Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kisah tanah balbino

Sejumlah persoalan pemilikan tanah di timor timur muncul di pengadilan. beberapa diantaranya sulit diselesaikan. akibat konversi hukum yang belum tuntas?

20 Maret 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROVINSI termuda Timor Timur masih saja memendam berita menarik. Kini bukan lagi soal Fretilin, tapi masalah perebutan hak atas tanah. Sejak Timor Timur bergabung dengan Indonesia, 1976, agaknya baru setahun ini persoalan tanah bergejolak. Pangkalnya, naiknya harga tanah akibat derasnya laju pendatang. ''Kalau saja warga cepat mendaftarkan tanahnya, yang diperolehnya di zaman Portugis dulu, persengketaan sebenarnya bisa dihindari,'' ujar Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Timor Timur, P. Suryosuwarno, kepada TEMPO. Harga tanah di Timor Timur, khususnya Dili, sudah mencapai Rp 25 ribu per meter. Padahal dua tahun lalu harganya masih Rp 10 ribu. Karena melambungnya harga tanah, banyak warga mendadak mengurus sertifikat tanah. Celakanya, tak semua yang datang mengurus adalah orang-orang yang memang berhak. Munculnya para spekulan diakui Kepala Bagian Hukum Pemda Timor-Timur, Sabastiao da Ximenes. Pihak Pemda mengalami kesulitan karena sejak integrasi, instansinya tak memiliki daftar yang menunjukkan mana tanah rakyat dan mana yang milik pemerintah. ''Kekurangan inilah yang dimanfaatkan orang-orang yang ingin mencari keuntungan,'' katanya. Kini, untuk membuktikan hak menempati tanah, khususnya tanah adat, seseorang diwajibkan membawa minimal dua saksi ke hadapan kepala desa. Jika lolos ke tingkat desa, permohonannya akan diteruskan ke kecamatan, dan akhirnya ke kabupaten. Dari sini keluar Surat Keterangan Penempatan Hak Atas Tanah (SKPHAT). Ini bukan bukti hak milik, tapi sekadar keterangan hak menempati tempat tersebut. Menurut Sabastiao, di Dili banyak orang memiliki SKPHAT. ''Proses pembuatannya terlalu mudah. Jika melihat tanah kosong, mereka tempati, lalu mengatakan tanah itu miliknya. Untuk mencari dua saksi pun mudah,'' tutur Sabastiao. ''Arus mengurus hak tanah ini terjadi pada masa transisi peralihan hukum Portugal ke hukum Agraria (Indonesia),'' tambahnya. Pihak Pemda dan BPN pusing menghadapi persoalan semacam ini. Akhirnya kedua instansi ini meminta agar masalah tanah ini diselesaikan saja melalui jalur hukum di pengadilan. Di Pengadilan Dili sengketa pemilikan atas tanah memang mulai bermunculan. Salah satunya disidangkan Senin pekan lalu. Ini kasus gugatan Balbino yang masih keturunan Raja Bada Cai, Dili. Ia menggugat 71 penghuni Kampung Bebonok, Desa Comoro. Para tergugat dituduhnya menguasai tanah seluas 143,8 ribu meter persegi (Kampung Bebonok) secara tidak sah. Tanah yang dulunya lahan tak terurus itu, kata Balbino, adalah warisan almarhum ayahnya, Fransisco anak kandung Raja Bada Cai. Pada zaman Portugis, katanya, tanah itu didaftar atas nama Bada Cai. Tahun 1980 tanah tersebut didaftarkan ke Kantor Agraria, dan keluarlah SKPHT. Mulai 1985 Balbino yang membayar pajak (PBB) tanah itu. Pada Mei 1987, masih menurut Balbino, Kepala Desa Comoro, Jose Baptista Maribera Mau, membeli tanah seluas 25 X 25 meter untuk membangun balai desa. Bersamanya ada 16 Kepala Keluarga yang berminat membeli tanah itu dengan membayar secara angsuran. Harga disepakati Rp 1,25 juta dengan pembayaran angsuran Rp 20 ribu per bulan. Tapi yang mengangsur hanya kepala desa, itu pun baru dua kali. Sedangkan 16 KK lainnya tak pernah membayar sepeser pun. Merasa tertipu, Balbino melaporkan kasus ini kepada Gubernur (waktu itu) Mario Viegas Carrascalao. Ia juga melapor ke pimpinan ABRI setempat, karena di antara penunggak itu ada yang anggota ABRI. Gubernur memberi instruksi kepada penghuni agar membayar ganti rugi kepada Balbino. Ternyata mereka tak mau membayar dan menyatakan mempunyai hak juga atas tanah itu berdasarkan keten tuan adat. Di persidangan, bekas Kepala Desa Comoro, Jose Baptista, yang didampingi dua tetua adat, Jose Amaral de Fatima dan Jacinto Doutel, mengakui dialah yang membagi-bagi tanah itu kepada warganya. Tapi, kata Baptista, karena sudah disetujui para tetua adat. ''Dulu Balbino juga setuju,'' kata Baptista. Tetua adat Amaral de Fatima menyebutkan, tanah yang diaku Balbino dahulu memang dikuasai raja Bada Cai, tapi hak miliknya tetap pada rakyat, untuk pertanian. Tanah itu milik desa, semacam tanah bengkok di Jawa. Setelah raja meninggal, tanah itu menjadi tanah nenek moyang. ''Ketika saya diminta kesaksian sebagai ketua adat, ya saya bilang begitu,'' katanya. Jalan keluarnya untuk sementara memang sulit ditemukan. Menurut Suryosuwarno, kasus Balbino tergolong paling rumit. Bukti pemilikan anah di Tim-Tim berdasarkan hukum Portugis adalah Alfara (sertifikat atas tanah) yang tercatat dalam Buletin Oficial. Sedangkan pemilikan tanah adat tidak ada dokumennya. Kesulitan lain, semua surat-surat dan dokumen tanah berbahasa Portugal. Sebelum berintegrasi, di Tim-Tim berlaku hukum adat dan hukum Barat (Portugis). Kini, walau hukum nasional (UU Agraria) yang berlaku, produk hukum Portugis tetap diakui. ''Secara perlahan-lahan kita sesuaikan dengan hukum nasional yang berlaku,'' ujar Suryosuwarno. Maka kasus Balbino di Pengadilan Dili sementara ini masih harus menerobos berbagai kesulitan. Banyak warga menunggu keputusan pengadilan ini untuk mendapat gambaran kepastian hukum itu. Aries Margono dan Ruba'i Kadir (Dili)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus