Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Daur Ulang Proyek Pangan

Presiden Joko Widodo mencanangkan pembangunan pusat pangan terintegrasi di bekas lahan proyek cetak sawah sejuta hektare di Kalimantan Tengah. Panas di dalam dan luar pemerintah.

8 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kiri), Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (tengah), dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kedua kiri), meninjau lahan yang akan dijadikan "Food Estate" atau lumbung pangan baru di Kapuas, Kalimantan Tengah, 9 Juli lalu. ANTARA/Hafidz Mubarak A

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Aneka persiapan dimulai di kawasan eks pengembangan lahan gambut, Kalimantan Tengah, setelah ditetapkan sebagai lokasi proyek lumbung pangan baru.

  • Penunjukan pemimpin proyek yang dinilai memicu kekisruhan.

  • Kajian akademis memotret potensi kegagalan berulang.

POSTER ucapan selamat datang kepada Presiden Joko Widodo masih tersisa, menancap di sudut-sudut tikungan area persawahan Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Kamis, 6 Agustus lalu. Wajah Jokowi, Gubernur Kalimantan Sugianto Sabran, dan Bupati Pulang Pisau Edy Pratowo tergambar berjejer di baliho-baliho itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jokowi datang ke Belanti Siam, sekitar 105 kilometer di sisi selatan Palangka Raya, sebulan sebelumnya, Kamis, 9 Juli lalu, bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basoeki Hadimoeljono, serta Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Dalam kunjungan itu, Jokowi mencanangkan rencana pembangunan lumbung pangan nasional (food estate) di bekas area Pengembangan Lahan Gambut (PLG), proyek cetak sawah yang dibikin pemerintah Presiden Soeharto pada 1995. Kawasan seluas 1,46 juta hektare ini mengiris wilayah Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Kapuas, dan Kabupaten Barito Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bupati Pulang Pisau Edy Pratowo mengungkapkan, untuk tahap awal, pemerintah bakal menggarap 165 ribu hektare. Pulang Pisau punya potensi menyumbang lahan 65 ribu hektare, di antaranya berupa sawah existing seluas 29 ribu hektare. “Tahun ini yang dipersiapkan Kecamatan Pandih Batu, Kecamatan Maliku, dan Kecamatan Kahayan Hilir,” kata Edy kepada Tempo di rumah dinasnya, 6 Agustus lalu.

Kecamatan Pandih Batu, Maliku, dan Kahayan Hilir berderet dari selatan ke utara di tengah kawasan PLG, yang tiga dekade terakhir menjadi kompleks persawahan. Tahun ini banyak sawah memulai panen lebih cepat dari semestinya datang pada Oktober nanti. Itu sebabnya, dari Jalan Trans Kalimantan yang membelah tiga kecamatan ini bisa terlihat mesin-mesin panen merek Kubota bekerja. Di Desa Tahai, Kecamatan Maliku, dan Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu, hamparan gabah bahkan telah memenuhi halaman rumah warga untuk dikeringkan.

Alat berat di saluran air Desa Tahai, Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, 6 Agustus lalu. Tempo/Karana W.W.

Tindak lanjut dari pencanangan kawasan eks PLG sebagai lokasi proyek lumbung pangan nasional juga mulai tampak. Di Desa Tahai, misalnya, ekskavator berkelir jingga telah ditempatkan di tengah sejumlah saluran irigasi. Banyak kanal yang dibangun pada era proyek PLG itu makin dangkal lantaran lama tak direhabilitasi. “Karena dangkal, untuk pencucian lahannya jadi tidak stabil, sehingga produktivitas padinya menjadi tidak maksimal,” ucap Edy.

Namun, ketika daerah bersiap memulai proyek, kekisruhan diam-diam muncul di Ibu Kota. Penunjukan Kementerian Pertahanan sebagai pemimpin proyek lumbung pangan baru membuat sejumlah kementerian yang terlibat mulai ragu program ini bakal terlaksana. “Sejak awal Kementerian Pertahanan tidak terlibat dalam perencanaan food estate,” kata seorang pejabat yang mengikuti pembahasan awal proyek lumbung pangan. “Konsep yang dibawa Kementerian Pertahanan juga berbeda dengan yang selama ini dibahas Kementerian Koordinator Perekonomian.”

Kunjungan Jokowi di Belanti Siam, awal Juli lalu, memang tak hanya meninjau lokasi. Dia juga mengumumkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai pemimpin pelaksanaan proyek ini. “Karena ini menyangkut cadangan strategis pangan kita,” ujar Jokowi menjelaskan alasannya menunjuk Prabowo. “Tentu saja didukung oleh Menteri Pertanian dan Menteri PUPR.”

•••

PEMBANGUNAN lumbung pangan nasional merupakan rencana lama pemerintah yang sudah masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019. Namun, hingga dua tahun pertama pemerintahan Kabinet Kerja, belum ada kejelasan lokasi yang akan dijadikan sebagai kompleks pertanian modern dan terintegrasi tersebut.

Kejelasan mulai muncul tiga tahun belakangan. Pembahasan dalam rapat kabinet pada medio Februari 2017 mulai mengerucut ke sejumlah lokasi potensial, terutama Kalimantan Tengah. Surat Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran berisi usul pencadangan lahan untuk pertanian mencatat sejumlah kesimpulan rapat yang dipimpin Jokowi tersebut. Kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sugianto mengusulkan sejumlah lokasi untuk dicadangkan sebagai lokasi pengembangan lumbung pangan, termasuk yang terbesar di lahan eks PLG.

Sejak saat itu, pembahasan rencana proyek lumbung pangan di Kalimantan Tengah dimulai di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian. Hingga Juni lalu, sebulan sebelum kunjungan Jokowi ke Belanti Siam, rencana proyek ini masih disebutkan berada di lingkaran kewenangan Kementerian Pertanian, yang akan dibantu sejumlah kementerian, seperti Kementerian PUPR dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara.

Penunjukan Kementerian Pertahanan sebagai pemimpin proyek mulai memanaskan pembahasan terakhir tentang megaproyek ini pada pekan ketiga Juli lalu. Tak ada wakil Kementerian Pertahanan dalam rapat virtual yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto tersebut.

Wakil sejumlah kementerian, kata seorang peserta rapat, mempertanyakan konsep lumbung pangan yang akan dipakai. Sejak awal, proyek lumbung pangan akan digeber terfokus pada pengembangan tanaman padi di lahan eks PLG. Sedangkan Kementerian Pertahanan, menurut dia, mengusung pembangunan tanaman pangan strategis, seperti singkong, di luar lahan eks PLG.

Perbedaan lain ada dari sisi pengelolaan dan model bisnis lumbung pangan. Pembahasan di Kementerian Koordinator Perekonomian mulai mengarah ke pelibatan BUMN dan swasta untuk membangun pertanian modern yang melibatkan mitra petani. Sedangkan Kementerian Pertahanan mengusulkan lumbung pangan nasional dikelola oleh sebuah badan khusus yang pada tahap awal pembangunan akan melibatkan komponen utama dan komponen cadangan pertahanan.

Di tengah belum adanya kejelasan soal kelanjutan proyek, menurut sumber Tempo tersebut, Menteri Airlangga akhirnya memutuskan persiapan proyek lumbung pangan di Kalimantan Tengah untuk sementara berjalan seperti rencana awal. Kementerian PUPR, misalnya, tetap akan mengerjakan rehabilitasi irigasi. Kementerian Pertanian juga tetap memetakan kebutuhan teknis persiapan lahan. Kementerian Agraria dan Tata Ruang memeriksa status kepemilikan lahan eks PLG. Kementerian BUMN menyiapkan proyek percontohan pertanian modern. KLHK merampungkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Adapun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional melanjutkan penyusunan dokumen rencana induknya.

Presiden Joko Widodo (kiri) mendengarkan paparan mengenai lumbung pangan nasional di Desa Bentuk Jaya, Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, 9 Juli lalu. Setkab/BPMI

Wahyu Utomo, Deputi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Perekonomian, enggan berkomentar soal kekisruhan konsep pembangunan lumbung pangan setelah Kementerian Pertahanan ditunjuk sebagai pemimpin proyek. Namun dia membenarkan bahwa rapat virtual terakhir memutuskan rencana pengembangan food estate masih berjalan seperti rencana awal, termasuk mulai menyiapkan kebutuhan anggaran pada 2020 dan 2021.

Menurut Wahyu, sampai rapat itu digelar, proyek lumbung pangan masih berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian. Dalam rencana ini, megaproyek menyasar 770 ribu hektare lahan, dengan pengembangan tahap pertama di area seluas 165 ribu hektare. “Setahu saya, Kementerian Pertahanan hanya pegang untuk 60 ribu hektare,” tutur Wahyu.

Seorang pejabat Kementerian Pertahanan mengungkapkan Kementerian Pertahanan mulai intens membahas rencana proyek pada Januari lalu. Sebelumnya, kata dia, Menteri Prabowo menekankan pentingnya mengantisipasi ancaman pertahanan nonmiliter, di antaranya berupa krisis pangan dan energi. Kala itu, Kementerian Pertahanan melirik Merauke, Papua, sebagai lokasi untuk merealisasinya. Terlebih, menurut dia, pemerintah daerah setempat juga mendukung proyek ketahanan pangan dengan menyiapkan lahan.

Usul inilah yang belakangan diajukan lewat Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono kepada Presiden Joko Widodo pada masa-masa awal serangan pandemi Covid-19, Maret lalu. “Tapi Istana memutuskan lain, tetap di Kalimantan Tengah,” ujarnya.

Sakti Wahyu Trenggono belum dapat memberikan penjelasan lebih detail tentang rencana Kementerian Pertahanan di proyek lumbung pangan Kalimantan Tengah. Namun, dalam sejumlah kesempatan, dia menjelaskan kepada media bahwa Kementerian Pertahanan ingin mengembangkan komoditas singkong yang digarap secara terintegrasi dari hulu hingga hilir.

Adapun juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan Kementerian Pertahanan menawarkan konsep cadangan logistik strategis untuk pertahanan negara berupa pangan. Negara secara penuh mengendalikan proses dari hulu sampai hilir. “Terkait dengan lahannya, menggunakan lahan negara yang tersedia,” kata Dahnil saat dihubungi Tempo, Jumat, 7 Agustus lalu. Ketika disinggung soal ketidakjelasan pada pemimpin proyek lumbung pangan, Dahnil menjawab, “Seperti yang disampaikan Presiden, leading sector-nya Kementerian Pertahanan.”

•••

JAUH sebelum masalah muncul seusai penunjukan Kementerian Pertahanan, rencana pembangunan megaproyek lumbung pangan nasional di lahan eks PLG sudah memantik kontroversi. Sejumlah kajian terdahulu menunjukkan tingginya risiko untuk kembali menggarap kawasan yang dipenuhi hutan gambut tersebut sebagai kompleks pertanian berskala besar.

Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian, dan Pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Palangka Raya, misalnya. Pada Agustus 2018, kedua lembaga itu merampungkan penelitian untuk mencari wilayah yang cocok dijadikan food estate di Kalimantan Tengah. Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas, sentra produksi padi terbesar di provinsi itu, menjadi fokus studi.

Hasilnya, kesesuaian lahan di dalam kawasan eks PLG masuk kelas S-3. Artinya, kendati gambutnya sudah kikis, tanah-tanah tersebut sulit dikembangkan menjadi lahan pertanian. Kajian itu juga menyebutkan bahwa perlu modal besar serta campur tangan pemerintah dan swasta agar petani bisa bercocok tanam di lahan eks PLG. Salah satunya untuk pengaturan air karena akan rawan banjir saat musim hujan dan potensial terbakar saat musim kemarau.

Namun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan punya kesimpulan berbeda. Menggelar kajian cepat sejak Mei 2020, KLHK menyelesaikan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) lumbung pangan di eks PLG itu pada Juni lalu. Tertulis dalam KLHS cepat itu, dari 1,4 juta hektare eks lahan PLG, termasuk Pulang Pisau dan Kapuas, ada 210 ribu hektare lahan masuk kelas S-1 alias sangat layak buat padi persawahan. Seluas 226 ribu hektare masuk kelas S-2 alias cocok buat padi gogo dan palawija. Sementara itu, 325 ribu hektare masuk kelompok S-3 alias hanya cocok buat perkebunan.

Area sawah Merauke Food Estate yang dikelola oleh PT Parama Pangan Papua di Merauke, Papua, 7 Agustus lalu. Medco Papua Group

Perbedaan kesimpulan kesesuaian lahan ini menjadi kasak-kusuk di kalangan pegiat lingkungan hidup dan akademikus. “Kalau lokasi penelitiannya sama, kenapa kesimpulannya berbeda?” tutur Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nur Hidayati, Jumat, 7 Agustus lalu.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong tidak menjawab ketika ditanyai soal perbedaan kesimpulan kesesuaian lahan eks PLG antara Bappeda Kalimantan Tengah dan KLHS cepat. Menurut Alue, hasil KLHS mereka—yang mereposisi lahan itu menjadi kawasan pangan—sudah final. “Kalaupun ada masukan, tidak akan berubah secara mendasar,” katanya saat dihubungi pada Jumat, 7 Agustus lalu.

Alue menambahkan, hasil KLHS itu telah melalui tiga kali konsultasi publik. Pertama dengan perwakilan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat kaukus Kalimantan. Lalu dengan anggota Dewan Perwakilan Daerah kaukus Kalimantan. Terakhir dengan perwakilan perguruan tinggi dan peneliti seluruh Kalimantan. “Secara umum mendukung,” ujar Alue.

Seorang pejabat badan usaha milik negara dan seorang pakar pertanian yang menjadi penasihat di BUMN kluster pangan tersebut menjelaskan, gara-gara kondisi lahan eks PLG yang tidak layak itulah Kementerian BUMN mengerem untuk ikut menggarap pertanian modern di sana. BUMN baru berani menggarap proyek percontohan pertanian modern seluas 100 hektare di Blok A2, Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas. “Kalau buka langsung besar, BUMN enggak berani, enggak ekonomis. Kecuali pemerintah bangun semuanya dulu,” kata sumber Tempo.

Hingga Sabtu, 8 Agustus lalu, Staf Khusus Menteri BUMN Bidang Komunikasi Arya Sinulingga belum menjawab ketika diklarifikasi soal keraguan BUMN terhadap kelayakan lahan di eks PLG tersebut.

Pakar bioteknologi tanah dan genetika molekuler dari Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa, mendukung kesimpulan Bappeda Kalimantan Tengah. Menurut pria yang juga ikut dalam penyusunan Amdal 1997 sebagai basis proyek PLG 1 Juta Hektare ini, sebagian besar lahan eks PLG masuk kelas N alias non-suitable. Artinya, lahan itu sulit ditanami apa pun. “Kelas N ini biarkan saja. Dihutankan kembali,” ucap Andreas saat dihubungi, Sabtu, 8 Agustus lalu.

Andreas mendesak pemerintah tidak mencampurkan fakta antara kondisi lahan di dalam dan luar eks PLG. Sebab, kata dia, sebagian besar kawasan eks PLG sudah terbukti tidak bisa ditanami sejak lahan gambut itu dipaksa buat pertanian pada era Soeharto. “Ini menyalahi kaidah ilmiah,” ujarnya.

Menurut Andreas, budi daya di eks PLG sudah gagal sejak lahan gambut itu pertama kali dibuka. Tapi kalau pemerintah masih tetap memaksa, kata dia, “Harus menyiapkan infrastruktur pengaturan air dan infrastruktur dengan biaya luar biasa besar.” Lahan-lahan itu pun mesti rutin ditanami bertahun-tahun sampai subur. Jadi lumbung pangan di eks PLG bukan solusi jangka pendek untuk menjawab ancaman krisis pangan yang katanya sebentar lagi.

KHAIRUL ANAM, AGOENG WIJAYA, KARANA W.W. (PALANGKA RAYA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus