Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MULANYA adalah 2015. Yerry Wirawan, dosen sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hendak bertolak ke Kyoto, Jepang, untuk menghadiri konferensi seputar periode pascakolonialisme. Mengikuti saran seorang kenalan, Yerry terpikir untuk menyampaikan presentasi tentang S. Rukiah, penulis perempuan yang aktif pada masa transisi kemerdekaan. Keinginan itu terbentur sejak awal karena ternyata sulit sekali bagi Yerry menemukan buku-buku Rukiah. Di Perpustakaan Nasional pun tak ada.
Buku Rukiah akhirnya Yerry temukan justru dari koleganya di Kyoto. Yerry menerima dua buku dalam bentuk fotokopian, Kejatuhan dan Hati serta Tandus. “Beruntung sekali sejumlah karya-karya Rukiah masih tersimpan di beberapa perpustakaan di luar negeri,” kata Yerry ketika dihubungi pada Selasa, 13 April lalu.
Belakangan, dua rangkap fotokopian itu disodorkan Yerry pada Bilven Rivaldo Gultom, pendiri toko buku dan penerbitan Ultimus di Bandung. Ultimus dikenal sebagai penerbit yang memunculkan buku-buku karya eks tahanan politik, eksil, atau dalam istilah Bilven, “karya-karya dari penulis yang tak tidak mungkin diterbitkan oleh penerbit lain.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo