Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rita Retnaningtyas memutuskan kembali ke Miyagi, salah satu kawasan terparah di Jepang yang Maret lalu dihajar keganasan gempa dan tsunami. "Suara-suara itu seperti menyuruh saya kembali," kata perempuan 35 tahun itu.
Bekerja sejak 2009 di Miyagi National Hospital, Rita adalah satu dari sejumlah perawat yang dikirim ke Sendai, Prefektur Miyagi, untuk ikut program kerja sama antara pemerintah Jepang dan Indonesia. Alumnus Akademi Keperawatan Rumah Sakit Telogorejo, Semarang, itu meneken kontrak kerja di Jepang selama tiga tahun. Ketika gempa dan tsunami terjadi di Sendai, Jepang, 11 Maret lalu, banyak warga negara Indonesia di sana yang berbondong-bondong balik ke Tanah Air.
Rita juga pulang ke Semarang. Tapi, setengah bulan di Semarang, ia gelisah. "Rasanya malu juga. Di rumah, saya cuma bisa menenangkan diri, sementara di Miyagi banyak yang bisa dilakukan untuk membantu."
Rita bercerita, ia merasa tak enak dengan koleganya sesama perawat Jepang di rumah sakit itu.
Sehari setelah tsunami meluluhlantakkan Kota Sendai dan sekitarnya, banyak koleganya sesama perawat tetap saja masuk kerja. Padahal anak dan suami mereka juga menjadi korban. "Mereka tetap bekerja. Sebab, secara profesi, mereka sedang dibutuhkan," kata Rita.
Rita bercerita bagaimana pasien-pasien terus mengalir. Dalam kondisi normal, transportasi menuju rumah sakit adalah kereta. Tapi, pascatsunami, jalur kereta terendam air. Satu-satunya akses adalah melalui udara dan helikopter. Kondisi semakin mencemaskan ketika pasien bertambah, sementara bahan makanan menipis karena Miyagi terisolasi. Bahan makanan di toko-toko di sekitar kota itu diborong habis penduduk.
Rita dan kawan-kawannya memilih mengolah onigiri atau nasi yang dipadatkan dan dilumuri kecap asin untuk bertahan hidup. "Itu tak bisa dinikmati tiga kali sehari," ujarnya. "Kadang, kalau siang makan, malamnya menahan lapar karena stok makanan menipis." Sikapnya yang keukeuh bertahan dalam tugas ternyata banyak diapresiasi. Tak kurang Duta Besar Jepang untuk Indonesia memberi penghargaan atas dedikasinya. Pun pujian dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menyambanginya di Kesennuma tiga bulan setelah tsunami.
Meski begitu, Rita tetap saja merendah. Ia merasa apa yang dilakukannya saat itu jauh dari kata profesi. Banyak pekerjaan menanti, termasuk menangani pengungsi. "Saya malu. Sebab, apa yang saya lakukan belum apa-apa dibanding mereka" katanya.
Bukan hanya Rita yang bertahan di lokasi bencana dan membagi hidupnya untuk pengungsi. Di Kesennuma, Prefektur Miyagi—300 kilometer dari Tokyo—Kasiwan, 23 tahun, warga Indramayu, emoh dievakuasi pulang dan bertahan di tengah ketidakpastian. Padahal rumah tumpangan tinggalnya selama bekerja sebagai awak kapal di Kesennuma hancur dihajar tsunami.
Ia langsung menjadi penganggur. Tak jelas hingga kapan. Bos pemilik kapal tempatnya bekerja sama-sama hidup di pengungsian.
Meski begitu, Kasiwan punya satu alasan bertahan. "Saya ingin melakukan sesuatu di sini," katanya. "Saya pernah diselamatkan. Kenapa saya tidak membantu mereka yang membutuhkan tenaga saya?"
Kasiwan berada di pelabuhan ketika gempa sekitar 9 skala Richter mengguncang pesisir itu. Saat itu sirene peringatan meraung-raung. Kasiwan bergerak menjauh dari pantai. Berlari secepat kilat ke arah bukit, toh, tetap saja ia kalah cepat dengan gelombang air hitam itu.
Di tengah keputusasaan itu, ada mobil berhenti di sampingnya. Sepasang suami-istri itu menariknya masuk mobil dan melesat menjauhi pantai. Dari atas bukit sejurus kemudian, Kasiwan menyaksikan dalam hitungan menit bagaimana angkara itu bergulung-gulung dan menerjang apa saja: rumah tumpangannya, pabrik-pabrik pengolahan ikan yang menjadi andalan warga kota, juga tempat kawan-kawannya dari Indonesia bekerja.
Ribuan kapal nelayan beterbangan hingga ke atap-atap rumah, gedung, dan pohon. Belum lagi belasan kapal kargo sepanjang 100 meter, yang terlempar tiga kilometer dari pinggir dermaga. Lalu datang api menjilat apa saja. "Semua seperti neraka," ujarnya. "Tak terbayang, jika tidak diselamatkan mobil itu, saya mungkin sudah mati."
Seperti Kasiwan, Arifin, 24 tahun, awak kapal asal Sulawesi Selatan, punya alasan bertahan. Arifin merasa hidupnya hampir berakhir ketika tubuhnya tak kuat menahan dingin air laut yang merendam separuh tubuhnya. Ia masih beruntung. Tangannya bisa meraih kepala peti kemas, dan bertahan hidup berjam-jam sampai gelombang ganas itu pergi dan surut.
Berhasil keluar dari air, Arifin mencoba berjalan tanpa sepatu di atas tanah bersalju. Malam itu, suhu hampir minus dua derajat Celsius. Arifin sudah mau menyerah hingga di kaki bukit bertemu dengan sepasang kakek-nenek. Keduanya sedang mencari anak dan cucu mereka. "Tapi mereka berhenti mencari dan memeluk saya, memberikan sepatu dan baju hangat, juga makanan," ujarnya "Entah apa yang terjadi jika saya tak bertemu dengan mereka."
Karena itu, sejak Jumat malam itu, 11 Maret 2011, Kasiwan dan Arifin memilih bertahan di lokasi bencana. Tinggal di pengungsian sementara dan menjadi sukarelawan, melakukan apa saja untuk kebutuhan pengungsian. Membantu memasak hingga ikut membersihkan puing-puing.
Selain Rita, Kasiwan, dan Arifin, yang membagi hidup mereka dengan menjadi sukarelawan di daerah bencana, masih ada Suwarti dan kawan-kawannya. Para perawat asal Indonesia yang baru lulus dan bekerja di sejumlah rumah sakit yang berbeda di Jepang ini malah meminta dikirim ke daerah bencana.
Permintaan mereka dikabulkan pemimpin rumah sakit masing-masing. Suwarti, misalnya, yang semula bekerja di Rumah Sakit Palang Merah di Himeji, Jepang Barat, dikirim menjadi sukarelawan di Kota Yamada, Provinsi Iwate. Di provinsi ini, sedikitnya 10 ribu orang meninggal dan ribuan rumah rusak parah. Belasan ribu tinggal di pengungsian, terutama warga Kota Ofunato dan Rikuzentaka.
Di Rikuzentaka, penduduknya nyaris tersapu bersih karena 80 persen kota itu terendam lumpur yang dibawa tsunami. Di Otsuchi, dari 15 ribu warganya, 12 ribu di antaranya hilang.
Tiba akhir April. Suwarti dan timnya bertugas di Posko Pemulihan Rehabilitasi Mental untuk trauma psikis pascabencana. Ia bersama tim Palang Merah Jepang, seorang dokter tulang, dan beberapa perawat mengurusi trauma ratusan pengungsi tsunami Iwate.
Di situ ia membuka posko sendiri. Lalu mencoba membangkitkan semangat para korban dengan menulis dan membuat majalah dinding. Di situ pula ditampilkan tulisan tangan para warga Indonesia di Jepang yang memberi dukungan kepada korban.
Masuk Jepang pada 2008, Suwarti adalah salah satu perawat yang juga ikut program pertukaran perawat antarnegara. Ia baru lulus ujian negara tahun ini dan satu-satunya warga Indonesia yang dilantik menjadi pekerja tetap di Palang Merah Jepang.
Bagi Suwarti, 32 tahun, apa yang dilakukannya bukan hal baru. Pada 2004, ketika Aceh dihajar tsunami, ia menjadi sukarelawan. Saat itu, banyak bantuan mengalir ke Aceh, termasuk dari Jepang. Para dokter dari Jepang, kata Suwarti, tiba dan bertahan membantu menangani pengungsi sampai pascaÂtrauma. Nah, ketika Jepang kini dilanda bencana, kata Suwarti, "Apa salahnya jika saya membagi hidup saya untuk para korban?"
Widiarsi Agustina (Kesennuma, Ichinoseki, Sendai, Miyagi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo