Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yulianus Joli Hisage, 38 tahun, masih ingat betul hari yang mengubah jalan hidupnya. Jumat, 6 Oktober 2000, matahari belum lagi di atas kepala ketika Polisi Resor Jayawijaya, Papua, berge-rak ke seluruh penjuru Kota Wamena. Mereka bertugas menurunkan bende-ra Papua, Bintang Kejora, lambang kemerdekaan Papua, yang berkibaran hampir di setiap sudut kota. Ketegang-an pun menjalar di sekujur kota.
Situasi genting itu memaksa Yuli turun ke jalan. Dia tak ingin terjadi pertumpahan darah. Kepala suku Honena ini minta para warganya yang sudah terprovokasi isu Papua Merdeka tidak melawan polisi. ”Supaya tidak jatuh korban,” kata Yuli.
Tapi, upaya Yuli justru membuat polisi curiga. Saat Yuli sibuk menasihati warganya, polisi menodongkan pistol ke arah-nya. War-ga Distrik Pugima ini dicurigai sebagai anggota kelompok Pa-pua Merdeka. Beruntung, Frater Tar-sius Awe dari Gereja Katolik Wamena muncul menyelamatkan Yuli. Kepada polisi bermuka kenceng, Frater Tarsius menjelaskan siapa si Yuli. ”Dia ini guru agama,” kata Frater.
Sementara itu, situasi kota semakin panas. Polisi bahkan sempat dihadang puluhan lelaki berwajah beringas. Bersiap dengan kapak, parang, tombak, dan panah, mereka merangsek maju ketika polisi berhasil menurun-kan bendera dan me-robek-robeknya. Situasi menjadi tak ter-kendali ketika bedil polisi menya-lak. Bentrok fisik tak lagi bisa dicegah. Rumah dibakar, harta dijarah. Kebrutal-an itu menjalar hingga ke desa-desa sekitar. Warga pendatang menjadi sasaran. Setidaknya 30 orang tewas, lebih dari 75 orang luka berat, dan ratusan orang meng-ungsi akibat kerusuhan itu. ”Banyak kawan saya yang guru pendatang jadi korban, terutama yang belum sempat diungsikan ke Markas Kodam Wamena,” kata Yuli mengenang.
Hari-hari setelah kerusuhan, k-ece-mas-an menggantung begitu pekat di langit. Konflik lanjutan bisa muncul setiap saat. Yuli risau, konflik an-tar-suku yang pernah melanda kawasan itu, 30 tahun lampau, bakal ter-ulang lagi. Ini konflik yang membuat kehidup-an masyarakat jadi me-rana dalam banyak hal.
Yuli patut khawatir. Tidak cuma membawa korban jiwa, konflik juga membuat daerah sulit berkembang. Apalagi, Papua memiliki akar konflik yang amat beragam yang meliputi ekonomi, politik, adat, batas wilayah, juga religi. Kebijakan peme-rintah menyatukan wilayah juga dianggap sering memicu konflik antarsuku. ”Tiap suku punya strukturnya sendi-ri. Jika di-gabung, biasanya muncul permusuhan,” katanya. Ada juga permasalahan warisan dendam lama perang antarsuku pada masa lalu yang kerap memperburuk situasi.
Sejarah mencatat, budaya pe-rang menempati posisi penting bagi suku-suku penghuni Lembah Baliem. Suku Dani, yang juga suku terbesar di Ba-liem, menganggap bahwa perang adalah sumber kekuasaan dan kehormatan. Perang seperti ini ada rambu-rambu hukumnya yang diatur ke-tat oleh adat. Misalnya, perang dilakukan demi perdamaian, internal antarsuku, dan bukan menyerang warga pendatang. Setiap perang pun ha-rus ditutup dengan upacara perdamaian, yakni dengan menggelar acara bakar batu. Pada saat itu, mereka yang bertikai duduk dan makan bersama.
Tapi, kenapa banyak warga pendatang jadi korban dalam kerusuhan tahun 2000 tersebut? ”Pasti ada yang salah. Banyak tatanan hidup positif dari setiap suku yang mulai hilang,” begitu kesimpulan Yuli.
Prihatin dengan kondisi itu, Yuli dan kawan-kawan membentuk pusat belajar yang dinamai ”Yayasan Silimo Bina Adat”, pada tahun 2000. Kampung halaman Yuli, Tiwee, Pugima, dipilih sebagai lokasi. Sebuah honai (rumah) dijadikan pusat kegiatan.
Maka, saban Kamis, honai itu dipenuhi anak-anak putus sekolah dari berbagai distrik. Mereka diajari pelajaran umum, bahasa Inggris, sampai seni tradi-sional Jayawijaya. Tidak jarang para tetua adat be-rembuk di honai ini jika ada konflik.
Dan yang paling penting, Yuli dan kawan-kawannya meniupkan pesan-pesan perdamaian. Agar lebih efektif, Yuli menulis buku khusus soal budaya Lembah Baliem. Dia juga menyadur lagu-lagu perdamaian dalam sejumlah bahasa suku Baliem.
Suatu saat, Yuli bertemu Ichsan Malik, Direktur Institut Titian Perdamaian, sebuah lembaga perintis perdamaian. Ichsan menawari Yuli untuk mengikuti pelatihan fasilitator penyelesai-an konflik. Demi mimpi mewujudkan Papua damai, Yuli pun ikut pelatihan di Jakarta. Dia belajar tentang jurus-jurus ideal membangun perdamaian di te-ngah konflik. ”Belajar memperjuangkan hak-hak dengan cara damai,” -katanya.
Tahun 2004, Yuli resmi ditahbiskan sebagai anggota jaringan Institut Perdamaian. Tugasnya memba-ngun sistem perdamaian di kampungnya, Lembah Baliem. Jika terjadi konflik, Yuli bertugas mencari solusi damai.
Uji coba perdamaian dimulai dari sukunya sendiri, Honena. Zona damai dibangun, tim perdamaian juga dibentuk dengan anggota para tokoh dari setiap wilayah adat. Mereka mendapat mandat untuk menuntaskan konflik tanpa kekerasan.
Sukses dengan Honena, kini gilir-an suku-suku lain digarapnya. Sejauh ini, upaya Yuli berhasil. Dua tahun terakhir, Lembah Baliem relatif bebas dari konflik.
Suatu hari pada April, 2003. Hari mulai gelap saat bus yang ditumpa-ngi Husaima Husein, 38 tahun, dan ketiga kawannya berhenti di Kecamatan Sumarorong, Kabupaten Mamasa. Sopir dan kernet bus itu memastikan perjalanan Ema—panggil-an akrab Husaima—berakhir. Padahal, Mamasa, daerah tujuan mereka, masih berjarak tempuh tiga jam lagi. Kata si sopir, ”Ada kerusuhan.”
Apa boleh buat, meski penat setelah 10 jam diguncang bus dari Makassar, Ema dan ketiga kawannya dari Community Justice Institute terpaksa pasrah. Mereka terdampar di daerah antah-berantah.
Lahir di Pare-pare, 2 Juni 1968, Ema adalah aktivis perempuan yang ter-libat aktif dalam pendampingan kasus-kasus buruh, kekerasan rumah tangga, perlindungan anak, hingga konsumen. Adalah kerusuhan Maluku dan Poso yang akhirnya membawa-nya menjadi fasilitator konflik.
Mamasa, inilah tugas pertama Ema setelah diwisuda menjadi fasilitator per-damaian, Institut Titian Perdamai-an, pada 2002.
Bara api yang membakar Mamasa ber-awal dari disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Mamasa dan Polewali. Dalam lampiran un-dang-undang tersebut disebutkan, ada tiga kecamatan, yakni Arralle, Ta-bulahan, dan Mambi—biasa disebut ATM—bergabung dalam Kabupaten Mamasa. Inilah masalahnya. Warga ATM menolak bergabung dengan Mamasa dengan berbagai alasan.
Dan malam itu, Ema memutuskan sing-gah di Gereja Pantekosta Sumaro-rong. Bapak penjaga gereja yang baik hati itu bukan hanya memberi tempat istirahat. Dia juga membantu Ema memetakan konflik. Isu SARA, menurut Pak Penjaga, adalah pemicu konflik yang paling utama. Melalui bantuan Pak Penjaga pula, Ema mengenali sejumlah nama penting di Mamasa, baik yang pro maupun yang menolak bergabung dengan Mamasa.
Empat malam Ema menginap di kawasan Sumarorong. Memetakan dan mengidentifikasi sederet aktor penting dalam kehidupan Mamasa adalah tugas Ema. Hari keempat, ia memutuskan balik ke Makassar.
Tiga hari kemudian, Ema kembali ke Mamasa. Dengan membawa kenda-raan pribadi, tim Ema langsung ke ru-mah Ahmad Appa, Camat Mambi, tokoh yang berpengaruh di wilayah Mambi yang didominasi kelompok mus-lim. Puluhan orang lengkap de-ngan golok menyambut Ema. Beruntung, ketegangan reda setelah tim Ema memperkenalkan diri.
Diskusi dengan para tokoh Mambi pun segera digelar. Tak berhenti di si-ni. Ema melanjutkannya dengan serang-kaian diskusi bersama tokoh dari Aralle, Tabulahan, juga de-ngan tokoh dari Kabupa-ten Mamasa yang pro-pe-mekaran.
Silang-sengkarut permasalahan -mu-lai jelas. Rupanya, terjadi sengketa- tapal batas tanah yang meluas menjadi konflik setelah pemekaran kabupaten. Sentimen SARA pun muncul dan seolah menjadi satu-satunya pemicu ketegangan. Segregasi kelompok di wilayah ini memang terjadi begitu mudah. Mamasa, misalnya, adalah wilayah yang didominasi masyarakat yang dekat de-ngan suku Toraja dan sebagian besar beragama Kristen. Sementara itu, Polmas merupa-kan wilayah suku Mandar yang mayo-ritas beragama Islam.
Sebagai catatan, ketiga kecamatan yang bergolak merupakan pertemuan dua suku, Mandar dan Toraja. Tiap suku merasa khawatir menjadi minoritas apabila ketiga kecamatan bergabung menjadi satu kabupaten de-ngan Mamasa.
Konflik ini juga dibumbui nilai sejarah. Syahdan, Mamasa pada era lalu adalah daerah jajahan Kerajaan Mambi. Perbedaan status sosial masa silam ini juga berisiko memicu penolakan.
Meskipun demikian, ada sedikit harapan. Ketiga kelompok yang bertikai se-sung-guhnya amat mengingin-kan perdamaian. Modal itu--lah yang memungkinkan Ema, lulusan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun 1993, bisa menggelar dialog dengan berbagai kelompok di Mamasa. Setelah serangkaian diskusi melelahkan, Ema menyimpulkan ada-nya sejumlah kesamaan. ”Masing-masing kelompok mudah terprovokasi dan sensitif, meskipun memiliki nilai lokal yang sama,” kata Ema.
Setahun kemudian, setelah ia wara-wiri ke Ma-kassar, Arralle, Tabulahan, dan Mambi, barulah kelompok yang berti-kai bisa dipertemukan. April 2004, ke-lom-pok yang pro dan kontra terhadap pe-mekaran Mamasa sepa-kat berda-mai. Napas panjang ke-legaan bisa dihe-la.
Namun, perdamaian tak berlangsung lama. Akhir 2004, bentrok fisik terjadi lagi. Meski tak ada korban jiwa, tiap kelompok saling menutup akses. Akibat konflik ini, puluhan orang ditangkap dan digiring ke kantor polisi Pare-pare.
Tim Ema kembali beraksi. Dengan izin polisi, Ema mempertemukan kelompok yang bertikai lagi. Hasilnya, mereka sepakat berdamai.
Tentu saja tak ada yang berharap konflik meledak lagi di Papua, di Mamasa, di wilayah mana pun di Indonesia. Namun, seperti kata Ema, ”Kerja belum selesai.” Masih banyak PR yang harus kita bereskan, demi mewujudkan kebersamaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo