Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kolega Lama di Teras Balai Kota

Bimo memimpin tim sukses Jokowi pada dua kali pemilihan Wali Kota Solo. Sama-sama aktivis PDI Perjuangan.

10 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA hari setelah pelantikan Joko Widodo sebagai Gubernur Jakarta pada 15 Oktober 2012, Michael Bimo Putranto bertandang ke Balai Kota. Siang itu, ia diiringi dua pejabat PT Koperasi Angkutan Jakarta atau Kopaja, Nanang Basuki dan Widodo, serta dua teman mereka, Arief Perdana Kusuma dan Yoga Adiwinarta.

Nanang datang ke Balai Kota membawa proposal agar Jokowi menyetujui bus Kopaja bisa masuk jalur bus Transjakarta. Waktu itu, Kopaja baru membuat trayek baru yang diisi bus berpenyejuk udara. Ia ingin diberi keistimewaan agar trayek yang berimpitan dengan Transjakarta dibolehkan memakai jalur khususnya.

Setelah ditunggu agak lama, Jokowi tak kunjung membukakan pintu. Ajudannya bolak-balik mengabarkan gubernur baru itu terlalu sibuk sehingga tak ada waktu menerima mereka. Bimo lalu mencegat saat bekas Wali Kota Solo ini keluar dari ruang kerjanya. "Waktu itu Jokowi mau meninjau rumah susun di Jakarta Utara," kata Nanang tiga pekan lalu.

Karena hendak segera pergi, Jokowi memanggil Kepala Dinas Perhubungan Udar Pristono untuk membicarakan proposal yang dibawa Bimo dan Nanang. Udar dan rombongan Kopaja itu lalu berbincang di ruang tamu kantor gubernur di lantai satu. "Itulah pertemuan pertama Bimo dengan Udar," ujar Nanang.

Bagi Jokowi, Bimo bukan orang asing. Mereka sama-sama politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dari Solo, Jawa Tengah. Ketika Jokowi terpilih menjadi wali kota pada 2005, laki-laki 41 tahun itu duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kota yang sama. Sebagai Wakil Ketua PDI Perjuangan Solo, Bimo bahkan menjadi ketua tim sukses Jokowi, yang berpasangan dengan F.X. Hadi Rudyatmo, Ketua PDI Perjuangan Solo, pada pemilihan wali kota.

Pada Pemilihan Umum 2009, Bimo gagal kembali ke kursi Dewan. Tapi peran politiknya tak pernah jauh dari Jokowi. Apalagi ia kemudian ditunjuk menjadi Wakil Ketua PDI Perjuangan Jawa Tengah. Bimo kembali ditunjuk menjadi ketua tim sukses pasangan Jokowi-Rudi pada pemilihan wali kota 2010. Pasangan ini menang mutlak dengan meraih lebih dari 90 persen suara. Karena kepopuleran Jokowi, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memintanya ikut bertarung pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012.

Bimo ikut pindah ke Jakarta. Ia bergabung dengan tim relawan Jokowi, yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama-politikus Partai Golkar yang diajukan Partai Gerakan Indonesia Raya. Pasangan ini memenangi pemilihan dalam dua putaran. "Selama di Solo, mereka memang terlihat dekat, tapi saya tak tahu seperti apa kedekatannya," kata Bambang Wuryanto, Ketua PDI Perjuangan, tentang hubungan Jokowi dan Bimo.

Bimo tak menyangkal kabar tentang hubungan politiknya yang dekat dengan Jokowi. Menurut dia, hubungan itu sebatas kolega partai. "Kami dari daerah yang sama," ujar alumnus Teknik Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini.

Selain aktif di politik, Bimo punya bisnis. Proyek pertamanya membangun gedung sekolah kejuruan negeri di Solo senilai Rp 2,1 miliar, saat ia masih kuliah, pada 1994. Setelah lulus, ia beralih menggeluti bisnis mebel. Usaha ini bangkrut dan ia beralih menekuni jual-beli kayu. Lagi-lagi usaha ini tak bertahan lama.

Sambil berbisnis, Bimo menjadi pengurus Pasukan Suporter Pelita Sejati (Pasoepati), pendukung klub Persatuan Sepak Bola Indonesia Solo atau Persis. Ia ditunjuk menjadi presiden kelompok itu pada 2010. Menurut koleganya, keberadaan Bimo di Pasoepati ikut mengerek kariernya di partai karena ia dianggap memiliki massa.

Di luar klub bola, Bimo menampung para pemuda Solo di organisasi kepemudaan, yang ia salurkan menjadi penjaga dan karyawan di usaha parkir. Wilayah kekuasaan Bimo dalam bisnis ini meliputi kantor dan pusat belanja di Surakarta bagian barat.

Dua tahun terakhir, bisnis Bimo merambah perhotelan. Ia menjabat Wakil Direktur PT Kolaka Land Hotel & Resort yang membangun Quest Hotel di Solo. Hotel setinggi 23 lantai ini dibangun pada 27 Desember 2012. "Saya pinjam uang untuk membeli lahan dan membangun hotel itu," katanya. Usaha lain yang diakuinya adalah jual-beli pasir.

Dengan latar belakang Bimo seperti itu, Nanang melihat peluang bisnis. Ia berkenalan dengan Bimo dengan perantara Arief Perdana Kusuma, temannya sesama pengusaha. Dari perkenalan berantai itulah ide mengajukan proposal pemakaian busway oleh bus Kopaja AC yang baru dirintisnya terbit.

Yoga Adiwinarta, Direktur Institute for Transportation and Development Policy, yang ikut ke kantor gubernur, membenarkan pencegatan Jokowi tiga hari setelah pelantikan itu. Bimo menyangkal cerita dua temannya itu. Ia mengatakan tak pernah bertemu secara khusus dengan Jokowi, apalagi membicarakan proposal. Seingat dia, pertemuan dengan Jokowi hanya sekali, saat rapat kerja nasional partai di Hotel Mercure, Jakarta, September tahun lalu.

Setelah pertemuan itu, bus Kopaja AC diizinkan melenggang di jalur bus khusus, terutama di trayek jalan-jalan protokol, per November 2013. Bus yang didesain memiliki pintu di samping kanan ini juga dibolehkan mengambil penumpang yang menunggu di halte Transjakarta. Jokowi beralasan Kopaja bisa mengisi kekosongan Transjakarta agar lebih banyak penumpang terangkut.

Bimo juga mengoreksi keterangan Nanang yang menyebut pertemuannya dengan Udar Pristono di Balai Kota sebagai awal perkenalan mereka. Menurut Bimo, ia bertemu pertama kali dengan Udar saat pelantikan Jokowi. Udar tak membantah kenal Bimo. "Dia hanya teman," katanya kepada Kartika Candra dari Tempo di rumahnya yang jembar di Kalibata, Jakarta Selatan.

Di Jakarta, organisasi yang dimasuki Bimo bukan lagi kelompok suporter sepak bola atau asosiasi parkir ataupun penambang pasir. Meski bukan pengusaha transportasi, ia bergabung dengan Organisasi Angkutan Darat (Organda) Jakarta sebagai anggota dewan penasihat periode 2013-2015. Organisasi pengusaha bus dan taksi ini kerap dilibatkan pemerintah provinsi dalam kebijakan transportasi.

Menurut Ketua Organda Safruan Sinungan, masuknya Bimo ke organisasi itu atas permintaannya sendiri dan diusulkan pengurus Organda lainnya. "Kami terima karena ia dekat dengan Udar Pristono," kata Safruan. "Dia bisa menjembatani kepentingan Organda dengan Dinas Perhubungan."

Tak hanya dalam urusan Organda, Bimo diduga memanfaatkan kedekatannya dengan Jokowi dalam proyek pengadaan Transjakarta. Sang Gubernur tak menampik mengenal Bimo, "Tapi, urusan aktivitasnya sehari-hari, saya tidak mengerti."

Rusman Paraqbueq, Amri Mahbub, Maria Hasugian, Ira Guslina Sufa (Jakarta), Ahmad Rafiq (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus