Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NEGERI yang begitu besar ini punya perekat mahadahsyat. Perekat yang menyatukan perbedaan bangsa tanpa gembar-gembor jargon membosan-kan. Perekat yang mewujud pada sosok orang-orang biasa yang bekerja tulus. Tanpa menghitung tetes keringat, mereka merawat negeri yang bhineka ini.
Mari berkenalan dengan I Nyoman Marayasa, yang berasal dari Desa Griyana Langen, Karang Asem, Bali. Lelaki 76 tahun ini benar-benar sosok guru yang patut digugu (dianut) dan ditiru.
Mare, begitu lelaki ini akrab disapa, mengenang suatu hari yang lampau. Pada 1963, Gunung Agung mengamuk hebat. Gebrakan gunung setinggi 3.000 meter ini membuat Desa Griyana Langen hancur berantakan. Sekolah dasar yang dipimpin Mare, tempat dia membaktikan diri, luluh-lantak.
Bersama 531 kepala keluarga lainnya, Mare mengungsi. Ribuan kilometer mereka tempuh, berlari dan berlayar di tengah lautan. Sampai akhirnya mereka sampai di Lembah Domunga, 200 kilometer dari Manado, Sulawesi Utara.
Hidup baru pun berawal. Mare dan kawan-kawan membabat belantara. Setahun lamanya mereka mengayun kapak di Lembah Domunga. Mereka membangun Desa Werdhi Agung, kampung halaman yang baru.
Selama itu pula Mare merasa tersiksa. Bukan lantar-an kerja keras menebang kayu. Bukan karena buku jemari-nya menebal hingga tak lagi lincah memainkan pensil. Mare risau lantaran anak-anak Desa Werdhi Agung tak lagi bersekolah. Apa jadinya masa depan bocah-bocah cilik ini?
Tak ingin anak-anak menanggung masa depan suram, Mare pun nekat pergi ke Manado. Dia hendak melapor ke Dinas Pendidikan Provinsi Sula-wesi Utara. Berjalan kaki tiga hari tiga malam, Mare tak peduli. Dia rindu ingin mewarnai jiwa dan mendidik anak-anak.
Syukurlah, kerinduan Mare untuk mendidik anak-anak pun terwujud. Tak sampai setahun setelah babad alas di Desa Werdhi Agung tuntas, peme-rintah membangun sekolah menengah pertama di sini.
Murid Mare lumayan banyak. Anak-anak dari desa sekitar Werdhi juga turut bergabung. Misalnya dari Kembang Kerta (desa sebelah yang juga didominasi komu-ni-tas Bali), dari Ibolian (desa yang dihuni suku asli Mo-ngondow yang muslim), ju ga dari Mopuya (desa yang ma yoritas pendu-duk-nya warga trans-mi-gran dari Jawa). Se-da-ri awal Ma-re me-ne-rap-kan ke-bi jak-an: tak ada pem-be-da-an asal murid, apa-kah itu pen duduk asli atau pendatang, mus-lim atau Hindu. Se-mua-nya menda-pat perlakuan sa-ma. Anak-anak disatukan dalam satu bahasa peng-antar: bahasa Indonesia.
Memang ada identitas kuat yang diciptakan di sekolah itu: budaya Bali. Mare mengajarkan ber-bagai kesenian khas Pulau Dewata di pelosok Sulawesi itu. "Anak-anak belajar bermain drama-, memukul gamelan, menari pendet, menari le-gong," kata Mare, "tak peduli dia dari Bali atau bukan."
Uniknya, menurut Mare, anak-anak de-ngan luwes menerima silang budaya. Pada 1976, ketika Presiden Soeharto berkunjung ke Bolaang Mongondow, mi-salnya, lakon drama Layonsari malah disuguhkan oleh anak-anak Minahasa. Dalam kesempatan lain, "Saat digelar lomba tari tradisional Mongondow, yang jadi juara malah anak Bali," kata Mare.
Mare pun tersohor sebagai guru yang baik. Reputasinya membuat Dinas Pendidikan Bolaang Mongondow langsung mengabulkan permintaannya untuk mendirikan sekolah mene-ngah atas di Desa Werdhi Agung. Beberapa pejabat bahkan secara khusus meminta Mare mendidik remaja yang dikenal sangat bengal. Pendekatannya sukses membuat bocah superbandel menjadi baik. "Malah ada di antara mereka kini bertugas di Jepang," kata Mare bangga.
Kini, hampir setengah abad berlalu sejak Desa Werdhi Agung pertama kali dirintis. Mare menikmati masa pensiun dengan tenang. Tak pernah ada konflik di tanah yang telah dia tanami dengan ide merayakan perbedaan ini. Lebih dari sekadar mendidik, dia telah berandil besar menciptakan komunitas multisuku dan agama. Umat Hindu, Islam, Kristen, Bali, Mongondow, Jawa, Minahasa, hidup bersama di Lembah Dumoga (lihat Hidup Rukun di Lembah Dumoga).
Jauh di Jailolo, Maluku Utara, kita bertemu dengan sosok perekat keragaman yang lain. Dia-lah -Mu-cha-mad Su-naryo. Datang dari kampungnya di -Tu-ban, Jawa Timur, re-lawan yang juga je-bolan Universitas- Negeri Malang ini ne-kat tinggal di kawasan yang tak jera dirun-dung konflik. Dia merintis gerakan da-mai warga Islam-Kristen. Dia mengajak warga bersatu membangun sekolah bagi anak-anak peng-ungsi.
Sunaryo berhasil. Penduduk yang tadinya rajin bertikai tergugah memikirkan nasib tunas-tunas muda. Puluhan sekolah berdiri di Jailolo.
Jailolo bukan lahan per-tama bagi Sunaryo untuk me nebar damai. Sebelumnya, pa-da 2001, tak lama seusai konflik an-tar-etnis di Kalimantan, Sunaryo aktif mem-bantu penanganan trauma pasca-kon-flik di Kabupaten Sampang, Madu-ra-.
Ambon manise. Mari bertemu de-ngan Suster Brigitta Renyaan, 52 tahun-. Perempuan yang pernah bergabung dengan tarekat Putri Bunda Hati Ku-dus ini tak segan menanggalkan sera-gam biarawati, demi membangun re-konsiliasi antarumat ber-agama di Am-bon.
Suster Brigitta tegas menolak ajakan- pimpinan tarekat yang meminta dia meninggalkan Maluku dengan alasan keamanan. Bahaya, berteman dengan maut, tak membuat hatinya kecil. Dia bertekad mengajak perempuan di Ambon terlibat aktif melakukan rekon-siliasi, membenahi jalinan sosial yang tercabik konflik berkepanjangan.
Bergabung dengan Baku Bae, sebuah forum yang mempertemukan dua komunitas antarumat beragama, Suster Brigitta merancang program perdamaian di tingkat rakyat. Pekerjaannya bermacam-macam. Meng-urusi anak-anak putus sekolah, mendata korban konflik, sampai menyerukan ajakan stop aksi kekerasan di berbagai kalangan yang bertikai.
Sama gagahnya dengan Suster Brigitta, dialah Husaima Husein. Perempuan 38 tahun ini tak gentar meng-hadapi rentetan ancaman kala bekerja di tengah wilayah konflik di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Upa-yanya telah membuahkan damai. Tapi dengan rendah hati dia berkata, "Kerja belum selesai." Masih banyak hal yang harus ditangani.
Bergerak ke ujung timur Indonesia, kita berjumpa dengan Yulianus Joli Hisage. Kepala suku Honena ini menyemai bibit perdamaian di anta-ra suku-suku asli di Papua. Di tanah Papua yang terik, Yuli bekerja tanpa henti. Dia menyirami rumput ke-ring, berupaya mengikis dendam lama, dan mengajak warga puluh-an suku di Lembah Baliem men-cintai perdamaian (baca Kisah Para Pengibar Bendera Putih).
Syukurlah, negeri ini masih memiliki Yulianus, Mare, Sunaryo, Suster Brigitta, juga ratusan ribu nama lain yang bekerja tanpa lelah mewujudkan perdamaian. Nama mereka tak pernah menghiasi halaman utama koran nasional, apalagi buku sejarah murid sekolah. Tapi mereka tak peduli.
Bagi mereka, damai adalah jalan hidup yang harus diupayakan dengan kerja keras. Perbedaan dan keragaman adalah berkah yang wajib dirayakan. Itulah sebabnya, mereka muncul bagai oase sejuk di tengah negeri yang terik.
Tengoklah ketika alam mengirim-kan tsunami dan gempa bumi di Nang-groe Aceh Darussalam, Bantul, Yogyakarta, dan Jawa Barat. Ribuan orang dari berbagai kalang-an berkumpul, menyingsingkan le-ngan dan saling membantu. Tak peduli lagi siapa mereka dan apa latar belakang mereka. Di tenda-tenda pengungsi-an, kebersamaan itu terjalin. Jika sudah begitu, yang tinggal adalah spi-rit kemanusiaan yang mengungguli sekat-sekat suku dan agama (baca Ketika Batas Religi Meleleh).
Agaknya kita memang harus be-lajar banyak dari orang seperti me-reka. Para pemberani yang dengan gagah menjaga azan dan lonceng tetap ber-gema, biksu membakar dupa, juga pe-danda tetap mengumandangkan mantra dan doa, tanpa takut kehi-langan nyawa. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo