracun.
Setiap bulan, Rumah Diapers menerima sekitar 800 popok bekas yang sudah dibersihkan. Material penyerap cairan alias hidrogel di dalam popok bisa dimanfaatkan sebagai campuran media tanam. Adapun pembungkusnya, setelah dicuci bersih, dapat diolah menjadi kerajinan tangan. “Ada beberapa penolakan, terutama dari para ibu paruh baya yang merasa ribet melakukannya, tapi kami bujuk pelan-pelan,” ucap Erny Setyorini, salah satu koordinator Rumah Diapers di Kelurahan Polowijen.
Program Rumah Diapers diganjar penghargaan bidang sanitasi oleh Kementerian Kesehatan pada 2019. Sejumlah pelatih sanitasi dari beberapa daerah, antara lain dari Kabupaten Blora, Jawa Tengah; Situbondo, Jawa Timur; dan Pinrang, Sulawesi Selatan, datang ke Rumah Diapers untuk belajar. “Semoga program ini bisa direplikasi di puskesmas lain untuk mengurangi limbah popok,” kata Anita.
Irene Mindelwill Sohilait juga kesal melihat tumpukan sampah di Kota Ambon, Maluku, ketika pulang setelah merampungkan program magister bidang ilmu lingkungan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 2006. Sampah juga mengotori pantai dan hutan bakau. Penduduk Ambon setiap hari menghasilkan sekitar 70 ton sampah. “Ada yang dibuang ke jurang di sekitar Gunung Nona, padahal itu daerah tangkapan air,” tutur perempuan kelahiran Ambon 39 tahun lalu itu.
Pemerintah Kota Ambon membangun tempat pembuangan sampah akhir yang baru sekitar 15 kilometer dari kota. Irene, yang juga pegawai Dinas Lingkungan Hidup dan Persampahan Kota Ambon, melakukan riset kecil tentang pengelolaan sampah rumah tangga. Rupanya, warga tak tahu cara memilah dan mengolah sampahnya. Selain bekerja bersama pemerintah kota untuk urusan kebersihan, Irene merintis komunitas Green Moluccas pada 2011 untuk membantu mengatasi masalah sampah di Ambon.
Anita Resky dengan tas berbahan diapers. Dok. Pribadi
Menggunakan dana mandiri, para sukarelawan Green Moluccas mengelola sekolah alam bagi sekitar 150 anak pemulung di sekitar tempat pembuangan akhir. Kurikulum sekolah yang disokong 12 tutor dan 30 sukarelawan itu berisi pendidikan lingkungan hidup, kebencanaan, dan pola hidup sehat. Anak-anak mengikuti kegiatan sekolah alam setelah belajar di sekolah reguler. “Mereka bebas mau belajar apa dan ikut tutor yang mana,” ujar Irene, yang mengajar pendidikan lingkungan hidup.
Wiwik Subandiah juga membangun tempat pendidikan kreatif untuk membantu anak-anak di kampungnya di Desa Pesantren, Jombang, Jawa Timur, belajar tentang lingkungan. Wiwik dan suaminya mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Alam Riang setelah memutuskan mundur dari pekerjaan mereka di Surabaya pada 2012. “Waktu itu sempat ditentang orang tua, tapi kami jalan terus karena sudah berkomitmen,” kata Wiwik pada Selasa, 21 April lalu.
Wiwik mengembangkan TBM Alam Riang bekerja sama dengan organisasi nirlaba Green-Book, yang memiliki program kegiatan lingkungan untuk membantu pasokan buku anak-anak. Dia juga berkolaborasi dengan petani organik di Jombang untuk mengembangkan lahan perkebunan yang terintegrasi dengan kolam ikan. Dari situ, anak-anak belajar tentang tumbuhan dan pengolahan pupuk dari kotoran ikan.
Lewat kegiatan di TBM Alam Riang, menurut Wiwik, anak-anak belajar tentang tumbuhan serta cara memilah sampah dan membuat kompos. Wiwik juga berusaha mengubah kebiasaan anak-anak kampung menjebak burung untuk bermain. Wiwik mengungkapkan, awalnya mereka tidak tahu bahwa burung yang ditangkap itu membantu petani dengan memakan ulat yang menjadi hama tanaman. “Mereka belajar soal alam,” ujar Wiwik, yang pernah mengenyam pendidikan sastra Jepang di Universitas Negeri Surabaya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo