Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kota New York menghangat. Peringatan satu dekade tragedi 11 September, itulah sumber vibrasi di kota supersibuk ini. Gereja Trinity, Lower Manhattan, dua blok dari menara World Trade Center, menyiapkan maraton konser musik. Selain karya musisi Barat, bakal tampil senandung Rubaiyatkarya seniman muslim Omar Khayyam. "Kami menyerukan rekonsiliasi. Umat manusia adalah satu keluarga besar," begitu pesan Trinity, gereja bersejarah yang menjadi tempat merawat ribuan korban luka saat menara kembar WTC rontok dihantam pesawat teroris pada 9 September 2001.
Masih di sekitar menara WTC, tepatnya di Battery Park, panel-panel raksasa disiapkan. Pada deretan panel ini, tepatnya pada 9-12 September, diikatkan puluhan ribu pita dan kain tapestri bertulisan aneka kalimat doa dan harapan. Ribuan sukarelawan ambil bagian dalam acara bertajuk "The Ribbon of Hope" ini, termasuk keluarga dan kerabat korban. Megan Hoelle, salah satu anggota panitia, menjelaskan, "Ini cara kami memaknai peringatan tragedi 11 September, menyembuhkan trauma, dan melangkah ke depan."
Nona Hoelle dijumpai Tempo, bersama tim jurnalis peserta fellowship program Bridging the Gap between United States and Muslim World, East West Center, tiga pekan lalu di New York. Bersama koleganya di Intersections, Nona Hoelle memotori gerakan Prepare New York for the 10th Anniversary of 9/11. Beberapa organisasi terlibat dalam gerakan ini, antara lain Interfaith Center of New York, Auburn Seminary, dan Tanenbaum. "Kami mulai sejak musim panas Juni lalu," kata Hoelle. Dalam waktu singkat, 60 organisasi dengan berbagai latar belakang bergabung, termasuk urunan pendanaan kegiatan.
Menu Prepare New York beragam, antara lain 500 jam serial ngobrol dan minum kopi bersama berbagai kelompok masyarakat. Islam, konsep jihad, posisi perempuan dalam Islam, dan fundamentalisme adalah deretan topik diskusi. Begitu pula soal Park 51, yang kerap disalahartikan sebagai Masjid Ground Zero. "Yang hendak kami bangun bukan masjid, melainkan pusat komunitas muslim di New York. Letaknya pun bukan pas di Ground Zero, tapi beberapa blok dari WTC, yakni di Park 51," kata Daisy Khan, istri imam masjid New York, Rauf Faisal.
"Paranoia dan islamofobia, yang meningkat sejak tragedi 11 September, menjadi bahan bakar kontroversi Park 51," kata Daisy Khan kepada rombongan jurnalis East West Center. Syukurlah, dialog intensif dengan berbagai komunitas di New York mampu meredam kontroversi Park 51.
Teror 11 September memang mengubah wajah Amerika Serikat, juga dunia. Polarisasi jagat Barat dan Islam menjadi lebih tajam. "Setelah tragedi 11 September, tensi menyalahkan Islam terasa meningkat," kata Aisha al-Adawiya, Presiden Muslim Women Lawyer for Human Rights, Washington, DC. Tak sedikit muslimah berjilbab yang saat itu takut keluar dari rumah. "Sebagian mereka jadi sasaran pelampiasan kekesalan terhadap para teroris yang membawa-bawa nama Islam," kata Aisha. Tentu saja itu cuma sikap sebagian kecil orang Amerika. "Yang simpatik dan menolong kami pun banyak juga di sini."
September hitam, tak pelak lagi, menggoyahkan superioritas sang raksasa. "Kenapa kami diserang? Apa salah kami?" begitu pertanyaan yang kerap muncul dalam ratusan diskusi Prepare New York. Ada 3.000-an warga Amerika tewas dalam teror keji itu. Sampai hari ini, satu dasawarsa kemudian, pertanyaan itu masih bergema: "Kenapa kami dibenci? Apa sebenarnya tujuan Usamah?"
Target teror 11 September memang bukan individu. Serangan itu bagai tamparan kencang bagi politik luar negeri Amerika Serikat. Kebijakan yang berstandar ganda, misalnya dalam kasus Palestina oleh Israel, dinilai memojokkan dunia Islam. Kesalahan demi kesalahan menumpuk, termasuk dengan tidak membangun dialog, edukasi, dan partisipasi publik dalam kebijakan luar negeri. "Akibatnya, timbul sikap ignorance," kata Marc Charles Ginsberg, mantan Duta Besar Amerika di berbagai negara Timur Tengah. Warga Amerika menjadi tidak kritis terhadap kebijakan luar negeri pemerintahnya. "Kondisi ini meminta bayaran yang amat mahal," kata Ginsberg.
Bayaran mahal itu kian berat. Sepuluh tahun lalu, Presiden George W. Bush merespons teror 11 September dengan kibaran bendera perang. Perburuan Usamah bin Ladin, juga jaringan Taliban dan Al-Qaidah, menjadi kisah epik sepanjang sejarah perang modern. Area perburuan terentang luas mulai Afganistan, Pakistan, dan merembet sampai Irak. Slogan war against terror menggema ke seluruh penjuru dunia.
Awalnya, Bush mematok anggaran US$ 60 juta untuk perang ini. Angka yang dengan segera menggembung tak terkendali. Joseph Stiglitz, ekonom, memperkirakan biaya perang melawan teror ini mencapai US$ 3-5 triliun. Stiglitz menyebut eskalasi ongkos ini sebagai gabungan ketidakjujuran dan inkompetensi kolosal.
Kini, sepuluh tahun kemudian, serangan teroris 11 September menampilkan dampak yang sesungguhnya bagi sang super-power. "Mungkin dalam bentuk yang tak pernah dibayangkan Usamah bin Ladin," tulis Stiglitz dalam kolom "The Price of 9/11".
Medan perang demi medan perang, Kabul-Bagdad-Fallujah-Peshawar, dibiayai dengan surat utang. Lemak tabungan finansial yang ditumpuk di masa Bill Clinton tergerus habis.
Ribuan prajurit, peralatan perang, dan korps diplomatik diongkosi utang yang memberat. Sendi perekonomian goyah, ekonomi sekarat. Bush memperparah situasi dengan memangkas pajak demi menyenangkan kaum elite. Tak terelakkan lagi, pada 2008, krisis subprime mortgage meledak dan bursa Wall Street pingsan. Ekonomi lesu dan sampai kini belum tampak tanda pemulihan yang membesarkan hati.
Ongkos perang yang luar biasa mahal itu pun sejatinya belum cukup. Donald Rumsfeld, Menteri Pertahanan pada zaman Bush, dituding tidak melengkapi prajurit dengan peralatan memadai. "Bertempurlah dengan sumber daya yang ada," begitu kata Rumsfeld. Walhasil, tingkat cedera dan kematian prajurit tinggi. Tak kurang dari 4.000 prajurit Amerika meninggal di Irak saja. Tuntutan peralatan dari lapangan susah dipenuhi. Defisit anggaran akumulatif dari 2005-2010 sudah membubung sampai US$ 4 triliun.
Ekonomi suram menyulitkan posisi Abang Sam. "Merendah saja, do no harm. Jangan lagi bermanuver yang kontraproduktif," kata Shuja Nawaz, Direktur Pusat Asia Selatan, The Atlantic Council, menganjurkan. "Selesaikan urusan di Afganistan dan Pakistan secara baik-baik."
Kawasan Afganistan dan Pakistan, yang diwarnai labirin kelompok radikal, memang harus ditangani secara ekstrahati-hati. Kerentanan di kawasan ini sanggup memicu peningkatan aksi terorisme global, yang bisa merembet ke Asia Tenggara. Nawaz mengakui membereskan persoalan di kawasan ini tak gampang. "Butuh biaya mahal," katanya. "Ini soal dilematis karena ekonomi domestik Amerika juga sedang menuntut perhatian."
Benar, Gedung Putih telah mengevaluasi strategi pada masa Bush. Kini Abang Sam lebih mengutamakan strategi bermitra dengan berbagai komunitas, baik skala lokal maupun global. Pidato Presiden Barack Obama di Kairo pada 2009 menjanjikan hubungan yang lebih harmonis antara Amerika dan dunia Islam. Sebuah janji yang langsung disambut melambungnya optimisme terhadap Obama, termasuk di Indonesia.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton juga merilis strategi baru. Jurusnya disebut 3D: diplomacy, defense, development. "Lebih bersifat sinergis. Melibatkan kerja sama aktif militer, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga pendanaan, seperti USAID," kata Maria Schaefer, penasihat diplomasi publik di kantor US Pacific Command, Hawaii.
Sayangnya, selalu ada jurang antara konsep di kertas dan dunia nyata. Marc Ginsberg, penasihat Gedung Putih pada masa Bush, menilai pemerintahan Obama tidak lihai menerjemahkan pidato Obama. "Tak ada gebrakan signifikan," katanya. "Tak ada program besar sekelas Marshall Plan yang menggerakkan ekonomi secara masif setelah Perang Dunia II." Ketiadaan aksi nyata ini akhirnya berdampak pada mengempisnya kepercayaan kepada Obama.
George Packer, jurnalis kawakan, menulis refleksi yang jernih di The New Yorker edisi terbaru. Teror 11 September mestinya menjadi wake-up call Amerika. Sang raksasa harus bangun dan berbenah secara serius. Sayangnya, "Tak ada perubahan bermakna dalam 10 tahun ini," tulisnya.
Packer mencatat ada tiga situasi genting yang dihadapi Amerika, yakni 1861, Pearl Harbour 1941, dan 2001. Pada dua yang pertama, tercipta konsensus nasional, yakni melawan perbudakan pada Perang Sipil dan melawan fasisme pada Perang Dunia II. Namun, pada tragedi 11 September, tak ada konsensus nasional yang tercipta. "Akan lebih konkret jika Bush menyatakan perang melawan Al-Qaidah," tulis Packer. "Tapi dia lebih suka retorika, berperang melawan takut."
Seiring dengan berjalannya waktu, alasan perburuan teroris di Afganistan, Irak, dan Pakistan terasa kian abstrak. Penentuan musuh, misalnya, menjadi tantangan yang luar biasa susah. "Fokusnya amat sempit (menyangkut ideologi di balik pelaku) dan sekaligus amat luas karena pelaku teror bisa ada di mana saja di seluruh dunia," tulis Packer.
Harapan tentu ada. Perjalanan tim jurnalis East West ke beberapa kota di Amerika menunjukkan ada geliat membesarkan hati. Komunitas di kota-kota yang kami kunjungi—New York; Washington, DC; Maryland; Denver; Colorado Spring—merintis beragam forum dialog untuk menumbuhkan respek atas perbedaan. "Saatnya menyingkirkan sikap ignorance," kata Rabi Diana Gerson, pendeta perempuan Yahudi di New York.
Para pemeluk Kristen, Katolik, Yahudi, Islam, dan berbagai kepercayaan bertemu, bertukar pengalaman. "Ketika bertemu, kami lebih merasakan lebih banyak persamaan sebagai sesama manusia ketimbang perbedaan," kata Rabi Diana. "Lagi pula perbedaan adalah anugerah."
Dialog antarkomunitas yang makin subur setelah tragedi 11 September bagi Aisha al-Adawiya memang masih berskala kecil dan sporadis. "Masih jauh dari kemampuan mengubah warna politik Amerika," katanya. Tapi dia yakin inisiatif ini perlahan akan meluas seperti gelombang. Aisha yakin, "Suatu saat, ketika massa kritis terbentuk, semangat dialog ini pasti bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah."
Mardiyah Chamim (New York)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo