Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITAB Fiqih Jilid Telu menjadi naskah yang kurang populer di kalangan Muhammadiyah. Sebagian besar anggota Muhammadiyah ragu terhadap keaslian kitab yang disebut-sebut ditulis oleh KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, itu. Wartawan Tempo Amandra M. Megarani mewawancarai Abdul Mu'ti, perwakilan dari pengurus pusat Muhammadiyah sekaligus dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Bagaimana Muhammadiyah memandang keberadaan Kitab Fiqih Jilid Telu?
Saya tidak pernah melihat naskah asli ataupun fotokopian dari kitab itu. Saya juga belum pernah baca. Setahu saya, banyak orang yang membaca kitab itu di lingkungan NU. Kitab ini juga populer di media sosial. Katanya di dalamnya berisi tentang fikih. Saya mempelajari naskah-naskah klasik, tapi kami sangsi. Tidak ada naskah klasik Muhammadiyah dengan judul itu.
Tapi pendiri Muhammadiyah disebut-sebut yang menulis kitab ini....
KH Ahmad Dahlan tidak meninggalkan tulisan dalam bentuk buku atau apa pun. Satu-satunya tulisan yang dia buat adalah "Tali Pengikat Hidup", yang ditulis untuk dibacakan dalam kongres di Cirebon pada 1920-an. Saat itu Ahmad Dahlan sedang sakit sehingga tidak bisa hadir dalam kongres tersebut.
Mungkinkah kitab ini ditulis oleh murid-murid Ahmad Dahlan?
Mungkin saja. Dari murid-muridnya, yang populer dalam tulis-menulis ada dua orang: KRH Hadjid dan KH Soedja'. Tapi, di kalangan yang pernah meneliti tentang Muhammadiyah, tidak ada yang pernah menemukan buku itu, baik peneliti seperti Achmad Jainuri, Najib (Burhani), maupun Mitsuo Nakamura. Lagi pula, pada masa awal Muhammadiyah, Ahmad Dahlan tidak menekankan fikih, tapi lebih pada gerakan sosial keagamaan. Muhammadiyah di masa awal memiliki empat bagian: pengajaran, pustaka, tablig, dan penolong kesengsaraan umum, yang suka disingkat dengan PKO. Karena ejaan lama umum adalah oemoem. Walaupun sekarang singkatannya PKU, tetap saja ada yang menyebut PKO.
Kapan fikih menjadi fokus Muhammadiyah?
Fikih baru menjadi perhatian sejak KH Mas Mansyur mendirikan Majelis Tarjih. Pada masa Ahmad Dahlan, tidak dibentuk tarjih. Semuanya menggunakan prinsip lama. Semuanya berubah setelah pembentukan Majelis Tarjih. Dalam majelis ini ditelusuri dalil-dalil yang dijadikan rujukan dalam beribadah. Dalil-dalil dicari yang paling kuat, untuk salat yang mana, puasa yang mana. Formalisasi paham agama Muhammadiyah mungkin saja berbeda dengan KH Ahmad Dahlan dalam hal bilangan rakaat tarawih atau doa kunut. Muhammadiyah itu bukan Dahlanisme. Organisasi Muhammadiyah itu mengajak mengikuti ajaran Muhammad dengan menjadikan Al-Quran dan hadis yang sahih sebagai referensi, memurnikan akidah dan ijtihad. Yang diambil Muhammadiyah adalah prinsip-prinsip ajaran Islam, bukan ajaran pribadi.
Ada yang menganggap Ahmad Dahlan terpengaruh mazhab Imam Syafi'i.
Begini, pada saat naik haji, Muhammad Darwis (nama asli Ahmad Dahlan) mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan dengan harapan Darwis bisa seperti Ahmad Dahlan—salah satu imam pengikut mazhab Syafi'i. Maka ada beberapa amaliah Ahmad Dahlan condong ke Syafi'i. Tapi, bagi saya, itu membuktikan bahwa Ahmad Dahlan bukan Wahabi, seperti yang diduga banyak orang. Muhammadiyah tidak bermazhab. Kami menghormati pendapat semua imam mazhab. Itu sebabnya amaliah Muhammadiyah ada yang sama dengan kelompok lain, ada yang tidak. Pada dasarnya hadis yang sahih dan dalil yang kuat menjadi referensi dalam menjalankan ibadah. Di Muhammadiyah ada pluralitas internal. Amalan yang dalilnya sama-sama sahih bisa diamalkan keduanya. Contohnya soal delapan rakaat salat tarawih. Boleh dilakukan tiap dua rakaat lalu salam atau empat rakaat lalu salam.
Ada yang menyebut Ahmad Dahlan menjalankan salat tarawih 20 rakaat dan witir 3 rakaat.
Ini perlu penjelasan, konteksnya tarawih ini dilakukan setelah Ahmad Dahlan berhaji atau sebelum berhaji. Ini perlu dilacak. Karena kehidupan Ahmad Dahlan itu ada dalam dua episode besar: sebelum dan sesudah berhaji. Imam Syafi'i saja memiliki pandangan berbeda saat tinggal di Bagdad dan di Mesir. Pandangan keagamaan beliau beda, fatwa beda. Selama tinggal di Bagdad, dia menulis mazhab lama (qaul qadim) dan di Mesir menuliskan mazhab baru (qaul jadid). Kalau Muhammadiyah tidak pakai bilangan 20 rakaat tarawih plus 3 witir. Sebab, dari Majelis Tarjih, dalilnya tidak sahih. Kalau kelompok lain bisa saja ada hadis yang daif tapi tetap dilakukan karena imam mazhab melakukannya. Ini yang membedakan Muhammadiyah dengan kelompok lain.
Kitab ini menjadi sorotan karena ada kesamaan amaliah Muhammadiyah dan NU. Bagaimana pendapat Anda?
Nah, kembali ke persoalan itu, Kitab Fiqih diedarkan itu motifnya apa, ya? Apalagi kitab ini beredar setelah buku Muhammadiyah Itu NU beredar. Saya sempat diminta menulis kata pengantar di buku itu, tapi saya menolak. Sebab, argumen dan logika dalam buku itu dipaksakan. Dua organisasi besar di Indonesia ini seolah-olah sama, di mana yang satu lebih superior dari yang lain. Agama ini kan soal pilihan, tidak boleh disamakan. Kita harus menghormati perbedaan. Soal keyakinan itu bukan mencari yang sama, tapi menghormati perbedaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo