Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan Ham Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman menolak adanya living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"AMAN dan masyarakat koalisi sipil tolak living law di dalam KUHP itu sebelum menjadi undang-undang," kata Arman dalam acara Simposium Nasional, "Hukum yang Hidup Di Masyarakat" Pasca KUHP Baru. Di Hotel Holiday Inn, Jakarta Pusat pada Senin 29 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengutip penjelasan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Barda Nawawi Arief, ia mengatakan pasal ini harus diturunkan dari rancangan yang ada. Namun, Arman menyayangkan, meskipun aspirasinya itu sudah disampaikan ke perumus, badan legislasi (Baleg) DPR, dan pemerintah namun tidak ada yang memperhatikan.
"Sudah kami sampaikan ke tim perumus, Baleg, dan juga kepada pemerintah, tapi tidak diperhatikan sama sekali," ujar Arman
Lebih lanjut, Arman mengisahkan, saat dia bersama dua hakim adat dari Toraja dan Nunukan bertemu Barda. Saat Barda menjelaskan mengenai alasan pasal itu perlu diatur dalam KUHP, kemudian kedua hakim adat itu bertanya ke Barda ihwal apakah hakim negara bisa mengetahui mantra sidang adat atau tidak.
"Kalau kemudian hukum adat itu mau dituliskan, diambil ke negara. Hakim paham nggak soal proses persidang adat? mereka tau ndak mantranya kalau kita membuka satu persidangan adat? mereka hakim yang menjalankan itu terkoneksi dengan leluhur, nggak?" kata Arman mencontohkan dua hakim adat saat bertanya ke Barda.
Arman mengatakan proses persidangan adat itu berbeda dengan sidang pada umumnya, sidang adat itu dimulai dengan ritual tertentu. "Belum lagi kita bicara soal substansinya, ya. Ini baru soal caranya," kata dia.
Menurut Arman, masyarakat adat itu tidak perlu diatur ke dalam KUHP yang baru, tapi yang perlu dilakukan adalah menghormati hukum adat dan pengadilan adat yang sudah ada selama ini, Arman kemudian mengutip pasal 18b ayat 2 UUD 1945.
"Selesai sampai di situ, sebagaimana yang dideklarasikan pasal 18b ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat adat," ucap dia.
Terkait dengan dinamika peradilan adat setelah pemberlakuan KUHP baru, hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta Singgih Budi Prakoso, S.H., M.H. berpendapat bahwa pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 2023 tidak mengurangi keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang menentukan seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.
Living law ini berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam KUHP dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
MOCHAMAD FIRLY FAJRIAN | ANTARA