Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ACHADIATI Ikram, salah seorang figur utama akademikus pelestari dan pengkaji naskah-naskah kuno Nusantara, wafat di Citayam, Depok, Jawa Barat, pada Ahad pagi, 21 Juli 2024. Guru besar filologi purnabakti Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Depok, itu beristirahat dengan tenang pada usia 94 tahun. Dia meninggalkan ratusan murid pengkaji manuskrip yang kini menjadi penerusnya di bidang filologi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya pertama kali mengenal Achadiati Ikram pada 1996, saat memulai kuliah S-2 di Program Ilmu Susastra FIB UI. Dia mengampu mata kuliah Pengantar Ilmu Filologi, cabang ilmu humaniora yang mengkaji teks-teks lama dalam lembaran-lembaran manuskrip berusia ratusan tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi saya, Achadiati ibarat resi yang berhasil mengubah haluan orientasi keilmuan saya pribadi. Sebelum memutuskan menekuni studi filologi, saya mendapatkan beasiswa Kementerian Agama untuk menempuh jenjang magister di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta bidang kajian Islam.
Namun secara proaktif Yayasan Naskah Nusantara yang dipimpin Achadiati bergerilya mencari calon mahasiswa yang ingin kuliah di bidang kajian naskah kuno atau filologi dan “menggodanya” dengan beasiswa nan lebih menjanjikan melalui Program Penggalakan Kajian Naskah-naskah Nusantara. Mereka perlu digoda karena, khususnya bagi alumnus institut agama Islam negeri saat itu, filologi sama sekali tidak menarik dan tidak dikenal.
Waktu itu mahasiswa yang mengambil konsentrasi filologi tidak banyak, hanya dua: saya dan sahabat dosen Jurusan Sastra Jawa UI, Munawar Holil. Achadiati mengajari kami cara mempelajari filologi. Setiap pekan kami ditugasi membaca satu judul buku yang mengkaji naskah kuno Nusantara, biasanya kajian disertasi para guru filologi sendiri.
Di situlah saya pertama kali mengenal “Hikayat Sri Rama”, disertasi yang ditulis Achadiati pada 1978. Judul lengkapnya “Hikayat Sri Rama: Suntingan Teks Disertai Telaah Amanat dan Struktur”. Disertasi ini menggambarkan minat dan perhatian khusus Achadiati terhadap teks sastra Melayu klasik. “Hikayat Sri Rama” adalah karya adaptasi Melayu kisah epik Ramayana. Disertasi ini juga menggambarkan kecenderungan penelitian filologi pada 1970-an, yakni mulai meminjam teori-teori sastra, seperti strukturalisme, semiotika, hermeneutika, dan teori resepsi, sebagai pendekatan, digabungkan dengan pendekatan suntingan teks yang khas filologi.
Dengan buku-buku karya filologi yang disodorkan Achadiati, kami biasanya diajak membaca, mencermati, sekaligus mengkritisi bagaimana teori dan metode filologi diterapkan. Tak urung rasa bosan sering hinggap dalam perasaan. Baru tuntas mengkritisi satu buku, berselang sepekan berikutnya kami sudah harus melahap buku lain. Namun rupanya cara mengajar Achadiati itu yang membuat mahasiswa dan murid-muridnya cepat belajar. Achadiati tidak berceramah agar kami paham akan filologi, tapi ia mengajarkan bagaimana sebaiknya kami mempelajari filologi.
Mencintai bidang manuskrip sepenuh hati. Itu salah satu kata kunci yang sering saya dengar dari Achadiati tentang dunia pernaskahan Nusantara. Bagi saya, Achadiati adalah paket lengkap jika kita ingin mengarusutamakan manuskrip dan filologi di Indonesia: mencintai, mengkaji, dan menjadi yang terdepan.
Dalam hal berpengetahuan, Achadiati memberi teladan bahwa filologi bukan barang mati yang hanya untuk dinikmati di dunia yang sunyi. Filologi harus selalu dibawa dan dijadikan cara pandang untuk mengobrol dengan bidang ilmu pengetahuan lain yang beragam. Pidato pengukuhannya sebagai guru besar filologi di Fakultas Sastra UI pada 1978 menggambarkan kecenderungan keilmuannya itu. Ia membacakan pidato berjudul “Kepemimpinan dalam Sastra Indonesia Lama”.
Kelak, teladan Achadiati ini dilanjutkan dan dikembangkan oleh murid-muridnya menjadi sebuah kecenderungan baru dalam kajian naskah-naskah kuno. Bentuknya berupa penggabungan telaah intrinsik teks dan kontekstualisasi interteks menggunakan beragam pendekatan ilmu lain.
Saya sendiri terinspirasi mengembangkan filologi dan mengawinkannya dengan kajian Islam Indonesia, yang menjadi minat keilmuan saya sejak awal. Jadi, meskipun saya ditarik ke dunia baru filologi, Achadiati berhasil mengarahkan saya untuk tidak meninggalkan bidang ilmu sebelumnya yang saya tekuni. Lebih jauh, Achadiati menuntun saya menemukan jalan baru model kajian filologi, yang kemudian saya sendiri menyebutnya “Filologi Plus”.
Dalam pidato promotor ujian disertasi saya di FIB UI tentang Tarekat Syattariyah di Minangkabau pada 11 September 2003, Achadiati berujar:
“Studi tentang suatu ajaran, perkembangan historisnya, hubungannya yang melintasi benua dan bangsa, serta pengaruh local genius terhadapnya, semuanya Saudara ungkapkan dengan menggunakan naskah-naskah sebagai sumbernya. Saudara adalah orang pertama yang melakukan penelitian semacam itu, dan dengan demikian Saudara telah memberi tempat yang selayaknya kepada kajian filologi, dan kepada keberadaan naskah-naskah kita.”
Itu adalah apresiasi seorang guru kepada muridnya. Mungkin pujian itu berlebihan. Tapi, dengan begitu, Achadiati berhasil menumbuhkan kepercayaan diri saya bahwa filologi bisa dibawa ke mana-mana, meskipun ia selalu mengingatkan bahwa filologi bukan segala-galanya.
Dalam satu pesan balasan di akun media sosialnya pada 2019, Achadiati pernah mengingatkan saya: “...jangan filologi dipandang segala(-galanya), lho. Itu cuma alat untuk sampai kepada naskah....” Itulah cara Achadiati menjaga murid-muridnya tetap berpikiran terbuka, menempatkan filologi di tempat yang mulia dengan sewajarnya.
Kalau Achadiati Ikram mengibaratkan filologi sebagai alat, filologi tak ubahnya pisau yang kemanfaatannya tergantung si pengguna. Di tangan yang terampil, filologi bisa menjadi jalan mengungkap kebenaran dalam sebuah teks lama, memverifikasi pesan inti teks, sekaligus mengeliminasi kekeliruan atau penyimpangan teks jika ada.
Inilah yang sering Achadiati sampaikan dalam berbagai kesempatan transfer pengetahuan filologi kepada murid-muridnya. Saya masih ingat, pada 2012, ketika Achadiati menjadi narasumber sebuah kursus singkat filologi, ia berpesan:
“Saudara harus memahami suatu teks melalui pendekatan filologi, karena teks dalam naskah itu tidak berdiri sendiri. Terkadang terjadi pemalsuan yang membutuhkan pemeriksaan untuk mengeliminir kesalahan.”
Di masa disrupsi informasi saat ini, filologi, seperti yang digambarkan Achadiati, memiliki peran tersendiri. Nilai-nilai dalam ilmu filologi sangat penting diterapkan untuk selalu berpikir kritis dan mempertanyakan informasi yang singgah pada gawai atau akun media sosial kita. Filologi mengajari kita agar hanya menerima, mempercayai, dan meneruskan informasi yang telah terverifikasi kebenarannya.
Kini Achadiati sudah tiada. Namun benih-benih kecintaan terhadap ilmu filologi yang disemainya telah tumbuh di mana-mana. Tiga dekade lalu, saya tidak pernah membayangkan bahwa murid-murid filologi akan bertebaran di berbagai pelosok negeri, diskusi filologi serta naskah kuno merebak di ruang publik, dan para ahli waris manuskrip memberi akses terbuka terhadap koleksi pribadinya. Program Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara atau Ngariksa yang saya asuh di media sosial tak lepas dari inspirasi Achadiati.
Berkat jasa-jasa Achadiati, filologi tidak lagi ditekuni di jalan-jalan sunyi. Ia dipinjam sebagai pendekatan dan diperbincangkan banyak kalangan. Dulu banyak orang “tertidur” dan tidak menyadari bahwa di bawah ranjangnya tertimbun khazanah naskah kuno warisan berharga nenek buyutnya. Kini mereka bangkit, membersihkan sendiri naskah-naskah itu, merawatnya, mendigitalkannya, dan membagikan pengetahuan yang terkandung di dalamnya.
Semua itu tak lepas dari teladan Achadiati Ikram, yang tidak berpuas diri sebagai dosen yang mengajar di kelas belaka. Ia adalah petualang yang sering ikut terjun ke lapangan untuk bercengkerama langsung dengan para pemilik naskah itu. Bahkan, di usianya yang sudah tidak muda, Achadiati sering tetap bergairah ikut melakukan penelusuran, inventarisasi, preservasi, digitalisasi, katalogisasi, penelitian, dan publikasi manuskrip Nusantara. Dia belum merasa cukup memberi bekal pemahaman secara teoretis kepada para muridnya kalau belum mengajak mereka mempraktikkannya lebih nyata.
Achadiati telah menanam benih filologi, menumbuhkan kecintaan murid-muridnya untuk merawat kebudayaan lama Indonesia yang menjadi jati diri kita. Kini giliran kita melanjutkan penanaman benih filologi berikutnya agar kelak generasi muda Indonesia tetap mencintai kebudayaan warisan leluhurnya.
Selamat berpulang dengan penuh tenang, Bu Achadiati! Kami yakin jalan pulang Ibu terang dan lapang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo